Semenjak pertama kali menerima amanat untuk menjadi tim relawan BAZNAS Yogyakarta dalam kegiatan fundraising, sosialisasi sekaligus edukasi zakat terhadap masyarakat Ramadhan tahun ini, ada sebuah pertanyaan besar mengganjal di hati yang sekaligus menjadi kekhawatiran andaikata pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang calon muzakki (wajib zakat) ketika sedang berkonsultasi, yaitu, “Kenapa saya harus berzakat melalui BAZNAS?”
Sebuah pertanyaan yang sederhana memang, namun jika mencermati kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung lebih suka untuk membagikan zakatnya secara langsung kepada mustahik (golongan yang berhak menerima zakat), tentu pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dijawab secara tepat, cermat dan memahamkan.
Karena konsekwensi jika jawaban yang kita berikan masih mengambang, tidak menutup kemungkinan menjadikkan muzakki mengurungkan niatnya untuk membayar zakat via BAZNAS dan memilih untuk kembali mendistribusikan dananya secara mandiri lagi.
Salah? Memang tidak. hanya saja sangat disayangkan jika benar terjadi demikian. Tersebab dengan begitu, visi misi BAZNAS yang ingin menjadi sentra penghimpunan dan pendayagunaan zakat nasional yang sesuai dengan ketentuan syariah dan prinsip manajemen modern, sehingga mampu memaksimalkan peran zakat dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia melalui sinergi dan koordinasi dengan lembaga terkait akan menjadi terkendala.
Oleh karenanya, setidaknya terdapat beberapa poin dari pandangan penulis secara pribadi yang bisa dijadikan pijakan oleh para relawan dalam menjawab pertanyaan muzakki diatas, sekaligus poin-poin tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi para muzakki yang saat ini sedang memiliki niat untuk membagikan zakatnya secara langsung. Paling tidak, agar sejenak mau memikirkan ulang tentang niatnya tersebut, syukur-syukur berubah pikiran dan berkeinginan membayarkan zakatnya kepada amil zakat (BAZNAS).
1. Aman dan Terpercaya
Masih ingat dengan berita September 2008 yang mengisahkan sebanyak 21 orang meninggal dunia di Pasuruan karena terinjak-injak sesama kawannya saat berebut menerima jatah zakat maal sebesar Rp. 30.000,-? Atau berita-berita serupa lainnya yang mengisahkan tentang begitu berpayah-payahnya kaum fakir miskin harus rela berhimpit-himpit dengan sesama, di terik siang hari bulan Ramdhan yang tak jarang menimbulkan korban baik luka hingga meninggal dunia hanya untuk memperebutkan nominal uang yang tidak sebanding dengan resiko yang diterimanya?
Cerita seperti ini tentu saja tidak akan pernah terjadi jika muzakki sedari awal lebih memilih untuk mempercayakan distribusi zakatnya kepada amil zakat yang profesional. Selain itu, ditinjau dari segi nilai etika kepatutan, hal lain apa yang bisa diambil dari proses pendistribusian dengan pola seperti ini (langsung) selain hanya menunjukkan dua hal yang paling menonjol: Pertama, ironisme jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Kedua, rendahnya harga diri umat Islam yang rela berdesak-desakan mempertaruhkan nyawa hanya karena sejumlah nominal yang tak seberapa.
Hal semacam ini harus disadari oleh para muzakki, jangan sampai ibadah sosial yang secara substansi bertujuan untuk menyejahterakan, berubah menjadi menyengsarakan kaum dhuafa’. Toh, bukannya sedekah yang terbaik adalah sedekah yang tersembunyi dan hanya diketahui oleh pelaku dan Tuhan-Nya?
Kemudian bukankah hal demikian itu rentan sekali dihinggapi penyakit riya’ yang dengan mudah meluluh lantakkan pahala zakat? (ini loh rumah gue penuh antri orang-orang miskin yang mau mengambil zakat di rumah gue).