Bayangkan ada kotak dengan empat bagian ruang (kuadran). Kuadran pertama di kiri atas disebut arena, ini adalah ruang dimana kita dan orang lain sama-sama melihat (tahu). Kuadran kedua di kanan atas, disebut ruang tersembunyi (blind spot) adalah ruang dimana orang lain lihat tetapi kita sendiri tidak sadari.
Kuadran ketiga, di kiri bawah disebut ruang pribadi/ privat kita (facade), ini area yang kita ketahui tetapi kita jaga (tutupi) dari orang lain. Sedangkan kuadran keempat, di kanan bawah, adalah area yang paling misterius, ruang dimana kita dan orang lain sama-sama tidak/ belum tahu atau menyadarinya.
Ini konsep sederhana yang bisa membantu setiap pemimpin untuk sadar diri bahwa selalu ada ruang gelap (blind-spot) dimana hanya diketahui oleh pihak lain. Ada pula area misteri yang penuh kemungkinan walau belum diketahui oleh siapa pun pada saat ini.
Keterbukaan hati dan pikiran itu penting, juga untuk memperluas ruang komunikasi sosial (kuadran pertama, arena). Sehingga ruang publik bisa diisi dengan wacana (diskursus) yang komunikatif-edukatif.
Akhirnya dimensi waktu masuk dalam pertimbangan. Ada semacam batas waktu, momentum dalam pengambilan keputusan. Tak bisa dan tak boleh menunda misalnya. Keputusan mesti diambil atau tidak diputuskan sama sekali, artinya ya sudah biarkan saja.
Oleh karena itu, setelah analisa pilihan (alternatif) yang ada maka pada momen tertentu harus ada keputusan. Tak bisa terus menerus dianalisa saja, sampai akhirnya yang terjadi malah kelumpuhan akibat kebanyakan analisa. Paralysis by analysis. Pada akhirnya, kepekaan nalar-budi dan keberanianlah yang bisa memutus lingkaran setan kelumpuhan analisa yang tak berujung itu.
Orang bilang bahwa panggilan kepemimpinan yang sejati adalah juga panggilan kenabian (prophetic call). Kata prophet (bahasa Inggris) rupanya berasal dari bahasa Yunani 'prophete', phemi (bicara) dan pro (sebelumnya).
Jadi nabi bicara sebelum segala sesuatu terjadi. Pemimpin seyogianya punya pandangan visioner, tembus jaman, walau tanpa tercerabut dari historisitasnya. Spektrum pemikiran saat mengambil keputusan merentang jauh ke masa depan dan sekaligus bersauh dalam ke sejarah dan kekayaan tradisi.
Konon katanya, bangsa Yahudi ini pandai, kohesif serta berdaya-tahan tinggi lantaran pikiran mereka tatkala mengambil keputusan selalu mengacu dan memperhitungkan dampaknya bagi 3 generasi ke depan (demi anak-cucu-cicit), sekaligus berefleksi sekurangnya kepada 3 generasi ke belakang. Walahuallam.
Terlepas dari betul tidaknya soal di atas, kita bisa berkaca pada fenomena kepemimpinan politik di negeri sendiri. Bukankah kita sempat tercenung melihat bobroknya skandal BLBI, lumpur Lapindo, pilkada ayat-mayat, tidak transparannya APBD yang berujung pada bancakan berjamaah, pembalakan hutan.
Itu semua bukanlah peristiwa yang masing-masing eksklusif berdiri sendiri. Ada suatu pola umum yang jadi konteks bagi itu semua. Yaitu pendeknya spektrum pemikiran, dangkal dan sama sekali tidak bertanggung jawab pada generasi mendatang.