Virus "Benci-Asia" di AS, Buah Pahit Politik-Identitas Sempit dan Pelajarannya
Oleh: Andre Vincent Wenas
"My ethnicity is not virus!" -- slogan #StopAsianHate
Politik identitas sebagai suatu permainan politik praktis memang terjadi di mana-mana, dan bukan baru sekarang ini saja.
Cressida Heyes misalnya, memahami politik identitas sebagai aktivitas politik dalam artinya yang luas. Secara teoritik, terjadi dalam berbagai benturan pengalaman tentang ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu.
Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari 'kaum yang terpinggirkan' dalam suatu kondisi sosial, politik, dan kultural dalam masyarakat.
Dalam suatu perjuangan politik, penggunaan identitas memang bisa memberi pengaruh yang cukup signifikan. Identitas adalah konsep kunci dalam arena politik. Secara teoritik, identitas memiliki definisi yang cukup mendalam maknanya.
Sedangkan Stuart Hall melihat bahwa identitas adalah proses yang terbentuk di alam bawah sadar. Sistem bawah sadar ini, dalam perjalanan waktu bakal membentuk bayangan imajiner terus berubah, tak pernah final.
Maka Stuart Hall lebih menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming) dari pada suatu nilai yang baku serta 'taken for granted'.
Dalam perjalanannya, istilah 'politik-identitas' mengalami pemaknaan yang lebih bersifat pejoratif (merusak, jelek). Condong ke pemanfaatan identitas kelompok tertentu untuk dibenturkan dengan identitas kelompok lainnya dalam upaya mendulang suara atau dukungan untuk kepentingan politik sempit tertentu.
Misalnya, semasa Donald Trump berkuasa di Gedung Putih, kita pun kerap mendengar bagaimana ia memasak (cooking) isu identitas ini. Ia kerap memojokkan China sebagai "biang kerok" katastropi di Amerika. Mulai dari soal defisit neraca perdagangan (trade balance deficit), sampai soal kesehatan (virus Corona).