Petisi 50.
Peristiwa politik paling heboh di era 80-an. Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) datang menemui Fraksi Karya Pembangunan. Dipimpin Ali Sadikin yang datang bersama Hoegeng Iman Santoso, Chris Siner Key Timu dan beberapa tokoh lain. Mereka ditemui oleh Ketua FKP Sugiharto  dan pimpinan Komisi DPR dari unsur FKP. Event ini rupanya sudah ditungu-tunggu para nyamuk pers. Hari Selasa, 5 Mei 1981, YLKBI bertemu FKP di DPR. Hari yang sama dimana Petisi 50 ditandatangani oleh kelimapuluh tokoh.
Profil anggota Kelompok Petisi 50 bukan orang sembarangan. Selain ketiga tokoh tadi, ada juga Jenderal A.H. Nasution, Burhanuddin Harahap (mantan Perdana Menteri), Muhammad Nasir, dll. Kata Sarwono, "Melihat kualitas ketokohan penanda tangan Petisi 50, mereka secara alamiah bukanlah penghuni "koridor tengah". Mereka bukan pula sekumpulan orang miskin akses politik dan secara sosial berposisi marjinal. Sebenarnya mereka mengambil posisi "aksi langsung" terhadap Presiden Soeharto. Di mata para petinggi Orde Baru, mereka bisa saja dilihat sebagai kekuatan alternatif atau ancaman yang berpotensi besar memicu masalah suksesi."
Dan tentu saja, itu wilayah haram semasa orde baru. Oposisi frontal terhadap pusat otoritarianisme jaman Soeharto konsekuensinya sangat berat. Eks-komunikasi, peminggiran dan pelumpuhan berbagai sumber pencaharian terhadap pribadi dan keluarganya. Harganya mahal kalau bukan harganya mati.
Nama-nama besar lain semasa orba ada dalam rekam peristiwa Sarwono Kusumaatmadja. Ada Benny Moerdani, ada Soedharmono, Moerdopo, Jusuf Wanandi, Oka Mahendra, Akbar Tandjung, David Napitulu, Moerdiono, dll. Berwarna sekali.
Sampai di Bab 4 dimana Sarwono jadi anggota elite politik era Presiden Soeharto. Ia tegas kasih judul Bab ini, "Teguh di Koridor Tengah". Jangan singgung soal suksesi kepemimpinan, dan jangan nyerempet soal ganti Pancasila dan UUD'45, ini barang haram semasa orba. Dan, jangan pula sampai tersedot ke dalam lingkaran terlalu dalam (inner-circle) yang menurut pengakuan Soedharmono maupun Benny Moerdani dalam penuturan Sarwono, amat misterius, sulit diterka dan oleh karenanya beresiko besar pula secara politik. Inilah keseimbangan di koridor tengah.
Perjumpaannya secara pribadi dengan Soedharmono yang Ketua Umum Golkar dan juga Menteri Sekretaris Negara. Sampai ia dipercaya jadi Sekjen DPP Golkar. Cukup menarik. Pergumulannya dalam banyak kasus dan peristiwa yang dialami Golkar dan onderbouw-nya (organisasi-organisasi sayap di bawah naungan Golkar). Spektrum pengalaman politik yang sangat luas.
Sampai akhirnya ia ditunjuk jadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara setelah Sidang Umum MPR tahun 1988, saat itu ia rangkap jabatan juga masih sebagai Sekjen Golkar.
Sarwono sempat dijajaki oleh Soeharto untuk jadi "orang dalam"-nya. Caranya menarik, ia kerap diundang ke rumah, biasanya malam hari saat kerumunan wartawan dan tamu-tamu lain sudah sepi. Ngobrol ngalor-ngidul yang  kebanyakan monolog, hanya jadi pendengar yang baik atas kisah-kisah Pak Harto.
Sampai akhirnya Sarwono jengah dan memberanikan diri untuk 'berkonsultasi' dengan Soedharmono dan Benny Moerdani. Menanyakan apa maksud Pak Harto mengundang dia malam-malam untuk selalu jadi pendengar yang baik, bahkan terhadap hal-hal yang pribadi. Baru setelah dijelaskan oleh senior-senior itu bahwa event itu adalah semacam proses penjajakan, apakah kamu bisa dan mau jadi "orang dalam" (inner-circle)nya Pak Harto. Ia harus memilih.
Kata Soedharmono kepada Sarwono, "Lha terserah. Pilihan itu berpulang pada diri sendiri. Saya sebagai Mensesneg pernah jadi orang dalam. Bebannya berat. Banyak yang kita ketahui sebagai orang dalam, tetapi kita harus tutup mulut. Kadang-kadang ada perintah Presiden yang harus kita laksanakan, padahal hati kecil kita mempertanyakan perintah itu. Beliau juga kadang memberi arahan yang perlu penafsiran yang tepat dan dalam hal itu bukan perkara gampang."