Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian di Sebuah Kedai Kopi

18 Juni 2024   07:40 Diperbarui: 18 Juni 2024   07:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran keadaan di dalam sebuah kedai kopi atau cafe (sumber: tokopedia.com)

Di sudut sebuah kedai kopi atau cafe kecil di pinggir kota, seorang wanita duduk sendirian. Namanya Lila. 

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam, dan dia sudah berada di sana sejak pukul lima. Di meja kecilnya terdapat secangkir kopi yang sudah dingin dan sebuah novel yang terbuka, tetapi matanya tidak terfokus pada halaman-halaman itu. Pandangannya terus terpaku pada pintu masuk cafe, berharap sosok yang dinantikannya segera muncul.

Lila adalah seorang perempuan yang dikenal sabar. Dia mengajar matematika di sebuah sekolah menengah, sebuah profesi yang menuntut kesabaran tanpa batas. Namun penantian kali ini terasa lebih berat daripada menunggu murid-murid menyelesaikan soal ujian.

Tiga bulan lalu, dia bertemu dengan Aria di acara reuni sekolah. Aria, teman sekelasnya saat SMA, telah kembali ke kota setelah bertahun-tahun bekerja di luar negeri. 

Mereka berbincang panjang lebar, mengenang masa lalu dan bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Percakapan itu menumbuhkan kembali benih-benih cinta yang pernah tumbuh di hati Lila saat remaja. Aria yang ramah, cerdas, dan penuh ambisi, telah mencuri perhatiannya sejak dulu.

Mereka berdua mulai sering bertemu setelah reuni itu. Setiap pertemuan semakin memperjelas perasaan Lila bahwa Aria adalah sosok yang selama ini dia cari.

Dibalik senyum hangat Aria, Lila merasakan ada jarak yang tak terungkap. Seperti ada rahasia yang disembunyikan oleh lelaki itu.

Hari ini Aria berjanji akan bertemu dengannya di kafe itu untuk makan malam. Namun, waktu terus berjalan dan Aria belum juga muncul. 

Lila mencoba mengusir kegelisahannya dengan membaca novel, tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan tentang pertemuan-pertemuan mereka, senyum Aria, dan percakapan mereka selalu muncul di benaknya.

Satu jam berlalu. Lila mencoba tetap tenang, tetapi kekhawatiran mulai merayapi hatinya. Dia mengingat kembali senyum dan tawa Aria, berharap itu bisa menenangkan hatinya yang mulai resah. Dia membayangkan alasan-alasan yang mungkin membuat Aria terlambat, mungkin terjebak macet, mungkin ada urusan mendadak di kantor, atau mungkin ponselnya mati.

Pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk, tetapi bukan Aria. Lila menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat ke Aria, tetapi tidak ada balasan.

Pelayan kafe, seorang wanita muda dengan senyum ramah, mendekat dan menawarkan bantuan, tetapi Lila hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Pelayan itu mengangguk dan berlalu, meninggalkan Lila dalam penantian yang semakin berat. 

Pikirannya mulai berkelana ke masa-masa di mana dia dan Aria masih duduk di bangku sekolah, bercanda dan belajar bersama. Dia bertanya-tanya apakah perasaannya saat itu sepihak, ataukah Aria juga merasakan hal yang sama.

Pukul delapan malam, Lila merasa tidak bisa lagi menunggu. Dia mencoba menghubungi Aria sekali lagi, tetapi tidak ada jawaban. Dengan perasaan cemas dan sedikit kecewa, dia memutuskan untuk menunggu lima belas menit lagi. Jika Aria tidak muncul, dia akan pulang. Selama lima belas menit itu, Lila memikirkan berbagai kemungkinan.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan lima belas, Lila bangkit dari kursinya. Dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk pulang. Namun, saat dia hendak melangkah keluar, pintu kafe terbuka dan Aria muncul dengan wajah yang tampak lelah dan khawatir. Lila merasakan campuran perasaan antara lega dan marah melihat Aria di depannya.

Aria mendekat dengan langkah cepat, tampak ingin menjelaskan sesuatu. Lila menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Meskipun dia ingin marah, melihat Aria di sana memberinya perasaan tenang. 

Mereka duduk kembali di meja yang sama. Pelayan kembali dengan senyum dan mencatat pesanan mereka. Lila merasa sedikit lega, meskipun masih ada keraguan yang mengganjal di hatinya.

Mereka duduk dalam diam, hanya saling menatap sejenak sebelum akhirnya Aria mulai bercerita tentang apa yang terjadi. Lila mendengarkan dengan seksama, merasakan perasaan lega yang perlahan mengalir. Meskipun Aria mencoba meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Lila tidak bisa menyingkirkan bayangan kekhawatiran dari benaknya.

Malam itu berlalu dengan keheningan yang aneh di antara mereka. Meskipun mereka berbicara tentang banyak hal, ada beban yang tidak terucapkan yang menggantung di udara. Ketika akhirnya mereka berpisah, Lila merasa ada bagian dari hatinya yang tertinggal di kafe itu.

Hari-hari berikutnya, Lila mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Mengajar, membaca, dan berinteraksi dengan teman-temannya. Disisi lain, Bayangan Aria dan percakapan mereka selalu menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus merelakan Aria pergi, tetapi itu tidak mengurangi rasa sakit yang dia rasakan.

Di hari keberangkatan Aria, Lila memutuskan untuk datang ke bandara. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal dengan baik. Ketika dia tiba, Aria sudah menunggu di depan pintu keberangkatan.

Aria tersenyum melihat Lila datang. Senyum itu mengandung rasa syukur dan kesedihan yang dalam. Lila merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi dia menahannya. Mereka berpelukan erat, saling merasakan beratnya perpisahan ini.

Ketika Aria beranjak masuk ke dalam bandara, Lila merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa penantiannya telah berakhir, tetapi rasa kehilangan itu akan selalu ada. Dia juga tahu bahwa hidup terus berjalan, dan dia harus melanjutkan perjalanannya sendiri.

Dengan langkah berat, Lila meninggalkan bandara, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menemukan kebahagiaan kembali, meskipun tanpa Aria di sisinya. Penantian mungkin telah berakhir, tetapi harapan dan kenangan akan tetap hidup di hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun