“Kau salah, dari dulu kami selalu mampu memenuhi kebutuhan anak yatim. Aku berharap dengan momen ini kau kembali bersaudara dengan saudaramu”
Ustadz memang keras sekali dan ia tahu tidak bisa melawannya.
Ah uang ini saya berikan saja pada pengemis jalanan. Pengemis jalanan pasti mau memberikan. Ah tidak, pengemis jalanan pasti orang bayaran . ia akan memnafaatkan uangnya untuk sesuatu yang lain.
Baginya ustadz yang benar untuk membantu keluarga. Ia meninggalkan pengemis tersebut.
Ia datang dan bukan tanpa pergelutan. Ia ragu apakah saudaranya masih menerima dirinya. Jangan-jangan ia diusir dan itu membuatnya malu. Ada keinginnan untuk kembali lagi dari arah jalan menuju rumahnya.
Ia beranikan diri dan ia melihat saudranya sedang tilawah Qur’an. Ia menerima dnegan tangan terbuka dan ia mepersilahkan sabar duduk. Ketakutan akan diusir sirna dan ia menyebutkan bahwa ia memberi sedekah.
“Kau baik sekali tetapi kau kan butuh uangnya”
“Sudahlah kau pasti lebh membutuhkannya dariku dan kau jangan menolaknya maka aku akan sedih”
“Tidak aku tidak mau. Aku tahu kau hidup juga kekurangan”, kata saudaranya
Sabar tidak tahu mau kemana lagi pergi. Ia sadar bahwa sekarnag ia tidak tahu mau kemana memberikan uang tersebut. Yah, sudahlah kalau begitu ia pulang saja. Ia tahu bawa saudaranya menjaga harga diri meski hidup di tempat sana.
Sepertinya pintu kebaikan sudah terttup baginya. Ia tidak mau pergi kemana atau ke Bang Tobing atau ke pengemis. Ah, sudahlah mungkin ia yang memakai uangya dan nanti kalau ia kaya ia akan menyedekahkannya ke orang lain.