Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asadi Timur Damaskus

3 Agustus 2016   08:01 Diperbarui: 3 Agustus 2016   08:08 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seluruh Gedung dan bangunan menjelma menjadi puing. Aku terpaku sambil menenteng senjata legendaris Mausser dan mukaku tertunduk. Aku melihat anak kecil sedang bermain ayunan. Seorang ibu muda sedang menyuapi anaknya di taman bunga di depan saya. Anak-anak berlarian mengejar temannya yang berlari sangat cepat. Anak tersebut cukup tangguh dan ia gesit sekali melewati teman-temannya.

Tiba-tiba saja bom menggelegar menghancurkan taman tersebut. Sekejap saja anak di ayunan terlempar pun dengan ibu yang sedang menyuapi anaknya. Aku berusaha untuk mengejar anak tersebut dan hendak mendekapnya namun yang aku dekap adalah pasir-pasir dan puing. Aku kembali ke alam nyata.

Ada tiga anak yang kepalanya sudah tertembus oleh sniper. Lubang di kepalanya sudah menganga dan aku yakin sudah tiga hari. Aku teriak sekeras-kerasnya dan aku menembakkan peluru ke langit. Orang-orang justru keluar dari persembunyian dari balik reruntuhan.

“Apakah ini keluarga kalian? mengapa kalian tidak menguburkan?”, aku bertanya dengan wajah yang penuh keheranan.

“Kami mau menguburkan namun kami khawatir sniper akan menyerang kami.”

Aku tahu bahwa mereka sedang menunggu untuk menguburkan anak tersebut .

“Lalu kenapa berani begitu aku datang kesini?”

“Sebenarnya aku sudah yakin bahwa kau Mujahidin namun kami mau memastikan terlebih dahulu. Kami yakin kau adalah Mujahidin setelah menangis di depan mayat-mayat anak-anak tersebut”

“Kenalkan aku adalah Nasir, kepala desa kampung ini”, ia menjulurkan tangganya ke saya seorang yang sudah lima puluhan tahun ke atas .

“Aku Ashlan. Aku Mujahidin dari Lattakia”, Aku menyalaminya dengan erat.

“Lattakia, kota basis Nusahariyyah ?“ Wajah Nasir menjadi lebih heran

“Benar, perlawanan kami dimulai dari sana. Aku menuju Timur Damaskus ini untuk bergabung menghadapi pasukan Rusia”.

“Alhamdulillah,  Allah telah mengirimkan mu untuk kami”

Aku melihat kaum laki-laki langsung mengurus jenazah bocah kecil yang malang tersebut.

“Akan kalian bawa kemana anak-anak tersebut?”

“Kami memiliki perkuburan untuk warga sini. Mereka syahid sebagai syuhada”

“Aku tahu  ini adalah basis dari Nushariyyah mengapa kalian tetap sini”

“Tidak sebenarnya ini belum basis Nushariyyah,  ada Front Islam dan mereka mengadakan perlawanan”

“Lalu kenapa kalian tidak mengungsi?”

“Tidak,  kami tidak akan mengungsi. Kami lahir di sini dan kami akan mati di sini. Kami membantu para Mujahidin karenanya orang Nushariyyah dan Syiah sangat membenci kami”

“Tapi dengan disini kalian lebih membahayakan diri kalian”, aku semakin menunjukkan keherananku.

“Kami mempunyai harapan Tuan Ashlan. Suatu saat kami akan membangun negeri ini bersama para Mujahidin. Kami akan membangun negeri ini dengan nilai Qura’an dan Sunnah”

“Baiklah jika demikian. tapi kalau kalian membutuhkan evakuasi kami akan melakukan evakuasi di tempat ini”

“Mau kemana kami ini? Ke Turki, Presiden Erdogan sudah cukup repot dengan tiga  juta orang Syria dan ia harus menghadapi pemberontak Kurdi . Ke Saudi, Raja Salman juga sudah repot dengan 2,5 juta orang Syria. Keduanya sedang menghadapi konspirasi Syiah dan Negara Barat. Eropa sudah tidak mau menerima kami lagi. Ke Libanon, kami akan semakin menderita. Kami di sini berjuang untuk tanah kami. Dari zaman Kekhalifaan sampai terakhir pendahulu-pendahulu kami memerangi Inggris. Kami membantu Utsmaniyyah untuk mempertahankan tanah para nabi ini. Orang tua kami juga melawan ayahnya Bashar Assad dan kami kini melawan anaknya Hafiz Assad ”

Aku menjadi bangga dan aku menenteng sebuah senapan peninggalan dari kakek buyutku yang berjuang untuk Turki.

“Baiklah jika demikian, aku akan beroperasi ke blok sebelah sana. Aku akan menyisir para sniper Rusia. “

“Tuan, bukankah kau lebih baik ke tempat kami terlebih dahulu. Kita makan saja dulu. Kami mempunyai persediaan makanan”

Aneh mengapa mereka masih menawarakan ku makanan mereka masih terkepung. Ah, pasti mereka mau menyediakan makanan seperti mereka menawarkan pada Mujahidin yang lain.

“ Ah tidak, aku masih mempunyai persediaan makanan”

“Tuan kau jangan bohong. Kami tahu bahwa Mujahiddin yang bergerak sendiri seringkali kehabisan makanan”

Seorang ibu membawa bungkusan seperti sudah tahu saja yang aku lakukan dan ia menyodorkan bungkusan tersebut padaku. Aku mau menolak tetapi perut juga sedang keroncongan. Aku pikir ini rezeki yang tidak bisa ditolak dan aku akan mengecewakan mereka yang sudah menyiapkan makanan ini.

Dengan sedih aku meninggalkan tempat tersebut menuju blok untuk mencari seorang sniper yang sudah menewaskan banyak mujahidin. Bahkan ketiga bocah tadi aku yakini adalah korban sniper tersebut. Masih aku duga barangkali. Hanya Dragunov yang mampu menembak tiga bocah tersebut karena dari jarak yang jauh sekali. Kalau ia sudah tiga hari berarti sniper tersebut dapat berada di mana saja. Mungkinkah ia sedang mengawasiku?

Aku segera mengambil posisi di sebuah jendela  gedung bertingkat yang hampir separuhnya sudah hancur seperti kue yang terpotong sebelah. Aku tahu bahwa ini akan berbahaya dekat dengan jendela. Aku berimajinasi mengandaikan sebagai seorang sniper. Saya akan mengambil posisi yang di daerah aman. Aku memperikirakan para sniper akan berada di bukit yang ada di depan. Sebuah persembunyian yang sangat sempurna bagi mereka.

Aku melihat seorang tua sedang mengembalakan kambingnya. Aku hendak mengusirnya dengan menembaknya namun peluru musuh sudah menjatuhkan kakek tersebut. Tembakan sniper tersebut sudah membuat para warga panic dan mereka berlarian masuk ke dalam gedung-gedung. Aku sudah mengetahui bahwa ada senapan sniper yang berada di daerah bukit. Sesuai dengan tebakanku.

Para penduduk berusaha menarik penggembala yang sudah sekarat tersebut namun mereka tidak berani untuk keluar karena mereka akan terkena peluru sniper. Penggembala tersebut mengerang kesakitan. Aku tahu si sniper tidak akan menembaknya mati hanya membuat sekarat agar orang lain terpancing untuk membantunya.

Kepala Kampung menghalangi orang yang mencoba keluar. Kepala desa melepas seutas tali ke arah pengembala tersebut dan si pengembala dengan sigap mengambilnya. Kepala kampong segera menariknya namun baru satu kali tarikan sebuah peluru memutuskan talinya.

“Hmm, dahsyat sekali orang tersebut” ,gumamku

Kepala kampong tidak putus asa ia bahkan melempar rantai  dan dengan tanggap si korban menangkapnya. Sebuah peluru kembali menghantam rantai dan rantai tersebut tidak putus. Hanya sela beberapa detik sebuah peluru menghantam telapak tangan korban dan ia menjerit sekeras-kerasnya.

“Dasar komunis biadab”. Akupun segera meninggalkan tempat tersebut dan menyeberang ke gedung yang lain. Aku pikir sniper tersebut tidak terlalu memperhatikan pergerakanku. Aku harus membunuhnya cepat sebelum ia membunuh lebih banyak lagi warga desa. Aku juga harus cepat karena korban si penggembala domba tersebut pasti menderita dengan luka yang mengangga.

Aku khawatir bahwa bukan hanya seorang sniper. Aku bertemu dengan tiga orang pejuang yang menggunakan senapan sniper juga. Mereka sedang menghadap ke arah bukit.

Mereka segera mengarahkan senapan padaku. Aku bilang bahwa aku adalah pejuang dari Lattakia. Seorang rupanya mengenaliku dan merekapun mempersilahkan aku ke pengintaian.

“Seorang sniper, ada Di sana. Ia bebas sekali untuk menembak dan senapan mereka jauh lebih baik dari kita”

“Ya, ia mengenakan senapan sniper Dragunov untuk meneror warga kota”

“Para komandan menitahkan kita untuk menjaga garis depan ini”

“Kalian berapa semuanya?”

“Kami hanya bertiga saja. Seluruh pasukan sudah diarahkan ke tempat lain untuk menahan serangan di tempat lain”

“Seharusnya para komandan juga memikirkan tempat ini. Berapa jumlah sniper yang ada di sana?”

“Aku kira hanya satu tuan. Aku tidak lihat adanya pergerakan yang lainnya”

“Kapan, si sniper akan berpindah?”

“Terkadang malam-malam. “

“Mengapa kalian tidak menembaknya. “

“Dengan senapan ini kami tidak menebaknya begitu juga dengan senapanmu”, si sniper menunjukkan senapan snipernya yang kuno.

“Kalau saja kita mempunyai Dragunov atau senjata anti material, kita dapat menembaknya”

“Hmm si Rusia tersebut tahu bahwa kita tidak bisa menembaknya”

Si komandan yang kuketahui namanya Shalih melihat senapanmu

“Kau menggunakan senapan lama dan tanpa teleskop”

Aku dengan bangga menunjukkan senapan.

“Ini adalah peninggalan dari kakek buyutku. Ia adalah Tentara Infantri angkatan darat Khalifah Utsmaniyyah yang berperang melawan Inggris di Syria. “

“Tapi kau harus membutuhkan sejata besar untuk melawan pasukan beruang Merah”

“Aku yakin aku akan mengalahkan musuh tersebut sebelum ia membunuh lebih banyak lagi warga sipil”

“Baiklah, jika demikian”

“Pernahkah pasukan musuh mencoba menerobos koridor ini”

“Aku kira tidak … mereka tidak akan berani untuk menyeberang koridor ini”

Aku menyangsikan karena penjagaan hanya ada tiga orang.

Kau jangan mengira kami hanya tiga orang. Para unit Mujahidin tersebar di garis ini kalau mereka sedang ada di sini. Karena mereka bertugas enahan serangan. Mereka jadi pergi ”

“Aku ingin kau memberitahukan bahwa aku akan menyerang sniper tersebut.”

“Baiklah, aku akan memberitahukan pejung lain agar mereka tidak salah dalam menembak teman mereka sendiri”

Aku membagikan makanan yang ada di dalam bungkusanku. Tampaknya mereka juga kelaparan sama seperti halnya diriku. Aku menggulung roti dan kemudiannya menggigitnya. Rasa laparku menjadi hilang setelah makan roti tersebut. Aku pun mohon diri.

Aku menyeberang sebuah gedung dan aku melihat sekelompok Mujahidin lagi. Aku melambaikan tanganku dan merekapun melambaikan tangan. Mereka tampaknya sudah mengerti bahwa aku akan beperang melawan sniper tersebut.

Tiba di gedung paling depan. Tidak ada seorang Mujahidin pun yang ada. Mungkin Mujahidin sengaja tidak mengisi gedung tersebut untuk melindungi diri mereka dari sniper. Ada suatu kilatan yang berasal dari balik bukit. Itu yang meyakiniku posisi sniper. Jarak gedung dengan sniper cukup jauh. Aku kira lebih satu kilometer dan itu berarti aku tidak mungkin untuk menjangkau dengan senapan ini. Sementara senjatanya mampu mengenaiku dari jarak yang sama.

Aku harus mengendap dan tidak diketahui oleh sniper untuk memburu sniper tersebut. Hari sudah menjelang petang mungkinkah. Aku akan menyeberangi jalan sebelum menuju lembah kecil di bawah bukit tersebut.

Aku membawa teropong namun aku sulit sekali mengenali posisi lawan secara pasti. Mungkinkah ia bergerak ke tempat lain atau ia tidak bergerak sama sekali karena toh belum ada yang bisa menggangu posisinya.

Aku merayap di kegelapan. Aku harap ia tidak melihat. Jalanan yang terbuka tersebut adalah sasaran empuk bagi sniper. Ia memang pandai membuat sebuah labirin yang luas yang menjadikan tempat sasaran. Aku yakini saja bahwa aku akan melewati tempat tersebut.    

Aku mendorongkan tubuh dengan kakiku dan bergerak sedikit. Aku menunggu sebentar apakah ada reaksi dari penembak tersebut. Aku pikir tidak maka aku meneruskan satu langkah lagi dan dengan cepat aku menuju sebuah pohon cemara yang rindang dan depannya ada sebuah lubang di tembok. Oh, mungkinkah ia akan menyergapku di sini. Aku tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan saja. Mungkin sniper musuh mempunyai night vision yang dapat melihat dalam kegelapan.

Apakah si sniper tersebut ingin mempermainkanku. Aku mendengar obrolan dalam bahasa yang aku juga tidak mengerti. Pastilah itu orang Rusia. Aku akan menyergap mereka. Aku menyiapkan sebuah sangkur yang ada di dipinggangku. Aku akan mencoba melihat situasi berapa orang yang ada di depan.

Aku mendengar hanya dua pasang derap sepatu. Mungkinkah mereka akan melewati lubang tersebut? Ya, mereka lewat lubang tersebut. Rupanya mereka juga seorang sniper dan seorang marksman.  Seorang melewati lubang dan aku mendiaminya. Aku menunggu hingga orang kedua keluar dari lubang tersebut.

Orang keduapun keluar dan mereka membawa senjata yang berat. Ah, rezeki nomplok aku melempar pisau pada orang kedua. Orang pertama menoleh ke belakangan dan aku pun berduel dengannya . Ia mencoba menusukkan sangkur ke perutku namun aku sudah memukulnya terlebih dahulu. Ia meninju kepalaku dan akupun memopor kepalanya. Benar-benar luar biasa. Ia sepertinya tidak terpengaruh dengan hantaman poporku. Sementara kepalaku pening sekali akibat hantaman tinjunya. Ia hendak menghantamkan tinju lagi namun aku menagkisnya dengan gerakan dari bawah mengeluarkan tangan menepis tinjunya.

Badannya jauh lebih besar dariku dan aku harus cerdik menggunakan cara untuk menjatuhkan orang besar tersebut. Aku akan menggunakan  aikido-ku untuk menjatuhkan orang tersebut. Aku sengaja mengunakan energi orang tersebut yang memukulku dan menjatuhkan nya ke arah lubang tersebut. Ia pun tidak berdaya . Aku mengakhiri perlawananya dengan pisau belati.

Aku langsung menggeledah kedua orang tersebut. Aku menemukan senjata –senjata mereka yang sangat canggih yakni night vision. Ah, mustahil, mengapa mereka tidak dapat melihatku padahal mereka mempunyai alat yang sedemikian canggihnya. Ini pasti pertolongan Allah yang menutup penglihatan mereka tehadap diriku.

Aku mengenakan night vision dan aku melihat ada seekor kambing yang sedang melewati. Aku belum pernah menggunakan night vison. Alhamdulillah, alat ini pasti akan membantu untuk melawan para sniper Rusia yang biadab tersebut. Aku periksa dompet tentara Mereka. Mereka benar-benar Rusia tulen. Salah seorangnya adalah Kapten Alyosha Kirlienko. Aku melihat photo beserta anak dan istrinya. Aku segera menyimpan di dalam tasnya beserta kalung identitas. Rupanya ia sniper yang hebat sampai harus pergi ke medan tersebut. Aku memfoto tato besar di lengan kananya. Aku akan memberikan ini pada media jihad untuk menyebarkan keterlibatan Rusia di dalam Perang Syria ini.

Aku akan mencoba menaiki bukit itu selagi malam. Aku harus menutup korban tersebut agar tidak mengundang kecurigaan teman-temannya. Aku mendengar bunyi kresek-kresek di head set kedua prajurit tersebut. Pastinya mereka sudah mengetahui bahwa teman-teman mereka sudah tewas. Aku matikan saja headset tersebut. Aku melihat mereka mengunakan rompi anti peluru. Aku pikir ini lebih baik menggunakan ini untuk menahan serangan musuh.

Aku mengendap dan aku kira beberapa jam lagi aku akan menemui sniper. Aku merasa haus dan aku memerlukan minuman untuk menghilangkan dahagaku.

Aku sudah sampai ke atas dan melihat menggunakan night vision. Ada empat tentara yang mengawasi kota tersebut. Aku harus menembakkan dalam waktu yang cepat agar mereka semua tidak sempat membalas tembakan. Tapi bagaimana karena kalau aku menembak pasti aku akan tertembak juga oleh musuh yang sudah mengepung di sana.

Aku tidak mempunyai persediaan granat karena aku jarang sekali bertempur dengan pasukan yang banyak. Aku harus menembak kedua sniper tersebut trelebih dahulu atau mungkinkah aku menembak jika salah seorang menembak terlebih dahulu.

Aku yakin keberadaanku kalau sudah sampai pagi akan datang lagi rezim Nushariyaah. Mereka akan mencoba menangkapku dan menyiksaku seperti teman-temanku yang dahulu. Sementara masih enam jam lagi sebelum pagi aku harus melihat perkembangannya.

Aku mendengar goresan sebuah batang korek api. Mereka merokok. Rupanya mereka tidak sadar bahwa ada yang mengintai mereka. Seorang sniper tidak mungkin mau merokok kecuali jika mereka yakin bahwa mereka aman. Mereka pikir para pejuang tidak ada dan tidak masalah rokok mereka tercium oleh pejuang toh para pejuang tidak akan mampu mengenai mereka . Mungkin ini saatnya aku menembak mereka tapi aku khawatir. Aku menunggu saja.

Tapi kalau menunggu sampai kapan sementara akupun terasa mengantuk sekali. Aku tidak mungkin tidur jika bertugas sendirian. Bisa-bisa mereka akan mengepungku.

Ada suara kasak kusuk rupanya mereka sedang menemukan sasaran. Aku mengarahkan pandangan ke arah depan ada seorang kakek-kakek yang berjalan menuju masjid. Rupanya kakek-kakek itu tidak sadar sedang menjadi santapan daripada pasukan Rusia. Rupanya mereka tertawa sedang menyaksikan kakek yang jalannya terseok-seok.

Aku harus mendahului mereka apapun risiko yang ada. Aku menembak seorang yang kuanggap lebih dekat. Seorang temannya segera mengarahkan senapan nya namun tidak mampu mendahuliku yang  sudah terampil dalam mengokang senapan. Akupun menjatuhkan kedua sniper tersebut dalam waktu yang tidak lama. Kini tinggal marksman mereka yang membalas tembakan serabutan. Aku sengaja menghindari tembakan mereka.

Alhamdulillah, mereka tidak mengenaiku dan mereka lari tunggang langgan karena kehabisan peluru.

Aku mencoba memburunya namun aku khawatir pasukan rezim akan menyerangku. Akupun balik menuruni perbukitan untuk segera balik ke induk pasukan dan melaporkan perkembangan. Aku tidak yakin sementara ini pasukanku bisa menempati perbukitan ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun