Awalnya mungkin masih canggung, lantaran ada jeda, bicaranya mesti bergiliran, artinya mesti ada yang mengatur lalu-lintas pembicaraan. Tidak seperti biasanya rapat di ruang meeting, ada yang dominan suka memotong pembicaraan rekannya, atau menghabiskan waktu degan memborong semua topik.
Dalam suatu konferensi jarak jauh biasanya sudah lebih dulu ditentukan topik/temanya, kemudian jika ingin bicara mesti ijin dulu ke moderator, semua jadi cenderung menyimak dan berusaha memahami apa yang disampaikan oleh peserta tele-conference itu.
Ada juga kelompok yang membiasakan diri untuk menyiapkan bahan tertulisnya lebih dahulu dan dibagikan (share) via email, whatsapp, telegram, ke setiap peserta rapat. Untuk dipahami terlebih dahulu point atau posisi dari masing-masing peserta rapat.
Jadi konsekuensi dari kebiasaan baru seperti itu bakal dibutuhkan suatu keterampilan menulis atau mengomposisi suatu bahan presentasi dalam sajian power-point atau grafis yang simple dan mudah dipahami peserta komunikasi kelompok.
Singkatnya, pasca-pandemi ini berbagai keterampilan berkomunikasi atau keterampilan mengartikulasikan pikiran abstrak ke dalam bentuk simbol (tertulis maupun lisan) jadi imperatif. Transmisi simbolik via medium elektronik pun mensyaratkan pengetahuan cara mengoperasikan alat atau aplikasi tertentu.
Dan alat atau aplikasi itu adalah sebentuk teknologi (teknik) yang juga terus berkembang. Jadi, proses belajar aplikasi akan jadi suatu proses yang tak pernah berhenti, never ending journey.
Tapi tetap saja jangan pernah dilupakan bahwa perbincangan yang terjadi itu ada dalam konteks komunikasi antar-manusia. Manusia dengan segala latar-pengalaman, dan kerangka-acuannya masing-masing. Ada segi-segi kemanusiaan (human-aspects) yang mesti selalu ada dalam pertimbangan penyampaian pesan.
Menyangkut soal alat komunikasi yang hi-tech, ada dimensi lain dari komunikasi, yaitu hi-touch. Sentuhan insani, rasa kemanusiaan. Proses komunikasi yang manusiawi, yang bisa semakin memanusiakan manusia lainnya, dan juga memanusiakan diri kita sendiri sekaligus. Yang seperti apa itu?
Komunikasi yang mencerahkan budi. Mencerdaskan, yang benar, yang semakin menguak realitas, yang baik dan bermanfaat positif, dan yang indah. Bukan yang bohong dan apalagi yang menyesatkan.
Mengapa demikian? Karena setiap kita pasti punya keinginan atau harapan agar hidup kita sebagai manusia itu bisa dikatakan berhasil. Apa definisi hidup manusia yang berhasil itu?
Di atas semua hasrat materialistik (yang memang juga perlu), kita belajar dari filosofi hidup berhasil yang pernah disampaikan oleh seorang tokoh Minahasa, Dr. Sam Ratulangi, "Si Tou Timou Tumou Tou".