"Jadi, yang dimaksudkan dengan lahan stadion sudah pernah dibayar/dibebaskan adalah lahan seluas 7.006 m2 tersebut."
Jadi sisanya bagaimana? Max Lomban pun melanjutkan,
"Status kepemilikan sebagian lahan kompleks Stadion Dua Sudara adalah atas nama Bapak Sinyo Harry Sarundajang, yaitu lahan seluas 30.014 m2, berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 268 Manembo-nembo, yang dibeli secara pribadi pada tahun 1992 dari pemilik sertifikat atas nama Cornelia Wullur."
Hmm... kok agak aneh ya? Bukankah dulu di pertengahan tahun 1980-an Bapak Sinyo Harry Sarundajang (saat itu ia Walikota Bitung) bersama Ramoy Markus Luntungan (saat itu Camat Bitung Tengah) yang bersama-sama ikut dalam transaksi jual-beli lahan dari pemilik lahan (Keluarga Luntungan-Wulur dan Rompis-Pate)?
Sehingga semua pernyataan Max Lomban pun dibantah oleh Mantan Camat Bitung Tengah Ramoy Markus Luntungan (yang juga Mantan Bupati Minahasa Selatan).
Ramoy menyatakan bahwa semua lahan itu sudah lunas dibayar tahun 1986-1987. Sudah beres semua. Sehingga pembangunan stadion pun bisa dilakukan.
Bahkan sebagai Walikota Bitung saat itu, Sinyo Harry Sarundajang pun sempat memohon bantuan pembangunan stadion itu kepada Menpora di Jakarta dalam bentuk bantuan dana serta bantuan teknis. Dan ini menurut Ramoy serta Aliansi Masyarakat Sipil Bitung adalah salah satu bukti atau inidikasi kuat bahwa segala urusan kepemilikan lahan sudah beres.
Singkat cerita, kontroversi di seputaran isu lahan Stadion Duasudara ini semakin memanas.
Lalu bagaimana?
Yang jelas ada 2 versi cerita. Versi Walikota Max Lomban versus versi Mantan Camat Ramoy Markus Luntungan (dan pihak keluarga pemilik lahan pertama). Masing-masing punya argumennya sendiri.
Maka, supaya semua menjadi jelas dan adil bagi pihak-pihak yang bersengketa, segera bawalah kasus ini ke ruang pengadilan.