Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Staf Khusus Presiden, Amartha, dan Etika Bisnis yang Tercoreng

15 April 2020   21:41 Diperbarui: 16 April 2020   13:34 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut pelajaran penting yang disarikan dari dua sumber. Dari buku Prof.Dr. Franz Magnis-Suseno,SJ. 'Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral'. Kanisius, Yogyakarta, 1987. Dan dari buku DR. A.Sonny Keraf, 'Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya', Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Sebagai pegangan, dalam tindakan bisnis haruslah ada prinsip-prinsip etikanya. Pertama adalah prinsip otonomi, kedua prinsip kejujuran, ketiga prinsip keadilan, keempat prinsip saling menguntungkan, dan kelima prinsip integritas.

Otonomi. Pebisnis yang otonom adalah orang yang tahu, bebas, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Unsur-unsur ini tidak terpisahkan satu sama lainnya. Ia mampu untuk memutuskan dan bertindak atas dasar kesadarannya bahwa itulah yang terbaik.

Asumsinya, ia otonom karena sadar sepenuhnya apa kewajibannya dalam dunia bisnis, tahu mengenai bidang kegiatannya, juga situasi lingkungan bisnisnya. Dan ia dalam kondidi bebas, tidak dalam tekanan apa pun.

Ia juga sadar dan tahu apa yang diharapkan, apa tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya. Sadar dan tahu juga bahwa keputusan dan tindakan yang diambilnya mengandung konsekuensi. Implikasi (atau risiko) bagi dirinya, bagi perusahaannya, maupun bagi pihak ketiga lainnya. Ia pun bersedia untuk bertangungjawab.

Ada kata tanggung jawab di situ. Karena memang suatu otonomi menuntut adanya tanggung jawab. Bahkan, Prof.Franz Magnis-Suseno menekankan bahwa kesediaan bertanggung jawab sebagai suatu titik pangkal proses pretimbangan moral. Prinsip moral yang lain baru bisa punya arti dan dijalankan hanya jika ada kesediaan untuk bertanggung jawab.

Kalau hanya berlandaskan kebebasan, belumlah menjamin suatu tindakan otonom yang bermoral. Bisa saja ia memanfaatkan kebebasannya itu secara membabi-buta, sesuka hatinya.

Jadi rumusannya, pebisnis yang otonom adalah yang sadar akan kewajibannya. Bebas kondisinya saat mengambil keputusan dan tindakannya, berdasarkan apa yang dianggapnya baik. Serta bersedia bertanggungjawab atas implikasi dari keputusan dan tindakannya.

Lalu prinsip kejujuran. Sekelebat agak aneh ya, kok, soal kejujuran masuk jadi prinsip etika bisnis. Mungkin ini lantaran mitos keliru yang bilang bahwa dalam bisnis itu prinsipnya adalah tipu-menipu demi meraup cuan alias profit.

Mungkin juga lantaran banyak skandal bisnis yang akhirnya terbongkar menunjukan bukti bahwa memang semuanya soal tipu-menipu dan perilaku curang. Lihat saja di kasus Jiwasraya, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, Asabri, dan lain sejenisnya. Ini memang jadi problematik.

Tapi tanpa prinsip kejujuran, tak mungkin ada kontrak bisnis. Karena dalam suatu kontrak bisnis secara a-priori mesti ada saling percaya. Bahwa masing-masing pihak akan jujur, tulus dan serius dalam membuat perjanjian kontrak, dan akan melaksanakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun