Memilih untuk berada dalam koridor tengah, menjaga jarak dari elite politik dan mendahulukan peran politik melalui upaya komunikasi publik dan turut membangun sistem.
Saya kira itulah inti sikap dalam kehidupan Sarwono Kusumaatmadja yang tertuang dalam memoarnya yang juga berjudul, "Menapak Koridor Tengah". Dirilis tahun 2018 lalu oleh Penerbit Buku Kompas, setebal total 300 halaman lebih. Mengapa koridor tengah?
Manurut saya, tentunya aman-produktif. Tidak beroposisi frontal kepada rezim otoritarian gaya orba dan bisa produktif, artinya ikut berkontribusi. Sarwono Kusumaatmadja memakai frasa, "...mendahulukan peran politik melalui upaya komunikasi publik dan turut membangun sistem."
Koridor tengah artinya tidak jadi oposisi frontal, dan tidak pula jadi "orang dalam" atau "inner-circle"-nya Soeharto. Begitu maksudnya. Bukan berada di lapangan Monas untuk demo, dan bukan pula ada di ruang keluarga di bilangan Jalan Cendana yang terlalu privat. Mungkin beredar sekitaran ruang tamu saja. Atau ruang rapat dan ruang makan istana atau Bina Graha. Disitu bisa serius bisa pula rileks namun tetap dalam kerangka kerja yang profesional.
Mesti dipahami dulu bahwa memoarnya ini mengambil kurun waktu 40 tahun sejak Sarwono Kusumaatmadja berusia sekitar lima tahun (mulai sadar lingkungannya) sampai ia mengakhiri karirnya sebagai Sekjen DPP Golkar (versi Orde Baru, dan dulu belum disebut sebagai partai). Ia lahir 24 Juli 1943, jadi memoarnya bertutur tentang banyak peristiwa antara tahun 1948 sd 1988. Janjinya ia akan meneruskan dengan memoar jilid kedua.
Koridor Tengah mengandaikan keseimbangan, keseimbangan antara tarikan dari sekitarnya. Soal ini baru ditegaskannya dalam Bab terakhir (Bab 4), berjudul "Teguh di Koridor Tengah".  Sementara  Bab 1 berjudul "Bocah Kagok dari Sentiong" bertutur tentang masa kecil sampai masa muda dan latar belakang keluarga serta peristiwa sekitarnya.
Bab 2 "Aktivisme dan Awal Menjadi Politisi" bercerita tentang kisah perpeloncoannya di PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung), dan banyak romantika seorang aktivis mahasiswa (ia kuliah di Teknik Sipil ITB). Dan baru lulus dari ITB tahun 1974 saat ia sudah berusia 31 tahun dan telah ditunjuk menjadi anggota DPR-RI dari Gokar.
Di masa inilah muncul kasus besar Pertamina yang menyangkut dana hampir USD 100 juta atas nama salah satu direksi Pertamina Ahmad Tahir. Kasus ini muncul saat Tahir meninggal dan disusul sengketa keluarganya yang berebut warisan. Ternyata ada simpanan uang sangat besar (100 juta dollar!) atas namanya rekening Bank Sumitomo di Singapura.
Kasus Tahir ini mencuat ke publik dan jadi ramai. Penyidikan dilakukan dan ternyata Pertamina bisa melakukan gugatan hukum untuk memperoleh uang itu.
Bab 3 "Politisi Penuh Waktu di Lingkaran Luar Elite". Berkisah tentang pelbagai peristiwa tentang Golkar dan peran dari seorang Sarwono Kusumaatmadja sebagai politisi muda.
Berkiprah di dunia politik secara full-timer sejak muda membuat dirinya seolah otodidak dalam percaturan dunia politik. Ditempa langsung oleh praktek politik lewat banyak peristiwa semasa orde-baru lewat Golkar berupaya menancapkan kuku kekuatannya. Wacana pembaruan struktur politik, konsolidasi di tubuh Golkar, dan lain rupa peristiwa.
Stabilitas dan dinamika politik. Disinilah keseimbangan itu dibutuhkan, bagaimana manajemen kekuasaan dikelola sedemikian rupa. Tak menimbulkan gejolak namun sasaran berhasil dicapai. Berbagai siasat politik tingkat tinggi diantara para elite bermain dengan elegan. Di ketiga kancah, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bahkan di kancah keempat: pers. Semua diorkestrasi oleh otoritas pusat kekuasaan masa itu, Presiden Soeharto.
Di masa ini, yang namanya isu suksesi kepemimpinan adalah barang haram untuk diwacanakan. Kata Sarwono, " Jika ada usaha yang dianggap serius untuk mengganti presiden, apa pun rumusannya dan siapa pun yang melakukannya, langsung diambil tindakan untuk memadamkannya. Isu suksesi kepemimpinan nasional dianggap ancaman serius." (hlm.140). Â Isu haram secara politik untuk diangkat dalam wacana publik adalah soal Pancasila dan UUD'45. Larangan mengubah Pancasila dan UUD'45 adalah harga mati, jika ada berani mengutak-utik soal itu, harganya mati. Mati secara politis maupun non-politis.
Jangan menyenggol soal suksesi kepemimpinan (artinya ganti Soeharto) dan jangan menyerempet soal ganti Pancasila dan UUD'45. Berjalanlah hati-hati dan kamu akan survive. Berbagai peristiwa demo mahasiswa, munas Golkar, sampai Kasus Angsana mewarnai bab ini.
Kasus Angsana.
Angsana ini nama sebuah desa kecil di Pandeglang, Jawa Barat. Peristiwanya sebetulnya sederhana, namun jadi perhatian publik saat itu. Awal Maret 1979, datang rombongan warga desa Angsana ke DPR-RI, apa pasal?
Begini, mereka datang dengan sangat bersahaja ingin mengadukan kasus penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal mereka yang dilakukan kepala desa. Aduannya adalah soal perampasan tanah dan pungutan liar alias pungli. Kenapa ke DPR? Karena sudah mentok dengan institusi lainnya yang telah mereka datangi.
Kata Sarwono, " Postur delegasi yang terkesan polos dan otentik, berkisah tentang persoalan yang sering terjadi di perdesaan yang luput dari perhatian orang banyak. Sepulang dari DPR, keenam orang tersebut sempat ditahan, tetapi dilepas setelah kasus Angsana ini ramai diberitakan oleh pers. Lantas muncul berita-berita lain dengan tema sama dari beberapa daerah perdesaan."
Kasus Angsana ini rupanya adalah puncak gunung es persoalan desa saat itu. Desa-desa lain ikut dalam semacam euphoria aduan seperti yang dilakukan desa Angsana.
Pendapat Sarwono terhadap kasus ini, "Kesan yang didapat dari penanganan masalah Angsana adalah bahwa elite pemerintahan kabupaten dan aparat kepolisian dan militer menangani masalah ini secara canggung dan salah tingkah. Seperti orang yang berada di tempat gelap melakukan sesuatu yang tidak layak dan tiba-tiba ada yang menyalakan lampu."
Menarik, bibit-bibit tuntutan untuk transparansi administrasi pemerintahan daerah sudah menguat saat itu. Desa kecil Angsana jadi semacam pemicu.
Hebohnya saat itu, sampai-sampai Laksamana Soedomo  sebagai Pangkopkamtib menyatakan mengambil alih masalah atau Kasus Angsana itu!
Petisi 50.
Peristiwa politik paling heboh di era 80-an. Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) datang menemui Fraksi Karya Pembangunan. Dipimpin Ali Sadikin yang datang bersama Hoegeng Iman Santoso, Chris Siner Key Timu dan beberapa tokoh lain. Mereka ditemui oleh Ketua FKP Sugiharto  dan pimpinan Komisi DPR dari unsur FKP. Event ini rupanya sudah ditungu-tunggu para nyamuk pers. Hari Selasa, 5 Mei 1981, YLKBI bertemu FKP di DPR. Hari yang sama dimana Petisi 50 ditandatangani oleh kelimapuluh tokoh.
Profil anggota Kelompok Petisi 50 bukan orang sembarangan. Selain ketiga tokoh tadi, ada juga Jenderal A.H. Nasution, Burhanuddin Harahap (mantan Perdana Menteri), Muhammad Nasir, dll. Kata Sarwono, "Melihat kualitas ketokohan penanda tangan Petisi 50, mereka secara alamiah bukanlah penghuni "koridor tengah". Mereka bukan pula sekumpulan orang miskin akses politik dan secara sosial berposisi marjinal. Sebenarnya mereka mengambil posisi "aksi langsung" terhadap Presiden Soeharto. Di mata para petinggi Orde Baru, mereka bisa saja dilihat sebagai kekuatan alternatif atau ancaman yang berpotensi besar memicu masalah suksesi."
Dan tentu saja, itu wilayah haram semasa orde baru. Oposisi frontal terhadap pusat otoritarianisme jaman Soeharto konsekuensinya sangat berat. Eks-komunikasi, peminggiran dan pelumpuhan berbagai sumber pencaharian terhadap pribadi dan keluarganya. Harganya mahal kalau bukan harganya mati.
Nama-nama besar lain semasa orba ada dalam rekam peristiwa Sarwono Kusumaatmadja. Ada Benny Moerdani, ada Soedharmono, Moerdopo, Jusuf Wanandi, Oka Mahendra, Akbar Tandjung, David Napitulu, Moerdiono, dll. Berwarna sekali.
Sampai di Bab 4 dimana Sarwono jadi anggota elite politik era Presiden Soeharto. Ia tegas kasih judul Bab ini, "Teguh di Koridor Tengah". Jangan singgung soal suksesi kepemimpinan, dan jangan nyerempet soal ganti Pancasila dan UUD'45, ini barang haram semasa orba. Dan, jangan pula sampai tersedot ke dalam lingkaran terlalu dalam (inner-circle) yang menurut pengakuan Soedharmono maupun Benny Moerdani dalam penuturan Sarwono, amat misterius, sulit diterka dan oleh karenanya beresiko besar pula secara politik. Inilah keseimbangan di koridor tengah.
Perjumpaannya secara pribadi dengan Soedharmono yang Ketua Umum Golkar dan juga Menteri Sekretaris Negara. Sampai ia dipercaya jadi Sekjen DPP Golkar. Cukup menarik. Pergumulannya dalam banyak kasus dan peristiwa yang dialami Golkar dan onderbouw-nya (organisasi-organisasi sayap di bawah naungan Golkar). Spektrum pengalaman politik yang sangat luas.
Sampai akhirnya ia ditunjuk jadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara setelah Sidang Umum MPR tahun 1988, saat itu ia rangkap jabatan juga masih sebagai Sekjen Golkar.
Sarwono sempat dijajaki oleh Soeharto untuk jadi "orang dalam"-nya. Caranya menarik, ia kerap diundang ke rumah, biasanya malam hari saat kerumunan wartawan dan tamu-tamu lain sudah sepi. Ngobrol ngalor-ngidul yang  kebanyakan monolog, hanya jadi pendengar yang baik atas kisah-kisah Pak Harto.
Sampai akhirnya Sarwono jengah dan memberanikan diri untuk 'berkonsultasi' dengan Soedharmono dan Benny Moerdani. Menanyakan apa maksud Pak Harto mengundang dia malam-malam untuk selalu jadi pendengar yang baik, bahkan terhadap hal-hal yang pribadi. Baru setelah dijelaskan oleh senior-senior itu bahwa event itu adalah semacam proses penjajakan, apakah kamu bisa dan mau jadi "orang dalam" (inner-circle)nya Pak Harto. Ia harus memilih.
Kata Soedharmono kepada Sarwono, "Lha terserah. Pilihan itu berpulang pada diri sendiri. Saya sebagai Mensesneg pernah jadi orang dalam. Bebannya berat. Banyak yang kita ketahui sebagai orang dalam, tetapi kita harus tutup mulut. Kadang-kadang ada perintah Presiden yang harus kita laksanakan, padahal hati kecil kita mempertanyakan perintah itu. Beliau juga kadang memberi arahan yang perlu penafsiran yang tepat dan dalam hal itu bukan perkara gampang."
Lanjut Pak Soedharmono, "Silakan memilih yang terbaik. Saya hanya ingin ingatkan, tidak mudah menjadi orang dalam. Beban mentalnya berat. Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi dan perilaku kita bisa menjadi aneh."
Dan setelah berpikir keras, Sarwono pun menemui Benny Moerdani untuk konsultasi hal yang sama. Dan jawaban Benny Moerdani senada seirama dengan Soedharmono.
Sarwono pun mesti bersikap. Ia memilih Koridor Tengah. Sampai saatnya tiba untuk mengirim sinyal yang jelas kepada Pak Harto. Sarwono bercerita, "Waktu untuk menyatakan sikap tiba ketika Pak Harto mulai bercerita tentang hal-hal yang sifatnya amat pribadi. ...saya menyebutnya dengan istilah 'interaksi nonverbal'. Saya anggap waktunya tiba untuk memberi isyarat yang jelas bahwa saya tidak berminat menjadi lingkaran dalam beliau atau apa yang saat itu disebut 'Orang Cendana'."
Tandasnya, "Pak Harto, saya merasa mendapat banyak hal dalam diskusi selama ini. Tapi mohon maaf, saya tidak terbiasa bercakap tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Lagi pula Bapak belum memberikan arahan kepada saya selaku menteri, padahal beberapa laporan sudah saya sampaikan."
Selesai bicara begitu, Sarwono melihat raut muka Pak Harto berubah mengeras. Soeharto lalu cuma bilang kepada Sarwono, "Silahkan minum."
Sejak itu ia tak pernah diundang dalam bincang monolog malam hari. Selalu hanya dalam kapasitas sebagai pejabat negara di terang hari dan di ruang resmi. Namun sambil terus menjaga hubungan kerja profesional, Menteri Sarwono terus berhubungan dengan Presidennya.
Seorang Sarwono Kusumaatmadja nampaknya cukup piawai berselancar di koridor tengah ini. Tidak tersedot dalam 'black-hole' yang misterus dan tidak lepas orbit. Tegar dan konsisten menelusuri lingkaran orbitnya yang pas, tidak terpental dari gerak sentripetal politik, dan tidak terjerumus ke dalam gerak sentrifugal kekuasaan.
Karir politiknya terus berjalan, bahkan sampai pergantian presiden beberapa kali. Mungkin itu akan diceritakannya nanti, dalam memoar jilid berikutnya seperti yang dijanjikannya.
Penutup.
Oh ya, sebagai penutup saya mesti mengaku, bahwa buku memoar ini tidak saya beli sendiri. Buku ini dikirim langsung oleh penulisnya tahun 2018 lalu via kurir.
Terima kasih Pak Sarwono, kami belajar banyak dari pengalaman Bapak yang ditulis di buku ini, dari percakapan maupun dari pemberitaan tentang Bapak yang kami baca.
Kita bisa memandang lebih jauh dengan horison yang lebih luas lantaran jasa tulisan para aktor dan pemikir jaman lalu. Kita seperti duduk di bahu para raksasa itu, dan karenanya dimampukan untuk menerawang ke tiga dimensi, ke kejauhan masa lalu, masa kini dan masa depan.
Doa dan harapan kami buat Pak Sarwono Kusumaatmadja: Tetap sehat dan terus berkarya, juga terus menulis agar jadi referensi dan bekal pijakan bagi generasi muda masa depan Indonesia.
Terima kasih.
05/01/2020
*Andre Vincent Wenas* Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H