It's China's fault, not my fault (semua gara-gara China, bukan salah gue), kira-kita begitulah Trump selalu berkilah.
Tanpa disadarinya, ia sebetulnya sedang menabur benih-benih kebencian. Trump sudah menabur angin, dan sekarang Amerika sedang menuai badainya dengan 'The Asian-Hate' yang marak.
Sampai-sampai Presiden Joe Biden mesti mengeluarkan pernyataan resminya yang mengutuk soal ini.
Dari Cresida Heyes dan Stuart Hall kita belajar tentang posisi politik identitas dalam ruang demokrasi. Dimana setiap relasi gerakan itu sebetulnya menciptakan artikulasi demokrasi yang menunjukan bahwa jantung nafas demokrasi sedang berdegup. Ada kehidupan.
Namun, di lain sisi, relasi yang terjadi bisa saja berbentuk benturan atau konflik. Dan ini otomatis membuat kondisi sosial jadi rentan terhadap "clash of fundamentalists" (istilah Tariq Ali) atau mengikuti istilah Samuel Huntington "clash of civilization", dimana keduanya itu sesungguhnyalah merupakan cacat dalam demokrasi.
Virus "Benci-Asia" yang sedang melanda AS di tengah pandemi Covid-19 merupakan buah pahit dari praktek politik-identitas yang mengarah ke politik kambing-hitam. Politik yang lari dari tanggungjawab sosial, lari dari solidaritas kemanusiaan.
Fenomena perlakuan warga kulit putih (dan juga kulit hitam?) di Amerika Serikat terhadap warga kulit kuning (keturunan Asia) menjadi penuh emosi kebencian yang sangat irasional. Kelakuan yang tak bisa dipahami oleh hati dan pikiran waras warga dunia.
Padahal dulu Martin Luther King pernah berseru di tanah Amerika, "I look to a day when people will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character!" (dalam pidato legendarisnya, "I have a dream").
Suatu proses sosial yang pahit. Bisa saja kita mengatakan bahwa Amerika Serikat saat ini sedang memasuki suatu fase pemurnian kembali tentang 'E Pluribus Unum', yaitu semboyan (falsafah) bangsanya sendiri yang berarti 'dari banyak menjadi satu'. Semoga saja.
Yang penting buat kita, belajar dari perjalanan jatuh-bangunnya suatu bangsa, bahkan bangsa yang besar dari negara super-power seperti itu pun masih bisa terperosok dalam jebakan 'politik-identitas' sempit.
Kisah pahit di pemilu dan pilkada yang pekat dengan politik identitas ternyata telah meninggalkan bekas luka bernanah yang lama pulihnya.