Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Staf Khusus Presiden, Amartha, dan Etika Bisnis yang Tercoreng

15 April 2020   21:41 Diperbarui: 16 April 2020   13:34 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto staf khusus presiden: KOMPAS.com

Betul, kan, bahwa bisnis/ekonomi tidak terlepas dari dunia politik. Apa yang terjadi dan dipercakapkan koalisi politik di ruang negosiasi terbukti memengaruhi dunia bisnis. Begitu pula sebaliknya. Bisa berdampak baik juga, sih, walau tidak menutup kemungkinan juga bisa berakibat kurang baik atau malah buruk.

Oleh karena itulah, dari sisi bisnis, kita mengenal apa yang disebut etika bisnis. Di sebelahnya ada juga yang namanya etika politik. Keduanya sama-sama berangkat dari etika dasar.

Sebetulnya apa yang telah dikerjakan selama ini oleh PT Amartha Mikro Fintek yang telah memediasi kredit mikro kepada pelaku UMKM adalah baik adanya.

Mungkin mirip dengan GrameenBank di Bangladesh, hanya saja Amartha mulai dengan lebih canggih lantaran menggunakan platform online berbasis IT. Keduanya sama-sama memberdayakan eknomi kerakyatan. Melakukan fungsi intermediasi ke unit-unit usaha mikro yang seringkali enggan dilakukan oleh kalangan perbankan besar. Bagus.

Sampai baru-baru ini nama PT Amartha Mikro Fintek ikut terseret dalam skandal 'Surat Camat'. Itu gara-gara CEO/Founder-nya, Andi Taufan Garuda Putra, yang sudah diangkat jadi Staff Khusus Presiden telah lancang melangkahi prosedur resmi pemerintahan. Kemendes dan Kemendagri terinjak kakinya, dan KSP bingung mau omong apa.

Prosedurnya memang telah ditabrak. Tapi masalah yang lebih mendasar dari itu adalah masalah etika di belakangnya. Kali ini kita mau berbincang sisi etika bisnisnya.

Di laman resmi PT Amartha Mikro Fintek ini, Andi Taufan Garuda Putra, per tanggal 15 April 2020 masih tercantum sebagai CEO/Founder. Teoritis masih pegang kendali, dan praktis sudah terbukti pula dengan skandal 'Surat Camat'.

Sayang sekali memang. Mungkin saja semenjak bosnya masuk dalam lingkaran dalam istana, manajemen Amartha yang tersisa masih terus berupaya menjalankan operasi bisnisnya secara profesional.

Namun lantaran tidak ada suksesi yang jelas dalam manajemennya, siapa yang sekarang mestinya jadi nakhoda organisasi maka kebijakan strategisnya berisiko jadi campur baur. Mana yang urusan Amartha, dan mana yang urusan Istana.

Bagi manajemen Amartha yang pimpinan tertingginya masih campur-sari antara Bisnis Amartha dengan Politik Istana maka etika bisnis menjadi imperatif.

Tim direksi Amartha secara kolektif kolegial seyogianya juga memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam etika bisnis dalam bertindak memutar roda bisnisnya. Agar tetap berjalan pada rel yang terhormat, yang 'honorable'.

Berikut pelajaran penting yang disarikan dari dua sumber. Dari buku Prof.Dr. Franz Magnis-Suseno,SJ. 'Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral'. Kanisius, Yogyakarta, 1987. Dan dari buku DR. A.Sonny Keraf, 'Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya', Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Sebagai pegangan, dalam tindakan bisnis haruslah ada prinsip-prinsip etikanya. Pertama adalah prinsip otonomi, kedua prinsip kejujuran, ketiga prinsip keadilan, keempat prinsip saling menguntungkan, dan kelima prinsip integritas.

Otonomi. Pebisnis yang otonom adalah orang yang tahu, bebas, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Unsur-unsur ini tidak terpisahkan satu sama lainnya. Ia mampu untuk memutuskan dan bertindak atas dasar kesadarannya bahwa itulah yang terbaik.

Asumsinya, ia otonom karena sadar sepenuhnya apa kewajibannya dalam dunia bisnis, tahu mengenai bidang kegiatannya, juga situasi lingkungan bisnisnya. Dan ia dalam kondidi bebas, tidak dalam tekanan apa pun.

Ia juga sadar dan tahu apa yang diharapkan, apa tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya. Sadar dan tahu juga bahwa keputusan dan tindakan yang diambilnya mengandung konsekuensi. Implikasi (atau risiko) bagi dirinya, bagi perusahaannya, maupun bagi pihak ketiga lainnya. Ia pun bersedia untuk bertangungjawab.

Ada kata tanggung jawab di situ. Karena memang suatu otonomi menuntut adanya tanggung jawab. Bahkan, Prof.Franz Magnis-Suseno menekankan bahwa kesediaan bertanggung jawab sebagai suatu titik pangkal proses pretimbangan moral. Prinsip moral yang lain baru bisa punya arti dan dijalankan hanya jika ada kesediaan untuk bertanggung jawab.

Kalau hanya berlandaskan kebebasan, belumlah menjamin suatu tindakan otonom yang bermoral. Bisa saja ia memanfaatkan kebebasannya itu secara membabi-buta, sesuka hatinya.

Jadi rumusannya, pebisnis yang otonom adalah yang sadar akan kewajibannya. Bebas kondisinya saat mengambil keputusan dan tindakannya, berdasarkan apa yang dianggapnya baik. Serta bersedia bertanggungjawab atas implikasi dari keputusan dan tindakannya.

Lalu prinsip kejujuran. Sekelebat agak aneh ya, kok, soal kejujuran masuk jadi prinsip etika bisnis. Mungkin ini lantaran mitos keliru yang bilang bahwa dalam bisnis itu prinsipnya adalah tipu-menipu demi meraup cuan alias profit.

Mungkin juga lantaran banyak skandal bisnis yang akhirnya terbongkar menunjukan bukti bahwa memang semuanya soal tipu-menipu dan perilaku curang. Lihat saja di kasus Jiwasraya, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, Asabri, dan lain sejenisnya. Ini memang jadi problematik.

Tapi tanpa prinsip kejujuran, tak mungkin ada kontrak bisnis. Karena dalam suatu kontrak bisnis secara a-priori mesti ada saling percaya. Bahwa masing-masing pihak akan jujur, tulus dan serius dalam membuat perjanjian kontrak, dan akan melaksanakannya.

Dalam kontrak jual-beli dan kontrak hubungan kerja di perusahaan mesti ada prinsip kejujuran. Dengan begitu barulah konsumen atau karyawan percaya, dan bisnis bisa berkelanjutan di pasar dengan adil (fair). Atau berakhir di pengadilan dan penjara. Kejujuran berkaitan juga dengan kepercayaan.

Prinsip berikutnya adalah keadilan. Prinsip ini menuntut agar jangan ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Kalau dalam kegiatan bisnis baik internal maupun relasi eksternalnyapasti minta untuk diperlakukan sesuai dengan haknya. Pihak internal misalnya hubungan kerja dengan karyawan, eksternal misalnya dengan pelanggan, pemasok, atau kreditor.

Ada kaidah emas (the golden rule) dalam prinsip keadilan ini. Biasanya disebut dengan prinsip 'no-harm'. Rumusannya: 'Perlakukanlah orang lain sebagai mana kamu ingin diperlakukan, dan jangan lakukan pada orang lain seperti kamu juga tidak ingin diperlakukan'.

Prinsip keadilan adalah dasarnya relasi sosial. Termasuk pula dalam relasi bisnis. Ini kaidah emas untuk suatu bisnis yang berkelanjutan. Tak ada bisnis yang bisa tahan lama kalau kaidah emas ini sering dilanggar.

Kemudian prinsip saling menguntungkan. Mutual benefit principle. Mirip dengan prinsip menang-menang (win-win). Pada hakikatnya, dalam bisnis kita ingin untung dan mitra atau pelanggan kita pun ingin untung. Sama-sama mau untung. Maka selayaknyalah kita menjalankan bisnis dengan prinsip saling menguntungkan.

Akhirnya prinsip integritas. Ini tuntutan internal para pelaku bisnis yang tercermin dalam sikap perilakunya. Apa yang diucapkan selaras dengan apa yang dikerjakan. Ada integrasi antara omongan dengan perbuatan. Ini membangun kepercayaan, ada kecocokan antara mulut (omongan) dengan kelakuannya.

Begitu secara ringkas dan sederhana soal prinsip-prinsip dalam etika bisnis. Otonom (bebas, sadar dan bertanggung jawab), jujur, adil, saling menguntungkan, dan integritas.

Kasus Amartha dan Staff Khusus Presiden adalah contoh yang barusan saja mencuat ke publik. Ada banyak kasus lain di seantero negeri yang mencoreng etika bisnis.

Tinggal kita teropong saja kasusnya dengan prinsip-prinsip etika bisnis tadi. Apakah para direksi Amartha otonom saat menyetujui rencana proyek yang diindikasikan dalam 'Surat Camat' itu? Keputusannya dalam keadaan bebas (tidak tertekan), sadar (tahu prosedur dan konsekuensinya), dan apakah siap bertanggung jawab?

Apakah ada kejujuran saat merancang proyek itu? Tak ada niatan tipu-tipu? Apakah dianggap sudah adil bagi semua pihak? Apakah prosesnya jujur dan adil bagi mereka yang seyogianya terlibat? Apakah saling menguntungkan dengan semua mitra terkait atau mau untung sendiri? Dan apakah yang diomongkan (yang tersurat) sama dengan yang tersirat?

Ternyatalah bahwa etika itu jauh dalam dan halus dari pada sekedar prosedur atau hukum positif. Etika adalah soal menjunjung tinggi martabat manusia itu sendiri.

Ini berlaku bukan hanya untuk Amartha dan Staff Khusus Presiden yang punya perusahaan sendiri. Tapi untuk semua pebisnis.

"What is permissible is not always honorable." -- Cicero.

15/04/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

koleksi pribadi
koleksi pribadi
dokpri
dokpri
Sumber:

satu, dua, tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun