Sabar pergi menuju rumah Nenek Amin. Rumahnya yang reyot yang sudah tinggal bilik bambu dan pondasi berupa bambu yang sudah reyot pula.
Sabar tahu bahwa Nenek ini akan menerima sedekah yang ia berikan . Ia mendapatkannya dari proyek untuk membuat jembatan atau menggamabr jembatan yang ada di Kabupaten. Upahnya tidak banyak tetapi ini cukup baginya.Kalau ia traktir temannya memang tidak akan cukup.
Ada nenek sedang menganyam keranjang bambu. Sabarpun hatinya menjadi senang karena ia bisa memberikan sedekah pada Nenek Amin.Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, Nenek Amin tidak menerima sedekah dari Sabar.
“Nek, tolonglah terima sedikit sedekah saya. Saya ikhlas 100% dan tidak ada pamrih. Tidak ada yang melihat bahkan tidak ada yang tahu bahwa saya ke sini.”
“Bukan itu masalahnya , Nak. Kau sendiri belum cukup. Aku sudah cukup dari pekerjaan menganyam bambu ini. Aku makan cukup dan aku mempunyai rumah ini”, ia mengarahkan padangannya ke atap yang sudah reyo tersebut.
Sabar semakin menggeleng-geleng melihat pernyataan nenek tersebut. Ia memang belum cukup tapi kapan kalau tidak merasa cukup maka kita tidak akan sedekah.
“Nek, bukankah kalau kita bersedekah kita akan menjadi orang yang kaya. Saya yakin Nek. Ketika saya bersedekah maka saya akan mendapatkan limpahan rezeki yang baru”, katanya dengan yakin.
"Tapi bukankah kau bersedakah jika untuk memenuhi kebutuhan hidupmu sendiri. Kau juga harus tahu hal itu"
"Tapi nenek membutuhkannya lebih dari saya. Bukankah orang yang mengutamakan orang lain itu baik atau kalau bahanya arabnya itsar", kata Sabar tidak mau kalah berdalih.
"Yah, kalau begitu biar neneklah yang mengutamakan dirimu. Aku ini apa? aku sudah lanjut usia dan sebantar lagi akan bertemu dengan Allah. Kau masih muda,meski umur tidak ada yang tahu, kau bisa gunakan uang tersebut untuk hal yang lain. Coba kau cari saudara kerabat atau tetangga yang dapat kau berikan "
Tentu saja Sabra tidak bisa lagi mendesak nenek yang ia bilang mempunyai jiwa yang kuat ini.
Ia meninggalkan pondok dengan berjalan dan ia berhati-hati untuk melihat sekelilingnya karena ia khawatir akan ada orang yang melihatnya.
Hmmm.. siapa lagi yah yang bisa ia kasih sedekah. Semua keluarganya mampu dan memang mereka tidak membutuhkan sedekah dari dirinya. Pastinya kalau ada sedekah diantara dirinya maka dirinyalah yang paling berhak menerima sedekah karena hidupnya yang masih sendiri dan belum mempunyai pekerjaan yang tepat.
Ia juga menyesal waktu dulu uang banyak tapi ia gunakan untuk hal yang lain. Ia sangat kikir sekali kalau namanya sedekah. Ia tidak suka memberikan uangnya pada saudara. Pada masa kecilnya dulu ia tahu kerabatnyanya pada koret (pelit) pada dirinya hingga memberikan sikap yang sama pada saudaranya alias balas dendam.
Orang tuanya sudah memperingatkan bahwa balas dendam tidak baik dan tidak ada alasan kita menahan rezeki yang berasal dari Allah. Semua rezeki yang ada harus seperti air yang diberikan pada orang.
Tetapi hatinya masih sakit dengan hal itu sehingga ia menjadi pelit dan kikir. Ia membiarkan saudaranya yang meminta modal untuk bekerja sehingga ia bisa menghasilkan uang lagi namun ternyata ia lebih suka menahan.Yah, sekarang ia kini merasakan bagaimana rasanya tidak mempunyai uang hanya sedikit saja dan ia menyia-nyiakan waktu untuk meneruskan kebencian saja.
Tetapi sisa waktu yang ia lakukan adalah menebus semua kesalahan. Kalau masih ada nafas , ia mau bekerja untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Kesalaan sepertiny mengejarnya dan ia tidak bisa bersedekah. Kalau ia menyedekahkan kepada Bang Tobing . Ah gak mungkin, ia khan seorang pemabuk masa aku sih ingin membuat ia lebh mabuk lagi.
Ia tahu bahwa Tobing selalu membeli minuman meski kantong juga cekak. Ia menyiakan orang-orang yang menjadi tanggugannnya seperti istri dan anaknya. Istri dan anaknya harus berjibaku untuk mencari uang dari menjual barang bekas dan menjual koran.
Kenapa ia tidak lewat istrinya?? Istrinya khan selalu membutuhkan. Nah itulah istrinya tidak mau menerima karena setiap Sabar emberikan uang , ada saja yang tahu. Pernah Sabar mencoba untuk bersembunyi namun diketahui oleh Bang Tobing dan ia membeli sekerat bir. Sekerat Bir tersebut ia minum sendiri sampai membuat keonaran di kampung dan ia masuk ke dalam comberan.
Hati Sabar menjadi miris karena uang yang ia peroleh dengan sangat sulit sekali namun menguap begitu saja. Ia tahu ia harus bekerja sampai larut malam untuk mengerjakan pekerjaan tersebut hingga mendapatkan upah namun Tobing menghabiskan begitu saja.
Tentu Sabar menjadi sakit hati , ia tidak berhasil untuk bersedekah ke arah yang benar. Ternyata uangnya di gunakan untuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Ia menjadi miris sebab uangnya menjadi amunisi orang untuk berbuat maksiat. Sejak saat itu ia tidak akan memberi sedekah ke pada Tobing.
Semua orang sudah ia selidiki dan ia tidak melihat ada yang bisa menerima sedekah. Semuanya sudah makmur Alhamdulillah.Tetapi ada seorang saudaranya. Ia sangat anti dengan saudaranya tersebut karena ada perselisihan yang dibawa dari orang tua mereka. Ia tahu bahwa itu akan sulit sekali memberikan sedekah pada ornag tersebut.
Dulu pada masa perjuangan orang tersebut sulit sekali memberikan bantuan.Untuk minta modal sedikit saja susah sekali namun kini ia benar-benar sengsara. Ia mempunyai apotik yang besar dan salah menuliskan resep sehingga orang pembeli obat menjadi meninggal.Ia kini harus tinggal di bedengan rumah instasi negara yang bisa saja kapan digusur. Ia menjadi gelandangan dan istrinya dengan 3 nakanya meninggalkan dirinya.
Untuk memberikan bantuan tidak. Ia adalah orang yang menyengsarkan dirinya. Mendingan ia memberikan uang pada orang lain. Itu pasti hukuman dari Allah karena tidak mau membantu. Kini teman-temannya serta saudara-saudara yang dulunya dekat dengan diri meninggalkan dirinya namun kini ia disendirikan.
Sabar mau mencari orang miskin yang mau menampung uangnya ke orang lain. Ah, mungkin ada Ustadz Ahmad yang mau menampung uangya. Ia khnpunya 50 naka yatim yang perlu bantuan.
“Sebaiknya aku tidak perlu membantu. Aku tahu kau juga membutuhkan”
“Ustadz, apakah saya tidak boleh beribadah”
“Dalam beribadah kamu harus mengutamakan yang lebih utama. Kau masih mempunyai saudara Hamid yang tinggal di kontrakan. Lebih baik kau bantu dia terlebih dahulu baru kau bantu orang lain”
“Tapi saya sama dia sudah tidak bicara untuk beberapa tahun”
“Yah , inilah mungkin saat yang tepat untuk berbicara dengannya”, kata Ustadz tambah menegaskan
Iamasih berfikir apakah yang akan terjadi
“Kalau sekarang mau kapan lagi. Saudaramu masih berhak daripada orang lain.Aku tegaskan kalau kau sudah bantu saudaramu , aku akan menerima bantuanmu”
“Tapi aku tahu kau sedang membutuhkan uang”
“Kau salah, dari dulu kami selalu mampu memenuhi kebutuhan anak yatim. Aku berharap dengan momen ini kau kembali bersaudara dengan saudaramu”
Ustadz memang keras sekali dan ia tahu tidak bisa melawannya.
Ah uang ini saya berikan saja pada pengemis jalanan. Pengemis jalanan pasti mau memberikan. Ah tidak, pengemis jalanan pasti orang bayaran . ia akan memnafaatkan uangnya untuk sesuatu yang lain.
Baginya ustadz yang benar untuk membantu keluarga. Ia meninggalkan pengemis tersebut.
Ia datang dan bukan tanpa pergelutan. Ia ragu apakah saudaranya masih menerima dirinya. Jangan-jangan ia diusir dan itu membuatnya malu. Ada keinginnan untuk kembali lagi dari arah jalan menuju rumahnya.
Ia beranikan diri dan ia melihat saudranya sedang tilawah Qur’an. Ia menerima dnegan tangan terbuka dan ia mepersilahkan sabar duduk. Ketakutan akan diusir sirna dan ia menyebutkan bahwa ia memberi sedekah.
“Kau baik sekali tetapi kau kan butuh uangnya”
“Sudahlah kau pasti lebh membutuhkannya dariku dan kau jangan menolaknya maka aku akan sedih”
“Tidak aku tidak mau. Aku tahu kau hidup juga kekurangan”, kata saudaranya
Sabar tidak tahu mau kemana lagi pergi. Ia sadar bahwa sekarnag ia tidak tahu mau kemana memberikan uang tersebut. Yah, sudahlah kalau begitu ia pulang saja. Ia tahu bawa saudaranya menjaga harga diri meski hidup di tempat sana.
Sepertinya pintu kebaikan sudah terttup baginya. Ia tidak mau pergi kemana atau ke Bang Tobing atau ke pengemis. Ah, sudahlah mungkin ia yang memakai uangya dan nanti kalau ia kaya ia akan menyedekahkannya ke orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H