Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Virus "Benci-Asia" di AS, Buah Pahit Politik-Identitas Sempit dan Pelajarannya

21 Maret 2021   17:48 Diperbarui: 21 Maret 2021   18:03 1758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari indonesianlantern.com

Virus "Benci-Asia" di AS, Buah Pahit Politik-Identitas Sempit dan Pelajarannya

Oleh: Andre Vincent Wenas

"My ethnicity is not virus!" -- slogan #StopAsianHate

Politik identitas sebagai suatu permainan politik praktis memang terjadi di mana-mana, dan bukan baru sekarang ini saja.

Cressida Heyes misalnya, memahami politik identitas sebagai aktivitas politik dalam artinya yang luas. Secara teoritik, terjadi dalam berbagai benturan pengalaman tentang ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu.

Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari 'kaum yang terpinggirkan' dalam suatu kondisi sosial, politik, dan kultural dalam masyarakat.

Dalam suatu perjuangan politik, penggunaan identitas memang bisa memberi pengaruh yang cukup signifikan. Identitas adalah konsep kunci dalam arena politik. Secara teoritik, identitas memiliki definisi yang cukup mendalam maknanya.

Sedangkan Stuart Hall melihat bahwa identitas adalah proses yang terbentuk di alam bawah sadar. Sistem bawah sadar ini, dalam perjalanan waktu bakal membentuk bayangan imajiner terus berubah, tak pernah final.

Maka Stuart Hall lebih menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming) dari pada suatu nilai yang baku serta 'taken for granted'.

Dalam perjalanannya, istilah 'politik-identitas' mengalami pemaknaan yang lebih bersifat pejoratif (merusak, jelek). Condong ke pemanfaatan identitas kelompok tertentu untuk dibenturkan dengan identitas kelompok lainnya dalam upaya mendulang suara atau dukungan untuk kepentingan politik sempit tertentu.

Misalnya, semasa Donald Trump berkuasa di Gedung Putih, kita pun kerap mendengar bagaimana ia memasak (cooking) isu identitas ini. Ia kerap memojokkan China sebagai "biang kerok" katastropi di Amerika. Mulai dari soal defisit neraca perdagangan (trade balance deficit), sampai soal kesehatan (virus Corona).

It's China's fault, not my fault (semua gara-gara China, bukan salah gue), kira-kita begitulah Trump selalu berkilah.

Tanpa disadarinya, ia sebetulnya sedang menabur benih-benih kebencian. Trump sudah menabur angin, dan sekarang Amerika sedang menuai badainya dengan 'The Asian-Hate' yang marak.

Sampai-sampai Presiden Joe Biden mesti mengeluarkan pernyataan resminya yang mengutuk soal ini.

Dari Cresida Heyes dan Stuart Hall kita belajar tentang posisi politik identitas dalam ruang demokrasi. Dimana setiap relasi gerakan itu sebetulnya menciptakan artikulasi demokrasi yang menunjukan bahwa jantung nafas demokrasi sedang berdegup. Ada kehidupan.

Namun, di lain sisi, relasi yang terjadi bisa saja berbentuk benturan atau konflik. Dan ini otomatis membuat kondisi sosial jadi rentan terhadap "clash of fundamentalists" (istilah Tariq Ali) atau mengikuti istilah Samuel Huntington "clash of civilization", dimana keduanya itu sesungguhnyalah merupakan cacat dalam demokrasi.

Virus "Benci-Asia" yang sedang melanda AS di tengah pandemi Covid-19 merupakan buah pahit dari praktek politik-identitas yang mengarah ke politik kambing-hitam. Politik yang lari dari tanggungjawab sosial, lari dari solidaritas kemanusiaan.

Fenomena perlakuan warga kulit putih (dan juga kulit hitam?) di Amerika Serikat terhadap warga kulit kuning (keturunan Asia) menjadi penuh emosi kebencian yang sangat irasional. Kelakuan yang tak bisa dipahami oleh hati dan pikiran waras warga dunia.

Padahal dulu Martin Luther King pernah berseru di tanah Amerika, "I look to a day when people will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character!" (dalam pidato legendarisnya, "I have a dream").

Suatu proses sosial yang pahit. Bisa saja kita mengatakan bahwa Amerika Serikat saat ini sedang memasuki suatu fase pemurnian kembali tentang 'E Pluribus Unum', yaitu semboyan (falsafah) bangsanya sendiri yang berarti 'dari banyak menjadi satu'. Semoga saja.

Yang penting buat kita, belajar dari perjalanan jatuh-bangunnya suatu bangsa, bahkan bangsa yang besar dari negara super-power seperti itu pun masih bisa terperosok dalam jebakan 'politik-identitas' sempit.

Kisah pahit di pemilu dan pilkada yang pekat dengan politik identitas ternyata telah meninggalkan bekas luka bernanah yang lama pulihnya.

Sehingga, tinggallah kita sekarang, mau dan mampukah untuk terus menerus menghembuskan nafas kehidupan terhadap 'Bhinneka Tunggal Ika'. Di mana fakta sosial dan sejarah bangsa kita itu beragam-ragam suku, agama, ras dan aliran kepercayaannya, namun telah bertekad untuk mengikat diri dalam suatu identitas Bangsa Indonesia.

Bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berdemokrasi, dan berkeadilan-sosial sebagai landasan (fondasi) sekaligus sebagai cita-cita.

21/03/2021

*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).

Referensi:
kompas.com
indonesianlantern.com
sosiologis.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun