Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Ismail, The Forgotten Arab Bagian Pertama

10 April 2017   11:54 Diperbarui: 10 April 2017   19:30 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencatat Suatu Peradaban Sangat diperlukan

Aku membuka buku catatan dan bersandar pada lubang parit pertahanan kami. Kali ini Australia tampaknya beristirahat dari serangan. Tidak ada tanda-tanda mereka mencoba untuk menembakkan peluru ke arah kami.

Ada yang berbincang dengan kawannya mengenai peperangan. Aku melihat tampaknya Kakek Sulayman sedang menceritakan suatu kisah pada kelima orang yang mendengarnya dengan seksama. Sepetinya Sulayman seperti magnet yang menarik minat para prajurit yang baru tersebut. Aku yakin ilmunya sangat dibutuhkan bagi kami.

Aku ada kerjaan. Aku harus mengawasi pasukan Australia yang kapan saja bisa menembakkan peluru ke arah kami. Tetapi aku juga harus mencatat ini. Selain untuk laporan namun untuk sejarah. Tengah keberanian orang-orang Arab yang melawan penjajah Kolonialisme dari Negeri-Negeri Barat. Mereka adalah orang-orang yang tidak terlupakan .

Rasanya perlu juga untuk menulis dalam buku harian sebagai perjalananku dari Negeri  Kampungku hingga Gallipoli seperti ini keburu belum saya bertugas dalam pertempuran ini banyak yang akan saya tuliskan di tempat ini buku yang bersangkut coklat ini terdiri dari 100 lembar. Buku ini akan menjadi saksi  bagi keturunan saya tentang perjuanganku  di negeri khalifah yang melawan kolonialisme Barat.

Dalam buku ini aku akan menuliskan beberapa catatan atau jurnal mengenai perjalanan yang saya rasa sangat mengharukan dari namanya karena saya berjalan dari negeri asal ayah saya, berasal Negeri Arabia.

Antara berjihad dan ketemu dengan Paman Muchtar, ini seolah dalam satu adonan. Aku tahu awalnya aku berniat bertemu paman Muchtar karena Aisyah ternyata tidak setuju jika aku melamar tanpa ada ayahnya walau paman dari Aisyah ataupun saudara dari Aisyah ada yang bersedia menjadi wali.

Aku yakin Aisah lah yang membawaku untuk berjihad di tanah yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Di ujung Eropa yang sangat asing dan tempatnya belum saya bayangkan sebelumnya. Aku ke tempat ini.

Tempat ini mengalami empat musim yang sangat dingin waktu musim saljunya dan panas pada musim keringnya. Ini adalah negeri yang menempa ummat Islam yang hebat. Mereka maju terus  merangsek ke jantung Eropa Wina, serta   mendekati ke Moskow. Meski Utsmaniyyah belum pernah memasuki Moscow namun Moscow dulunya negara Vassal (bawahan) kesultanan Islam Golden Horde.

Islam berjaya pada saat ini. Aku membayangkan jika seratus tahun lagi atau dua ratus tahun lagi perjalanan bangsa Turki. Akankah Turki seperti negeriku yang terjajah oleh Kolonial Belanda? Aku tidak tahu dengan hal itu. Namun aku sangat yakin, ini orang-orang hebat yang pernah melahirkan peradaban yang sangat hebat. Mereka juga mudah bersatu setelah bercerai yang tidak dimiliki oleh bangsa lain seperti kata Ahli Sosiolog Ibnu Khaldun.

Kerajaan Utsmaniyyah hampir saja hancur karena Rajanya Bayazid I ditahan oleh Timur lenk. Perseteruan sesama pewaris tahta menghasilkan seorang Raja yang unggul dan Turki kembali berjaya.

Kalau aku membaca karya Ibnu Khaldun juga sebuah bangsa seperti mahluk hidup. Ada fase melahirkan ada fase dewasa hingga fase kehancuran. Setiap negara akan hancur hanya keadilan saja yang memperlambat kehancurannya.

Ada Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Ayyubiyah, Seljuk Rum, Seljuk, Umayyah di Eropa dan banyak hal yang lainnya. Aku kira mereka pernah menorehkan tinta mas dan pada akhirnya mereka juga harus musnah.

Tabungan Sapi  11 Jumadil Tsani 1333 H

Kami menjual Sapi untuk pergi ke Haji. Alhamdulillah Itu mencukupkan.

Sapi melenguh seperti memaggil si empunya. Ratusan sapi menghampar di tempat padang  yang sedang menguning dengan warna hijau kekuningan tersebut. Rumput sulit sekali dan aku melihat sapi yang berwarna hitam kecoklatan tersebut terlihat menonjol rusuknya.

Aku senang dengan sapi yang berwarna coklat karena ia unik dibandingkan yang lainnya. Warna sapi yang mendominasi adalah berwarna putih atau berwarna putih dengan semburat hitam dan kadang juga ada yang abu-abu. Sudah ada seratus yang bisa dikorbankan sementara sekitar 200 lainnya adalah betina dan anak-anaknya. Jantan yang besar seperti yang hitam kecoklatan tersebut dipertahankan karena bisa menghasilkan keturunan yang besar pula. Ada juga si putih yang warnanya putih bersih dan tubuhnya lebih besar dari sapi lainnya. Ia mempunyai turunan yang banyak sekali.

Aku sedang berkuda berwarna putih dan melihat sapi-sapi tersebut sepertinya sedang rasa. Ada ratusan sapi yang kugembalakan bersama saudaraku Ibrahim. Sapi-sapi besar ini akan memenuhi permintaan daging sapi dari  daerah Minangkabau dan Mandailing. Kadang kami juga mengirim sapi ke Medan atau Aceh. Sapi ini badannya tinggi dengan pundak yang besar dan melebihi kuda poni yang kami kendarai.  Beratnya sudah mencapai 200 kilogram. Setidaknya sapi tersebut dapat menghasilkan karkas yakni daging dengan tulangnya sekitar 100 kilogram. Jumlah tersebut bisa memberi makan satu desa dengan seratus penduduk untuk seharian.

Perdagangsan Sapi di sini menguntungkan karena hari raya Idhul qurban. Aku harus lebih mengusahkan rumput-rumput yang segar di hari yang sangat sulit seperti ini atau musim kemarau. Ladang-ladang jadi menguning dan rerumputan menjadi tandus.

Ibrahim sudah ada di sana dengan kuda yang berwarna coklat dengan surai yang berwarna coklat muda. Ia sedang berbicara dengan pembantunya Mahmud. Ia melihat seluruh tanah sudah kering. Aku memacu kuda putihku menemuinya.

Aku tahu ia akan mengumpulkan uang penjualan sapi untuk pergi ke haji. Ia mengajakku untuk ziarah ke Makkah Al Mukarommah meski kami belum mempunyai pasangan. Ayah kami Haji Abdurrahman menyuruh kami untuk  menikah terlebih dahulu namun kami khawatir bahwa kami nanti sulit untuk berhaji.  Ibrahim sudah mengumpulkan uang dan ia berjanji akan menikah kalau ada yang cocok. Bahkan kalau meski mengambil istri dari orang Arab sekalipun. Ia akan menemui paman Luthfi yang juga sepupu dari ibu yang ada di sana. Aku juga mempunyai rencana untuk menikah di tanah ini sepulang haji dan ayahanda akan melaksanakan walimah kami berdua.

Ibrahim berjanji dengan hal itu sehingga ayah bisa memahaminya. Ia berjanji akan menikah setelah haji. Usianya akan menginjak 23 tahun.

“Kalau hujan tidak turun kita akan sulit untuk mencari pakan”, kata Ibrahim

“Jangan khawatir, Ibrahim. Kita serahkan saja sama Allah. Kalau kita bisa berangkat haji tahun ini maka kita akan berangkat juga”, kataku

“Kalau sudah kering begini maka hanya sedikit saja yang akan kita jual”, ia khawatir dengan kekeringan

“Tenang saja, aku juga masih punya tabungan dan kita Insha Allah akan berangkat ke sana”, aku mencoba menenangkannya.

Meski ia sepertinya khawatir ia berusaha untuk menenangkan diri. Ia menghela kudanya dan melihat masih ada sapi-sapi yang bisa ia kirimkan ke daerah Mandailing dan daerah Minangkabau. Ia sendiri yang akan memimpin pengiriman ke daerah Minangkabau.

Aku menghitung sapi-sapi tersebut

“Ibrahim, harga sapi juga naik. Kalau pengiriman kita lancar dan begal tidak menyerang kita, maka kita akan sampai dan mendapatkan uang”

“Mudah-mudahan. Semuanya lancar dan kita bisa menjalankan rukun islam ke lima”

“Amiin ya roobbal ‘alamin”

“Kau sudah siap untuk mengawal kami”, Ibrahim berbicara pada Mahmud.

“Aku siap tuan”

Aku sangat percaya dengan Mahmud. Ia orang yang mempunyai keahlian bertarung dan mempunyai ilmu dalam bela diri. Ia pernah mengalahkan harimau katanya. Bertarung dengan harimau bukan sembarangan karena jika terluka ia bisa menyantap kita namun kalau ia terluka maka  ia yang kabur.

“Grrummm”, ada suara di balik sawah tersebut yang terdengar. Aku menjadi merinding. Suara si ompung menjadi pelan sekali dan aku yakin akan ada si ompung dekat.

Mahmud yang paling jago silat di antara kami segera bersiap dan langsung memegang tongkatnya. Ia memutar–mutar tongkatnya dan hendak menghantam Harimau tersebut  Namun Ibrahim tampak tenang dan ia mengambil sekerat daging yang sudah diasapi. Ia memotong bagian dalam segumpal yang besar sekali. Aku mengira ukuran dari daging tersebut lebih dari 10 kilogram.

Ibrahim segera melemparkan daging yang berat tersebut dan Ada suara yang hewan yang bergerak sambil mengerat daging tersebut kecil-kecil. Ia membawa daging tersebut tampaknya jauh dari tempat kami. Sebagian pengembala langsung tertidur.

**

Setelah kami berjalan kami langsung bertemu dengan Sutan Pinayungan, orang Mandailing. Ia adalah juragan sapi yang terkenal di tanah Mandailing. Kami mengiring sapi-sapi tersebut. Hari itu seolah lelah terbalas oleh keberhasilan kami mengantar ternak ke Sutan Pinayungan. Ia menyambut kami dengan jamuan makanan. Kami bersepuluh makan di rumah Sutan Pinayungan .

Sutan Pinayungan adalah orang yang dermawan. Sebelum kami kembali pulang ke kampung halaman beliau menjamu kami. Ia mengajak kami menginap di kediamannya sebelum melanjutkan perjalanan kembali pulang. Kebetulan juga hari sudah menjadi malam sehingga kami pikir untuk bermalam saja. Untuk apa memaksakan jalan di malam hari belum tentu aman dan banyak gangguan perampok yang sering menganggu para pedagang.

Mereka mempunyai reputasi yang buruk dan sering mengalahkan kafilah dagang meski para kafilah dagang memiliki jagoan silat. Kalau si perampok kalah mereka bisa lari namun kalau yang kalah pedagang maka harta mereka dan nyawa mereka bisa terampas.  

Mungkin kami lega telah membawa sapi pada empunya namun kami juga harus menjaga uang tersebut. Keuntungan sapi tersebut akan kami bagi rata dan kami mengupah delapan pekerja termasuk Mahmud yang selama beberapa hari turut dalam perjalanan kami.

Aku mengendarai kudaku ditengah malam di jalan mendekati hutan yang luas di Sibuhuan. Aku belum bertemu si raja rimba secara langsung walau aku sangat mengenal suara si ompung. Kalau ia bersuara keras maka ia ada masih jauh. Aumannya membuatku merinding. Sama seperti suara mortar pasukan Australia yang terus menerus menggempur kami dari pantai tersebut.

Apakah harimau sekuat manusia? Badannya saja besar dan dua kali dari badan manusia dewasa. Sementara ternak melenguh namun tetap tenang saja seolah tidak ada yang terjadi. Nantinya mereka akan beristirahat sebentar lagi kala menjelang malam. Hewan tidak biasa untuk berjalan malam hari karena mereka juga cape dan para penjaga juga sudah cape. Tetapi sebagian akan menjaga dari harimau, perampok serta juga mahluk halus. Untuk yang terakhir ini aku tidak percaya mahluk halus karena mereka tidak akan merampok sapiku melainkan orang-orang yang sangat mau untuk menjual sapi demi gulden.

Aku lelah setelah dua hari berjalan nantinya kami akan bertemu Syeikh Ridwan yang memesan 10 sapi kami. Aku duduk saja di tempat yang gelap dan Mahmud menyalakan api dengan bantuan pamanku Abdul Rozzaq. Malam yang dingin ini sedikitnya terobati. Api yang hangat dapat mengusir si ompung yang mungkin sedang lapar.

Kami sebenarnya dilarang membawa daging namun karena ada kecelakaan kami harus memotong seekor sapi yang kakinya patah tidak mungkin meninggalkan begitu saja karena kasihan. Abdul Rozaq langsung menyembelih sapi tersebut. Kami mengambil dagingnya saja langsung membakarnya ditempat ini. Ibrahim mengizinkan dengan syarat kami harus berhati-hati untuk membakar karena mengundang orang lain atau binatang-binatang lain.

Abdul Rozaq datang dengan potongan daging yang besar. Kami langsung membagi daging tersebut pada 10 orang . Kami memakannya. Daging yang segar ini memang lezat sekali.

"Mahmud, kau harus berjaga ekstra sebab ompung mungkin akan datang."

"Tenang aja tuan aku sudah siapkan jurus untuk menghadapi si ompung", katanya sambil menyantap daging sapi setelah makan kami pun segera mengurus perbekalan dan melepaskan kekang kuda kami. Mereka pasti lelah karena perjalanan yang jauh.

Photo by Martex

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun