Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Komunikasi Hi-Tech dan Hi-Touch, Berjalan Seiring untuk Memanusiakan Manusia

11 Juni 2020   19:33 Diperbarui: 11 Juni 2020   19:49 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Komunikasi Hi-Tech dan Hi-Touch, Berjalan Seiring untuk Memanusiakan Manusia*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Orang bilang tekonologi komunikasi bisa mendekatkan yang jauh, tapi juga bisa menjauhkan yang dekat. Ya, mungkin saja terjadi. Ini soal jarak fisikal maupun jarak emosional. Tergantung bagaimana kita memperlakukan teknologi (alat) tersebut.

Memang teknologi sudah kita akui perkembangannya sangat pesat, dan bisa menjadi salah satu change-driver utama dalam tata kehidupan privat maupun sosial.

Werner Heisenberg, seorang fisikawan Jerman dan penemu quantum-mechanics, menjelaskan sifat alamiah mendasar dari teknologi dengan sebuah analogi jaring laba-laba. Katanya, sama seperti teknologi, jaring laba-laba adalah alat dimana sang laba-laba itu hidup dan tinggal di dalam kerangka itu.

Maknanya, "The day will perhaps come when the relations of much of  technology becomes part of our organism." Teknologi jadi semacam organ tubuh tambahan bagi kita.

Tapi dimana manusia akan tetap menjadi tuannya, sementara jaring laba-labanya bisa setiap saat diperbaiki oleh tuannya. (Seperti dikutip oleh Wang Miaoyang, dalam buku: Filsafat Teknologi, Don Ihde Tentang Manusia dan Alat, Penerbit Kanisius, 2008).

Ada kesalingtergantungan antara manusia dengan teknologi. Manusia hidup dengan mengandalkan alat (teknologi) tapi teknologi juga senantiasa bisa diperbaiki dan ditingkatkan kemampuannya oleh manusia. Oleh karenanya manusia (seyogianya) tetap menjadi tuan dari alat yang dari padanya ia banyak bergantung juga.

Kalau kita bicara dalam lingkup teknologi yang berkaitan dengan aktivitas komunikasi manusia, maka di era saat ini kita tak lepas dari platform teknologi internet. Dimana trilyunan data berseliweran di dunia maya dengan segala macam pesan (kata-kata, kalimat, simbol, gambar, grafis, film, dll) yang disampaikan secara audio maupun sekaligus visual. Beragam sekali variasinya.

Indera pendengaran dan indera penglihatan aktif distimulasi sebagai gerbang masuknya data/informasi untuk kemudian dicerna (komprehensi) dan ditafsirkan (interpretasi) sesuai lapangan-pengalaman dan kerangka-acuan masing-masing si penerima pesan.

Hanya saja jangan dilupakan, bahwa teknologi dan setiap pesan yang berseliweran di dunia maya saat ini juga tidak bebas-nilai, tidak pernah netral. Senantiasa ada perspektif penyampaian, ada sebentuk narasi besar maupun narasi kecil yang ingin disampaikan, apa pun itu.

Oleh karena itulah setiap pelaku komunikasi (pengirim, medium maupun penerima) mesti kritis dan seyogianya selalu dibimbing oleh suatu acuan etis. Katakanlah itu suatu etika-komunikasi via media massa, atau via media-sosial.

Perkembangan teknologi komunikasi juga semakin lama semakin canggih, mengalami sofistikasi. Orang menyebut produknya dengan Hi-Tech. Teknologi tinggi (artinya semakin canggih).

Spesifikasi gadget yang ada di genggaman tangan setiap insan pelaku komunikasi pun semakin padat aplikasi dengan segala kemungkinan yang disediakan.

Kalau dulu fungsi awalnya hanya untuk menelepon, sekarang sudah jadi multi-fungsi. Juga untuk cari berita, cari resep makanan, pesan taksi atau ojeg, jadi kompas, jadi pendamping senam kebugaran, cari hiburan tontonan atau musik, jadi peta jalan, sekaligus penunjuk jalan, dan lain sebagainya. Operasi plastik virtual pun sekarang dimungkinkan dengan face-app.

Oh ya, ada juga aplikasi pengusir nyamuk, tikus atau kecoa. Mungkin suatu waktu bakal ada aplikasi pengusir tikus anggaran alias koruptor. Walahuallam! Mudah-mudahan saja ya.

Kalau soal kebiasaan berkomunikasi pra-pandemic mungkin banyak dari kita merasa lebih afdol kalau melakukannya secara tatap muka. Utamanya dalam rapat bisnis maupun untuk kepentingan lain yang lebih personal. Maka pasca-pandemic kemungkinan kebiasaan itu akan terdisrupsi.

Komunikasi via media akan cenderung jadi yang lebih utama, atau paling tidak yang mesti didahulukan. Baru kemudian untuk pendalaman lebih lanjut bisa disambung dengan komunikasi tatap muka secara multilateral (berkelompok) maupun antar-pribadi (bilateral). Itu pun mesti dilakukan dengan suatu protokol kesehatan yang mesti ditaati. Itu yang disebut New-Normal.

Jadi ada suatu suasana baru dalam tema cara berkomunikasi pasca-pandemi. By the way, kapan sih yang disebut dengan 'pasca-pandemi' itu?

Lha, itu pun sebetulnya masih belum jelas, mengingat perilaku sosial yang indisipliner yang masih dilakukan oleh sementara kalangan. Belum lagi olah mereka yang mesti keluar berkeliaran lantaran keterpaksaan kondisinya, terutama keperluan survival. Untuk yang satu ini memang sulit untuk ditawar-tawar. Mau apa lagi.

Tema 'human-touch' dan 'tech-touch' menjadi relevan kalau melihat kenyataan bahwa situasi komunikasi pertama-tama adalah pertukaran simbol antar-insani. Bukankah pengirim pesan dan penerima pesan pertama-tama adalah manusia juga? Tentu dengan segala motif dan intensinya. Metode komunikasi dan juga medium penyampaian pesannya mesti dipahami betul fungsinya, agar suatu proyek komunikasi bisa berhasil guna.

Masing-masing kita saat ini pastilah sudah mulai membiasakan diri (lantaran terpaksa?) untuk berbincang dengan teman, saudara atau bahkan keluarga dekat dengan menggunakan teknologi konferensi jarak jauh (tele-conference), seperti misalnya Zoom, Skype, Google-Meet, dll.

Awalnya mungkin masih canggung, lantaran ada jeda, bicaranya mesti bergiliran, artinya mesti ada yang mengatur lalu-lintas pembicaraan. Tidak seperti biasanya rapat di ruang meeting, ada yang dominan suka memotong pembicaraan rekannya, atau menghabiskan waktu degan memborong semua topik.

Dalam suatu konferensi jarak jauh biasanya sudah lebih dulu ditentukan topik/temanya, kemudian jika ingin bicara mesti ijin dulu ke moderator, semua jadi cenderung menyimak dan berusaha memahami apa yang disampaikan oleh peserta tele-conference itu.

Ada juga kelompok yang membiasakan diri untuk menyiapkan bahan tertulisnya lebih dahulu dan dibagikan (share) via email, whatsapp, telegram, ke setiap peserta rapat. Untuk dipahami terlebih dahulu point atau posisi dari masing-masing peserta rapat.

Jadi konsekuensi dari kebiasaan baru seperti itu bakal dibutuhkan suatu keterampilan menulis atau mengomposisi suatu bahan presentasi dalam sajian power-point atau grafis yang simple dan mudah dipahami peserta komunikasi kelompok.

Singkatnya, pasca-pandemi ini berbagai keterampilan berkomunikasi atau keterampilan mengartikulasikan pikiran abstrak ke dalam bentuk simbol (tertulis maupun lisan) jadi imperatif. Transmisi simbolik via medium elektronik pun mensyaratkan pengetahuan cara mengoperasikan alat atau aplikasi tertentu.

Dan alat atau aplikasi itu adalah sebentuk teknologi (teknik) yang juga terus berkembang. Jadi, proses belajar aplikasi akan jadi suatu proses yang tak pernah berhenti, never ending journey.

Tapi tetap saja jangan pernah dilupakan bahwa perbincangan yang terjadi itu ada dalam konteks komunikasi antar-manusia. Manusia dengan segala latar-pengalaman, dan kerangka-acuannya masing-masing. Ada segi-segi kemanusiaan (human-aspects) yang mesti selalu ada dalam pertimbangan penyampaian pesan.

Menyangkut soal alat komunikasi yang hi-tech, ada dimensi lain dari komunikasi, yaitu hi-touch. Sentuhan insani, rasa kemanusiaan. Proses komunikasi yang manusiawi, yang bisa semakin memanusiakan manusia lainnya, dan juga memanusiakan diri kita sendiri sekaligus. Yang seperti apa itu?

Komunikasi yang mencerahkan budi. Mencerdaskan, yang benar, yang semakin menguak realitas, yang baik dan bermanfaat positif, dan yang indah. Bukan yang bohong dan apalagi yang menyesatkan.

Mengapa demikian? Karena setiap kita pasti punya keinginan atau harapan agar hidup kita sebagai manusia itu bisa dikatakan berhasil. Apa definisi hidup manusia yang berhasil itu?

Di atas semua hasrat materialistik (yang memang juga perlu), kita belajar dari filosofi hidup berhasil yang pernah disampaikan oleh seorang tokoh Minahasa, Dr. Sam Ratulangi, "Si Tou Timou Tumou Tou".

Artinya, manusia baru dapat disebut berhasil sebagai (menjadi) manusia seutuhnya, jika sudah dapat memanusiakan sesama manusia lainnya. Sebuah filsafat manusia yang mendalam. Program interaksi sosial yang humanis-progresif.

Intinya, setiap kita mesti punya program komunikasi yang berangkat dari motif kepedulian terhadap sesama.

Maka teknologi (alat) yang semakin canggih (Hi-Tech) tetaplah mesti dipandang dan diperlakukan sebagai alat bantu yang bisa dipakai untuk menolong manusia dalam rangka semakin memanusiakan sesamanya (Hi-Touch).

11/06/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun