Apa itu? Tingkat partisipasi politiknya.
Karena ini akan berimplikasi pada legitimasi moral-politik terhadap esensi pilkada itu sendiri dan tentu saja pada paslon yang terpilih nanti.
Dalam pilpres dan pileg kemarin tingkat partisipasi politiknya adalah 82 persen. Kabarnya target partisipasi politik pada Pilkada Serentak 2020 nanti adalah 77,5 persen.
Lalu kalau pandemi Covid-19 yang katanya masih terus menaik tingkat paparannya sementara vaksinasi massal belum bisa dilakukan, apakah mereka yang sudah tercatat dalam DPT (daftar pemilih tetap) itu bakal (berani/mau) datang ke TPS?
Sementara pilkades sudah ditunda, namun pilkada yang skalanya lebih besar dan lebih sulit dikendalikan malah lebih berani dilaksanakan.
Kembali ke soal tingkat partisipasi politik. Partisipasi politik yang rendah memang tidak akan membatalkan legalitas hasil pemilihan. Hanya saja akan berimplikasi pada legitimasi moral politik.
Proses demokrasi esensial (deliberatif) yang kita dambakan bersama akan kembali terperosok ke kubangan demokrasi prosedural. Demokrasi pura-pura. Pragmatisme politik jadi seperti lagu lama yang akan terus diputar.
Semoga saja ini tidak terjadi, dan semoga pula Pilkada ini tidak dikotori oleh birahi (libido) politik sementara pihak.
Jadi mesti ada terobosan serta upaya luar biasa dari KPU dan semua stake-holder pilkada untuk menjaga tingkat partisipasi politik yang adekuat.
Okelah, angin keputusan nampaknya adalah Pro-Lanjut dengan Pilkada Serentak di tanggal 9 Desember 2020. Mari laksanakan dan amankan!
Kalau pun nanti, lantaran dinamika sosial yang berkembang, bakal ada penundaan, ya kita juga mesti siap. Tak perlu dipolitisir.