Dengan demikian, saya sepakat bahwa menguji konstitusionalitas UU Pemilu lebih baik di meja MKRI daripada di ruang-ruang perdebatan publik. Persoalan siapa yang berhak menggugat dan bagaimana hasil Judicial Review UU Pemilu kita serahkan kepada para Negarawan yang berada di MKRI.
Hamdan Zoelva (2016:87) juga menyatakan bahwa :
"Kewenangan melakukan judicial review terhadap undang-undang telah memberi Mahkamah Konstitusi kekuasaan untuk mengontrol kekuasaan legislatif DPR dan Pemerintah, serta dalam hal-hal terbatas oleh DPD, sekaligis merupakan wujud checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia"
Sejauh yang saya ketahui, MKRI berisi Negarawan, baik Hakim dan para pegawainya.
Sehingga, para Negarawan ini tentu tidak akan menolak pendaftaran berkas apapun jenis dan dari siapapun yang menggugat UU Pemilu.
Persoalan ditolak seluruhnya, ditolak/diterina sebahagian atau diterima adalah hasil ketukan palu para Hakim Konstitusi.
Di lain sisi, pendukung Koalisi Penguasa tidak perlu memikirkan perkara JR UU Pemilu. Saya melihat bahwa Partai Politik akan disibukkan dengan agenda sosialisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tentu saja, partai menyiapkan perangkat menguatkan kekuatan untuk memenangkan Pilkada Serentak Jilid III tahun 2018 dan kampanye Pemilu 2019.
Dikarenakan Koalisi Penguasa turut membahas RUU Pemilu selama 9 (sembilan) bulan masa sidang. Maka sangat mudah bagi parpol dalam hal sosialisasi UU 7 tahun 2017.
Jadi, Partai tidak membutuhkan pihak luar dalam hal memahamkan kader beserta pemilihnya terkait semua isi UU 7/2017 tentang Pemilu.
Oleh karena itu, saya menyarakan agar Parpol melaksanakan sosialisai berjenjang.