Tapi berapa persisnya potential-loss (potensi kerugian) negara akibat praktek transfer-pricing yang ilegal? Tak ada yang tahu persis, hanya ada perkiraan.
Ada artikel yang dimuat di laman Kementerian Keuangan berjudul 'Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara', ditulis oleh Hadi Setiawan, Peneliti Pertama PPRF BKF Kementerian Keuangan.
Katanya untuk kasus tahun 2013 saja ada, "Rumor menyebutkan bahwa potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat praktik abuse of transfer pricing mencapai Rp1.300 triliun/tahun. Jumlah yang sangat mencengangkan karena jumlah tersebut mencapai sekitar 114% dari target penerimaan pajak tahun 2013."
Serem juga ya.
Ada lagi hipotesa yang jumlahnya rada 'mendingan', ditulis oleh Maulida Sri Handayani berjudul 'Panama Papers: Menyingkap Teknik Jahat Penggelapan Pajak', yang dimuat di laman Tirto.Id, katanya:
"...praktik trade misinvoicing menyumbang angka rata-rata $16.759 juta atau Rp204 triliun setiap tahunnya. Jika agregat pendapatan pajak dari trade misinvoicing diasumsikan 15 persen saja, maka seharusnya ada pemasukan Rp30,6 triliun untuk negara."
(Catatan: itu hitungan dengan kurs Rp 12.172,- kalau pakai kurs Rp 14,774,- jadi sekitar Rp 37 trilyun)
Sementara itu, Direktur Eksekutif CITA (Center For Indonesian Taxation) Yustinus Prastowo pernah mengatakan bahwa potensi hilangnya penerimaan pajak akibat transfer-pricing dan tax-planning sekitar Rp 100 triliun tiap tahun.
Perkiraan itu berdasarkan data tahunan Global Financial Integrity. Kabarnya uang haram yang keluar dari Indonesia mencapai Rp150 triliun tiap tahun. Porsi terbesarnya berasal dari penggelapan pajak.
Jadi potential-lossnya tiap tahun ada yang bilang Rp 37 trilyun, Rp 100 trilyun, bahkan sampai Rp 1300 trilyun. Okelah, kita pakai saja angka Rp 100 trilyun ya. Bisa buat apa saja dengan duit segitu?
Kalau alokasi APBD DKI 2020 untuk rehab total (fisik) 56 sekolah adalah Rp 1,4 trilyun, maka biaya rehab 1 sekolah adalah Rp 25 milyar. Dengan duit Rp 100 trilyun cukup untuk membangun sebanyak 4000 sekolah. Lumayan khan. Bukan lumayan lagi.