Pelayan kafe, seorang wanita muda dengan senyum ramah, mendekat dan menawarkan bantuan, tetapi Lila hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Pelayan itu mengangguk dan berlalu, meninggalkan Lila dalam penantian yang semakin berat.Â
Pikirannya mulai berkelana ke masa-masa di mana dia dan Aria masih duduk di bangku sekolah, bercanda dan belajar bersama. Dia bertanya-tanya apakah perasaannya saat itu sepihak, ataukah Aria juga merasakan hal yang sama.
Pukul delapan malam, Lila merasa tidak bisa lagi menunggu. Dia mencoba menghubungi Aria sekali lagi, tetapi tidak ada jawaban. Dengan perasaan cemas dan sedikit kecewa, dia memutuskan untuk menunggu lima belas menit lagi. Jika Aria tidak muncul, dia akan pulang. Selama lima belas menit itu, Lila memikirkan berbagai kemungkinan.
Ketika jam menunjukkan pukul delapan lima belas, Lila bangkit dari kursinya. Dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk pulang. Namun, saat dia hendak melangkah keluar, pintu kafe terbuka dan Aria muncul dengan wajah yang tampak lelah dan khawatir. Lila merasakan campuran perasaan antara lega dan marah melihat Aria di depannya.
Aria mendekat dengan langkah cepat, tampak ingin menjelaskan sesuatu. Lila menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Meskipun dia ingin marah, melihat Aria di sana memberinya perasaan tenang.Â
Mereka duduk kembali di meja yang sama. Pelayan kembali dengan senyum dan mencatat pesanan mereka. Lila merasa sedikit lega, meskipun masih ada keraguan yang mengganjal di hatinya.
Mereka duduk dalam diam, hanya saling menatap sejenak sebelum akhirnya Aria mulai bercerita tentang apa yang terjadi. Lila mendengarkan dengan seksama, merasakan perasaan lega yang perlahan mengalir. Meskipun Aria mencoba meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Lila tidak bisa menyingkirkan bayangan kekhawatiran dari benaknya.
Malam itu berlalu dengan keheningan yang aneh di antara mereka. Meskipun mereka berbicara tentang banyak hal, ada beban yang tidak terucapkan yang menggantung di udara. Ketika akhirnya mereka berpisah, Lila merasa ada bagian dari hatinya yang tertinggal di kafe itu.
Hari-hari berikutnya, Lila mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Mengajar, membaca, dan berinteraksi dengan teman-temannya. Disisi lain, Bayangan Aria dan percakapan mereka selalu menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus merelakan Aria pergi, tetapi itu tidak mengurangi rasa sakit yang dia rasakan.
Di hari keberangkatan Aria, Lila memutuskan untuk datang ke bandara. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal dengan baik. Ketika dia tiba, Aria sudah menunggu di depan pintu keberangkatan.
Aria tersenyum melihat Lila datang. Senyum itu mengandung rasa syukur dan kesedihan yang dalam. Lila merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi dia menahannya. Mereka berpelukan erat, saling merasakan beratnya perpisahan ini.