3. Program Pemberdayaan yang Lebih Produktif dan Variatif
Jika muzakki mendistribusikan dana zakatnya secara langsung, maka sudah bisa dipastikan jika pola pentasharrufan yang digunakan oleh mustahiq adalah praktis-konsumtif, artinya dana yang diterimanya akan begitu saja habis setelah diterimakan dan dibelanjakan tanpa bisa mengubah apapun dari kondisi mustahiq.
Lain halnya jika membayarkan zakat melalui BAZNAS. Dana yang berhasil dihimpun tidak langsung begitu saja di bagikan tanpa pemberdayaan lebih lanjut. Ada upaya BAZNAS untuk menjadikan dana yang diterima mustahik lebih bermanfaat dalam jangka panjang, sehingga dengan dana yang diterimakan itu, diharapkan bisa merubah kondisi mustahiq agar kedepan lebih baik, salah satunya adalah dengan proses pendampingan usaha misalnya.
Upaya tersebut bukan berarti menegasikan jika dana yang dihimpun adalah hak milik para ashnaf. Dalam pendistribusiannya, BAZNAS lebih menitik beratkan pola distribusi dengan bersandar pada aspek maqashid syariah. Inilah yang ditengarai kemudian melahirkan adagium “memberdayakan mustahiq sehingga bisa menjadi muzakki”
Program-program yang berkelanjutan dan bersifat produktif itu bisa dilihat sebagaimana yang dicanangkan oleh salah satunya BAZNAS kota Yogyakarta, seperti: Program Yogya Taqwa (untuk kepentingan syiar Islam), Program Yogya Cerdas (Beasiswa dan santunan kepada siswa kurang mampu), Program Yogya Sejahtera (meningkatkan kesejahteraan ekonomi jama’ah, yatim, dhuafa, difabel, ustadz, dll.) dan terakhir Program Yogya Peduli (bertujuan meringankan beban masyarakat kurang mampu yang terkena musibah) kesehatan, pendidikan, dan bantuan usaha kepada masyarakat fakir dan miskin.
4. Lebih “Nyunnah”
Poin terakhir, yang menjadi alasan kenapa harus membayar zakat melalui BAZNAS adalah, lantaran lebih “nyunnah”.
Bukankah pada saat Rasulullah Saw. masih hidup beliau memerintahkan beberapa sahabat untuk bertindak sebagai amil dan tidak pernah mencontohkan distribusi zakat secara langsung?
Bukankah tradisi tersebut juga pada akhirnya dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin yang mewajibkan masyarakat untuk membayar zakat melalui baitul mal?
Walhasil, dengan memahami fakta sejarah tersebut secara seksama, kita seharusnya bisa mengambil hikmah, jika sedari awal, Rasulullah Saw. memang menghendaki adanya campur tangan penguasa dalam hal distribusi. Klaim ini dikuatkan dengan perintah Allah pada surat al-Taubah ayat 103 dengan menggunakan diksi “Khudz” sebuah perintah yang bermakna “ambillah” tidak sekedar “bagilah”. Ini tidak lain ditujukan agar penghimpunan dan pendistribusian zakat lebih tertib dan professional.