Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skandal KPU dan Partai yang Menyabot Suara Tuhan

27 Maret 2020   12:14 Diperbarui: 27 Maret 2020   12:30 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Kalau 'Vox Populi Vox Dei' artinya suara rakyat adalah suara Tuhan, maka skandal KPU dan Partai Politik yang selingkuh adalah berarti juga menyabot suara Tuhan. Kualat!

Akhirnya Presiden Joko Widodo memberhentian Evi Novida Ginting Manik sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU).

Lewat Keppres No.34/P Thn 2020 dikutip, "Memutuskan memberhentikan dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP. sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan." Ditandatangani tanggal 23 Maret 2020.

Kasus Evi ini berkaitan perselisihan perolehan suara calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 dari Partai Gerindra.

Selain pemecatan Evi, DKPP juga memberi peringatan keras kepada Ketua dan empat komisioner KPU lainnya.

Padahal belum lama berselang, mendahului terbongkarnya kasus Evi adalah kasus Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia dicokok KPK saat transaksi korupsi.

Kasus Wahyu Setiawan berkaitan dengan kasus Harun Masiku (kader PDIP). Sempat heboh lantaran pada bulan Januari 2020 lalu Ketua KPU Arief Budiman menyebut surat menyurat soal PAW-nya diteken oleh Ketum dan Sekjen PDIP, sehingga menyeret nama Megawati dan Hasto Kristiyanto.

Sampai saat ini Harun Masiku masih buron. Partainya pun bungkam. Kasusnya masih menggantung, entah sampai kapan.

Publik juga masih bertanya-tanya, siapakah Harun Masiku? Seberapa pentingkah dia? Sampai-sampai Ketum dan Sekjen PDIP mau menandatangani surat PAW agar dia bisa duduk di Senayan. Hingga detik ini masih misteri. Gelap.

Padahal ditengarai lantaran kasus ini seorang petinggi di Direktorat Jenderal Imigrasi bisa dicopot. Istilah yang lebih sopan dan halus adalah di-fungsionalisasi-kan. Mirip dengan kata di-disfungsionalisasi-kan, yang maknanya jadi diimpotensikan.

Saat itu KPK melakukan OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Rabu 8 Januari 2020. Dan KPK telah mengumumkan empat tersangka terkait kasus suap soal penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.

Yaitu, Wahyu Setiawan sebagai penerima dan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku dan Saeful dari unsur swasta. Dikatakan bahwa Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk "membantu" Harun bisa duduk jadi anggota DPR RI dengan mekanisme pengganti antar waktu (PAW).

Dua kasus besar yang melibatkan oknum badan penyelenggara pemilu terbongkar. Ini juga dosa besar lantaran yang ditilep adalah Suara Tuhan (Vox Dei) yang disampaikan lewat Suara Rakyat (Vox Populi). Maka akhirnya kualat juga khan.

Padahal dalam tata negara demokrasi, pemilu merupakan tahap awal dari rangkaian kehidupan demokratis itu sendiri. Seperti kunci starter motor yang menggerakkan mekanisme sistem politik Indonesia.

Pemilu juga diharapkan bisa berfungsi sebagai mekanisme yang bisa melegitimasi posisi pemimpin/penguasa dan wakil rakyat. Pemilu sekaligus juga sebagai jendela sirkulasi pergantian elite penguasa. Supaya udara politik suatu negeri bisa terus segar dan menyehatkan jiwa raga suatu tatanan sosial dalam berbangsa dan bernegara.

Sementara proses pemilunya sendiri adalah juga suatu proses pendidikan politik. Proses pendidikan politik yang seyogianya bisa mendewasakan publik. Bukan malah dijadikan event untuk menipu dan membodohi rakyat lewat sogokan saat fajar menjelang.

Dari sisi konstituen, pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Mempraktekan kekuasaan politiknya.

Dalam sistem demokrasi, rakyatlah pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Dan aktualisasinya lewat mekanisme pemilu. Untuk memilih pemimpinnya (presiden) maupun wakil rakyat (parlemen).

Kita juga telah sepakat bahwa asas dalam melaksanakan pemilihannya adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sering disingkat asas luber-jurdil.

Langsung berarti konstituen mesti memberikan suaranya secara langsung, tidak boleh diwakilkan. Sedangkan umum berarti pemilihan umum boleh diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak suara.

Bebas artinya pemilih memberikan suaranya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Lalu, bersifat rahasia  dimana suara yang diberikan di bilik pencoblosan hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Jujur, maksudnya agar semua pihak yang terkait dengan proses pemilu bertindak dan bersikap jujur. Taat pada peraturan yang berlaku. Dan akhirnya mesti adil, dimana pelaksanaan pemilu baik pemilih dan setiap kontestan dalam pemilu mendapatkan perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan dari pihak manapun.

Wajah demokrasi diawali dengan pemilu. Kita tahu bahwa semua negara demokrasi modern melaksanakan pemilihan umum. Namun sayangnya tidak semua pemilihan umum adalah demokratis. Dua kasus besar tadi adalah bukti dosa besar terhadap demokrasi yang jurdil.

Pemilihan secara demokratis bukanlah sekedar simbol atau jargon kampanye murahan. Sudah wajar dan selayaknyalah suatu  pemilihan itu bersifat kompetitif, berkala, inklusif (mencakup semua), dan definitif untuk menentukan pemerintahan dan wakil rakyat yang sah.

Pemilu itu seperti kontestasi putri kecantikan. Tunjukan saja rekam jejak prestasi dan gagasan cemerlang sebagai unjuk kecantikan yang hakiki. Biarkan voters yang akan memilih. Ada sorak-sorai kegembiraan. Suatu politik kegembiraan, politik selera tinggi, politik cerdas, politik akal sehat.

Pemilu bukanlah seperti adu gladiator di arena pasir colosseum, berdarah-darah dan penuh caci-maki. Menjadi ajang pertaruhan judi antar bandar. Semua demi uang, ambisi kekuasaan dan kesombongan. Sebuah arena yang pekat dengan aroma kematian. Ajang kemunafikan, politik uang, politik hitam, politik kematian.

Kalau 'Vox Populi Vox Dei' yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan, sekali lagi kita mau bilang bahwa skandal KPU dan Partai Politik yang menyelingkuhi suara rakyat adalah berarti juga menyabot suara Tuhan. Kualat!

Menyelingkuhi suara rakyat artinya agak luas. Selain memanipulasi di tingkat KPU, juga dengan menyuap rakyat, janji politik bohong, mengancam atau mengintimidasi bawahan untuk memilih anaknya atau saudaranya, dan seterusnya.

Begitulah, kita memaknai skandal kecurangan di proses pemilu. Kedua kasus besar di atas adalah yang ketahuan dan terbongkar di tingkat pusat.

Masih adakah kecurangan-kecurangan pemilu di daerah lain? Jangan-jangan...

27/03/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

Kompas

Kompas

Suara

Tempo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun