Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Simulacra di Milenium Ketiga, Mengalami Dekonstruksi Tahap Awal?

24 Mei 2020   19:26 Diperbarui: 25 Mei 2020   23:13 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Dua staf-khusus milenial telah mengundurkan diri. Apakah ini merupakan sample dari 'perang' (perbedaan paradigma) antar generasi yang beda milenium? Pucuk gunung es dari banyak konflik cara pandang, cara bersikap dari 'generasi-lama' versus 'generasi-depan'? Bisa saja, sekaligus juga belum tentu. Tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya.

Karena pertanyaanya lalu dimana 'generasi-sekarang'? Bukankah yang disebut 'generasi sekarang' adalah percampuran (kombinasi) dari kedua generasi itu? Bagaimana sebaiknya 'generasi-sekarang' menyikapi perbedaan cara pandang itu? Kalau memang perbedaan itu ada dan memang substantif berasal dari masing-masing generasi itu?

Jangan-jangan perbedaan itu hanya sekedar labelisasi (semacam stigmatisasi) saja? Label yang ditempelkan (dianggap) sebagai ciri atau 'traits' dari masing-masing generasi. Bahwa ada semacam label yang ditempelkan bahwa generasi-milenial itu kreatif, inovatif, tidak suka formalitas, lebih egaliter, dsb. Dan kemudian oleh karenanya ciri oposisinya ditempelkan sebagai stigma dari generasi-lama.

Melabelisasi generasi dengan ciri semacam itu pun rasanya terlalu menyederhanakan persoalan. Suatu generalisasi yang terburu-buru dan rasanya kok agak serampangan. Segmentasi demografis plus psikografis senantiasa harus dibaca dengan penuh reserve.

Kalau Max Weber tidak percaya adanya yang sosial, lantaran faktanya yang ada itu hanya individu. Realitas yang ada itu hanya individu plus individu plus individu dan plus individu lainnya, dan seterusnya. Abstraksi dari sekelompok orang/ individu itulah yang mungkin dicoba dicari ciri-cirinya sebagai suatu kesatuan kelompok sosial, sehingga kemudian dinamakan (dilabel) dengan segala ciri sosialnya (ciri kelompok orang tertentu). Tapi pada hakekatnya yang ada cuma individu. Yang namanya sosial (kelompok orang) itu terlalu abstrak, tidak riil.

Tapi tentu saja cara pandang Max Weber ini mendapat reaksi juga dari kolega sosiolog/filsuf lainnya yang punya titik pandang berbeda. Untuk sementara ini kita tidak mempersoalkan itu. Kita hanya mau meminjam sejenak cara pandang bahwa individu itu adalah seseorang yang unik, yang punya dunia mikro (jagad cilik)nya sendiri dalam berinteraksi dengan dunia makro (jagad gede)nya masing-masing. Ada otentisitas dalam gradasinya masing-masing.

Poin yang ingin kita sampaikan adalah, bahwa di antara cara memandang yang disebut 'generasi-lama' versus 'generasi-depan' ada yang disebut dengan nama 'generasi-sekarang'. Generasi-sekarang ini adalah realitas campuran (kombinasi) dari generasi tua, muda dan milenial. Generasi kita yang hidup dalam transisi kedua milenia. Yang di tengah, kalau mengikuti alur pikir aristotelian.

Harap jangan dilupakan bahwa apa yang disebut milinea kedua (tahun 1001 s/d 2000) dan milenia ketiga (tahun 2001 s/d 3000) itu semua hanyalah hitungan kronos (waktu) dengan kategori seribuan tahun. Dan kebetulan kita semua (tua maupun muda) semua yang masih hidup hari ini ada dalam periode pergantian milenium.

Dalam era pergantian milenium ini ada yang menyebutnya sebagai suatu transisi, walau apanya yang disebut transisi itu pun masih spekulatif saja. Ada pula yang memperlawankan (versus) antar generasi (utamanya cara pandangnya atau paradigmanya), dan itu pun masih spekulatif juga. Kenapa mesti diperlawankan? Bukankah hidup itu sendiri suatu continuum, suatu keberlanjutan?

Yang tua dan yang muda hidup dalam jaman yang sama, berinteraksi bersama, mengalami konteks kehidupan yang relatif sama. Sehingga persoalannya kembali ke pernyataan di atas, bahwa individu itu adalah seseorang yang unik, yang punya dunia mikro (jagad cilik)nya sendiri dalam berinteraksi dengan dunia makro (jagad gede)nya masing-masing. Ada otentisitas dalam gradasinya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun