Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Staf Khusus Presiden, Amartha, dan Etika Bisnis yang Tercoreng

15 April 2020   21:41 Diperbarui: 16 April 2020   13:34 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kontrak jual-beli dan kontrak hubungan kerja di perusahaan mesti ada prinsip kejujuran. Dengan begitu barulah konsumen atau karyawan percaya, dan bisnis bisa berkelanjutan di pasar dengan adil (fair). Atau berakhir di pengadilan dan penjara. Kejujuran berkaitan juga dengan kepercayaan.

Prinsip berikutnya adalah keadilan. Prinsip ini menuntut agar jangan ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Kalau dalam kegiatan bisnis baik internal maupun relasi eksternalnyapasti minta untuk diperlakukan sesuai dengan haknya. Pihak internal misalnya hubungan kerja dengan karyawan, eksternal misalnya dengan pelanggan, pemasok, atau kreditor.

Ada kaidah emas (the golden rule) dalam prinsip keadilan ini. Biasanya disebut dengan prinsip 'no-harm'. Rumusannya: 'Perlakukanlah orang lain sebagai mana kamu ingin diperlakukan, dan jangan lakukan pada orang lain seperti kamu juga tidak ingin diperlakukan'.

Prinsip keadilan adalah dasarnya relasi sosial. Termasuk pula dalam relasi bisnis. Ini kaidah emas untuk suatu bisnis yang berkelanjutan. Tak ada bisnis yang bisa tahan lama kalau kaidah emas ini sering dilanggar.

Kemudian prinsip saling menguntungkan. Mutual benefit principle. Mirip dengan prinsip menang-menang (win-win). Pada hakikatnya, dalam bisnis kita ingin untung dan mitra atau pelanggan kita pun ingin untung. Sama-sama mau untung. Maka selayaknyalah kita menjalankan bisnis dengan prinsip saling menguntungkan.

Akhirnya prinsip integritas. Ini tuntutan internal para pelaku bisnis yang tercermin dalam sikap perilakunya. Apa yang diucapkan selaras dengan apa yang dikerjakan. Ada integrasi antara omongan dengan perbuatan. Ini membangun kepercayaan, ada kecocokan antara mulut (omongan) dengan kelakuannya.

Begitu secara ringkas dan sederhana soal prinsip-prinsip dalam etika bisnis. Otonom (bebas, sadar dan bertanggung jawab), jujur, adil, saling menguntungkan, dan integritas.

Kasus Amartha dan Staff Khusus Presiden adalah contoh yang barusan saja mencuat ke publik. Ada banyak kasus lain di seantero negeri yang mencoreng etika bisnis.

Tinggal kita teropong saja kasusnya dengan prinsip-prinsip etika bisnis tadi. Apakah para direksi Amartha otonom saat menyetujui rencana proyek yang diindikasikan dalam 'Surat Camat' itu? Keputusannya dalam keadaan bebas (tidak tertekan), sadar (tahu prosedur dan konsekuensinya), dan apakah siap bertanggung jawab?

Apakah ada kejujuran saat merancang proyek itu? Tak ada niatan tipu-tipu? Apakah dianggap sudah adil bagi semua pihak? Apakah prosesnya jujur dan adil bagi mereka yang seyogianya terlibat? Apakah saling menguntungkan dengan semua mitra terkait atau mau untung sendiri? Dan apakah yang diomongkan (yang tersurat) sama dengan yang tersirat?

Ternyatalah bahwa etika itu jauh dalam dan halus dari pada sekedar prosedur atau hukum positif. Etika adalah soal menjunjung tinggi martabat manusia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun