*Apakah Keputusan Pemimpin itu Harus Selalu Populer?*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Apakah keputusan taktis/strategis itu bakal disukai semua pihak? Apakah keputusan itu pasti sempurna? Pertanyaan klasik dalam dunia kepemimpinan korporasi-bisnis maupun sosial-politik.
Kombinasi ilmu dan seni kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan ada dalam setiap keputusan yang diambil. Setiap keputusan sudah pasti selalu kontekstual dan dinamis. Artinya tidak mengawang di ruangan hampa udara. Tapi sifatnya selalu responsif-antisipatif terhadap perubahan.
Karena lingkungannya juga bergerak dinamis, maka senantiasa ada faktor uncertainty (ketidakpastian). Maka pemimpin dituntut untuk piawai berselancar di atas gelombang perubahan. Selalu ada tegangan (tension) antara kutub kepastian dengan kutub kemungkinan. Selalu ada celah yang terbuka. Terbukanya peluang maupun terbukanya lubang jebakan. Stay alert! Selalu waspada.
"Insta, opportune, importune: argue obsecra, increpa in omni patientia." Siap sedialah, baik atau pun tidak baik waktunya, nyatakan apa yang salah, tegurlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran. Begitu ujar St.Paulus.
Pada galibnya tidak ada orang yang bisa menghindar dari pengambilan keputusan dalam setiap momen kehidupannya. Sebabnya mesti dipahami bahwa tidak mengambil keputusan adalah juga sebuah keputusan. Keputusannya adalah tidak mengambil keputusan. Dan itu selalu ada konsekuensinya.
Decision defines destiny. Keberadaan setiap kita seperti apa adanya sekarang ini adalah konsekuensi dari rangkaian keputusan yang diambil dalam setiap momen historis masing-masing. Begitu pun nasib ditentukan dalam keputusan yang diambil/ dipilih dalam perjalanan hidup ke depan.
Keputusan ada di ranah privat atau pun yang berdampak bagi publik. Berdampak seketika, atau yang berdampak lintas generasi.
Apa itu yang disebut sebagai keputusan?
Kalau direnung-renungkan, bukankah pengambilan keputusan itu sejatinya adalah sebuah kegiatan memilih. Memilih yang terbaik dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia saat itu.Tersedia saat itu artinya, pilihan yang ada dan yang mungkin dalam konteks tempat dan waktu (spatio-temporal) juga sumber-daya (resources) yang ada. Terjangkau atau tidak, mesti dipilih/ diputuskan sekarang atau bisa ditunda.
Dengan itu semua pemimpin mesti menimbang-bimbang segala konsekuensinya. Akibat yang dampaknya terasa hari ini atau berimplikasi jangka panjang.
Moral dalam pengambilan keputusan adalah upayakan untuk memilih yang terbaik dari alternatif pilihan yang baik yang tersedia (maximum-bonum). Kalau pun alternatifnya semua buruk, pilihlah yang paling sedikit buruknya (minus-malum).
Dan keputusan seorang pemimpin itu sifatnya progresif-dinamis. Artinya demi kemajuan (kebaikan) dan sifatnya lentur, fleksibel, siap untuk perubahan, selalu mengantisipasi dinamika lingkungan.
Apakah keputusan (pilihan)nya bakal disukai atau tidak disukai oleh sementara pihak itu jadi hal yang sekunder. Popularitas keputusan bagi seorang pemimpin sejati menjadi soal yang tidak terlalu penting. Walau jika dapat meraih semuanya tentu lebih baik, sama sekali tidak ada salahnya juga.
Seorang pemimpin -- selain memiliki kompetensi -- juga punya nilai-nilai (values) yang dianutnya. Maka keputusan yang diambilnya pun tak lepas dari tatanan nilai seorang pemimpin. Apakah seseorang yang egois atau altruis akan tercermin dalam keputusan yang ia ambil.
Kompetensi yang terdiri dari unsur pengetahuan (knowledge), keterampilan (Skill) dan sikap (attitude) juga pasti berpengaruh pada mutu keputusan yang ia ambil. Pengetahuan yang eksplisit maupun yang masih belum terartikulasikan (tacit-knowledge).
Keterampilannya  menggali informasi dan menggalang komitmen tim, serta sikap (misalnya berani ambil risiko, atau lebih baik menyenangkan semua pihak yang penting aman) akan sangat menentukan juga kualitas keputusan.
Kualitas keputusan akan ditentukan dari hasil perubahan (change) yang terjadi. Hanya jangan lupa bahwa perubahan pun sifatnya dinamis, jadi revisi keputusan juga sangat dimungkinkan. Yang penting jangan sampai terjadi pembiaran tanpa ada keputusan yang bisa menggerakan dinamika sosial. Karena gerak atau dinamika sosial akan juga membuka peluang.
Oleh karena seorang pemimpin itu senantiasa berselancar di atas gerak perubahan dan dinamika sosial dimana banyak kepentingan berkelindan, maka sikap terbuka menjadi prasyarat. Mau mendengar dan mau melihat kenyataan sebagaimana adanya, tanpa manipulasi kepentingan. Supaya obyektivitas bisa semaking terungkap.
Sikap diri yang terbuka terhadap pendapat, kritik, siap menerima perubahan bahkan yang paling paradigmatik sekalipun. Dalam disiplin psikologi-sosial ada konsep yang dikenal dengan nama Johari Window (Jendela Johari).
Ini alat sederhana yang bisa kita pakai untuk membuka dan meluaskan ruang komunikasi sosial, atau pemahaman tentang realitas sosial. Teknik ini  diciptakan oleh dua psikolog AS, Joseph Luft  dan Harrington Ingham.
Bayangkan ada kotak dengan empat bagian ruang (kuadran). Kuadran pertama di kiri atas disebut arena, ini adalah ruang dimana kita dan orang lain sama-sama melihat (tahu). Kuadran kedua di kanan atas, disebut ruang tersembunyi (blind spot) adalah ruang dimana orang lain lihat tetapi kita sendiri tidak sadari.
Kuadran ketiga, di kiri bawah disebut ruang pribadi/ privat kita (facade), ini area yang kita ketahui tetapi kita jaga (tutupi) dari orang lain. Sedangkan kuadran keempat, di kanan bawah, adalah area yang paling misterius, ruang dimana kita dan orang lain sama-sama tidak/ belum tahu atau menyadarinya.
Ini konsep sederhana yang bisa membantu setiap pemimpin untuk sadar diri bahwa selalu ada ruang gelap (blind-spot) dimana hanya diketahui oleh pihak lain. Ada pula area misteri yang penuh kemungkinan walau belum diketahui oleh siapa pun pada saat ini.
Keterbukaan hati dan pikiran itu penting, juga untuk memperluas ruang komunikasi sosial (kuadran pertama, arena). Sehingga ruang publik bisa diisi dengan wacana (diskursus) yang komunikatif-edukatif.
Akhirnya dimensi waktu masuk dalam pertimbangan. Ada semacam batas waktu, momentum dalam pengambilan keputusan. Tak bisa dan tak boleh menunda misalnya. Keputusan mesti diambil atau tidak diputuskan sama sekali, artinya ya sudah biarkan saja.
Oleh karena itu, setelah analisa pilihan (alternatif) yang ada maka pada momen tertentu harus ada keputusan. Tak bisa terus menerus dianalisa saja, sampai akhirnya yang terjadi malah kelumpuhan akibat kebanyakan analisa. Paralysis by analysis. Pada akhirnya, kepekaan nalar-budi dan keberanianlah yang bisa memutus lingkaran setan kelumpuhan analisa yang tak berujung itu.
Orang bilang bahwa panggilan kepemimpinan yang sejati adalah juga panggilan kenabian (prophetic call). Kata prophet (bahasa Inggris) rupanya berasal dari bahasa Yunani 'prophete', phemi (bicara) dan pro (sebelumnya).
Jadi nabi bicara sebelum segala sesuatu terjadi. Pemimpin seyogianya punya pandangan visioner, tembus jaman, walau tanpa tercerabut dari historisitasnya. Spektrum pemikiran saat mengambil keputusan merentang jauh ke masa depan dan sekaligus bersauh dalam ke sejarah dan kekayaan tradisi.
Konon katanya, bangsa Yahudi ini pandai, kohesif serta berdaya-tahan tinggi lantaran pikiran mereka tatkala mengambil keputusan selalu mengacu dan memperhitungkan dampaknya bagi 3 generasi ke depan (demi anak-cucu-cicit), sekaligus berefleksi sekurangnya kepada 3 generasi ke belakang. Walahuallam.
Terlepas dari betul tidaknya soal di atas, kita bisa berkaca pada fenomena kepemimpinan politik di negeri sendiri. Bukankah kita sempat tercenung melihat bobroknya skandal BLBI, lumpur Lapindo, pilkada ayat-mayat, tidak transparannya APBD yang berujung pada bancakan berjamaah, pembalakan hutan.
Itu semua bukanlah peristiwa yang masing-masing eksklusif berdiri sendiri. Ada suatu pola umum yang jadi konteks bagi itu semua. Yaitu pendeknya spektrum pemikiran, dangkal dan sama sekali tidak bertanggung jawab pada generasi mendatang.
Sempitnya cara pandang dan spektrum pemikiran yang pendek membawa konsekuensi gawat. Walaupun -- celakanya -- memang tidak mudah membedakan keputusan berdampak positif bagi 2 sampai 3 generasi ke depan. Seringkali keputusan berdampak positif dalam jangka panjang ini malahan sering tidak populer di jangka pendek.
Sebaliknya, keputusan-keputusan nyaman di jangka pendek bisa jadi sangat populer, walaupun pada galibnya ia menyimpan bom waktu bagi anak-cucu-cicit. Di sinilah tantangan kepemimpinan sejati diuji.
Sebagai pemimpin, saat mesti memutuskan, mana yang Anda pilih? Popularitas sesaat, atau tanggungjawab lintas generasi?
18/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H