Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Satire-Parodi Teater Digital: Najwa Shihab Vs Denny Siregar

1 Oktober 2020   15:45 Diperbarui: 11 Oktober 2020   00:12 10103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah oleh penulis

Satire-Parodi Teater Digital: Najwa Shihab Vs. Denny Siregar

Oleh: Andre Vincent Wenas

"Bagaimana Pak Terawan?" dan yang ditanya pun tak bisa menjawab lantaran ia hanya seonggok kursi di sebuah studio. Najwa Shihab mewawancari kursi kosong bernama Pak Terawan.

Wacana yang berusaha dibangun oleh Najwa pun berubah jadi satire.

Dan terhadap ini Denny Siregar melalui forum 'Timeline'-nya langsung menohok dengan juga mewawancarai kursi kosong bernama Najwa Shihab. Parodi ala Denny.

Satire dijawab dengan Parodi, kita nikmati saja. Tak ada yang salah.

Tapi pada awalnya, wacana apa sih yang hendak dibangun oleh Najwa sebetulnya?

Baiknya kita pahami dulu soal wacana atau diskursus. Wacana atau diskursus itu sejatinya berasal dari bahasa Latin, 'discursus', (harafiah artinya "berlari bolak-balik"). Ini juga sebentuk komunikasi.

Konsep diskursus dikembangkan filsuf Michel Foucault sebagai sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan gambaran yang ujungnya membangun konsep, paradigma, pemahaman umum, jadi kultur, suatu budaya.

Diskursus dibangun lewat asumsi-asumsi yang umum untuk kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan, perbincangan publik, baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam suatu periode sejarah tertentu.

Misalnya, dalam penelitiannya, Foucault menyingkapkan adanya perubahan wacana (diksursus) mengenai kegilaan pada abad pertengahan sampai abad ke-20. Ia meneliti berbagai dokumen sejarah abad pertengahan, dan menyimpulkan bahwa pada masa itu orang gila tidaklah dianggap berbahaya, namun justru dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah.  Sedangkan pada abad ke-20 orang gila diperlakukan sebagai orang sakit, sehingga perlu dirawat supaya pulih. Ada pergeseran makna, paradigma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun