Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menapak Koridor Tengah, dari Memoar Sarwono Kusumaatmadja

5 Januari 2020   03:36 Diperbarui: 5 Januari 2020   10:13 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stabilitas dan dinamika politik. Disinilah keseimbangan itu dibutuhkan, bagaimana manajemen kekuasaan dikelola sedemikian rupa. Tak menimbulkan gejolak namun sasaran berhasil dicapai. Berbagai siasat politik tingkat tinggi diantara para elite bermain dengan elegan. Di ketiga kancah, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bahkan di kancah keempat: pers. Semua diorkestrasi oleh otoritas pusat kekuasaan masa itu, Presiden Soeharto.

Di masa ini, yang namanya isu suksesi kepemimpinan adalah barang haram untuk diwacanakan. Kata Sarwono, " Jika ada usaha yang dianggap serius untuk mengganti presiden, apa pun rumusannya dan siapa pun yang melakukannya, langsung diambil tindakan untuk memadamkannya. Isu suksesi kepemimpinan nasional dianggap ancaman serius." (hlm.140).  Isu haram secara politik untuk diangkat dalam wacana publik adalah soal Pancasila dan UUD'45. Larangan mengubah Pancasila dan UUD'45 adalah harga mati, jika ada berani mengutak-utik soal itu, harganya mati. Mati secara politis maupun non-politis.

Jangan menyenggol soal suksesi kepemimpinan (artinya ganti Soeharto) dan jangan menyerempet soal ganti Pancasila dan UUD'45. Berjalanlah hati-hati dan kamu akan survive. Berbagai peristiwa demo mahasiswa, munas Golkar, sampai Kasus Angsana mewarnai bab ini.

Kasus Angsana.

Angsana ini nama sebuah desa kecil di Pandeglang, Jawa Barat. Peristiwanya sebetulnya sederhana, namun jadi perhatian publik saat itu. Awal Maret 1979, datang rombongan warga desa Angsana ke DPR-RI, apa pasal?

Begini, mereka datang dengan sangat bersahaja ingin mengadukan kasus penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal mereka yang dilakukan kepala desa. Aduannya adalah soal perampasan tanah dan pungutan liar alias pungli. Kenapa ke DPR? Karena sudah mentok dengan institusi lainnya yang telah mereka datangi.

Kata Sarwono, " Postur delegasi yang terkesan polos dan otentik, berkisah tentang persoalan yang sering terjadi di perdesaan yang luput dari perhatian orang banyak. Sepulang dari DPR, keenam orang tersebut sempat ditahan, tetapi dilepas setelah kasus Angsana ini ramai diberitakan oleh pers. Lantas muncul berita-berita lain dengan tema sama dari beberapa daerah perdesaan."

Kasus Angsana ini rupanya adalah puncak gunung es persoalan desa saat itu. Desa-desa lain ikut dalam semacam euphoria aduan seperti yang dilakukan desa Angsana.

Pendapat Sarwono terhadap kasus ini, "Kesan yang didapat dari penanganan masalah Angsana adalah bahwa elite pemerintahan kabupaten dan aparat kepolisian dan militer menangani masalah ini secara canggung dan salah tingkah. Seperti orang yang berada di tempat gelap melakukan sesuatu yang tidak layak dan tiba-tiba ada yang menyalakan lampu."

Menarik, bibit-bibit tuntutan untuk transparansi administrasi pemerintahan daerah sudah menguat saat itu. Desa kecil Angsana jadi semacam pemicu.

Hebohnya saat itu, sampai-sampai Laksamana Soedomo  sebagai Pangkopkamtib menyatakan mengambil alih masalah atau Kasus Angsana itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun