Tiga hari tidak bertemu dengan Lyra, membuat Boni bertanya-tanya dan galauw. Menginginkan Lyra adalah satu hal. Namun berusaha jual mahal kepada salah satu Model ternama Indonesia yang sedang naik daun itu sama sekali tidak ada gunanya. Apakah Lyra akan mencari dirinya ketika Boni tidak menghubunginya? Ataukah Lyra juga sedang berusaha bertahan untuk tidak menghubungi Boni? Atau jangan-jangan Lyra sekarang sedang bersama pria lain, yang jauh lebih keren darinya, lebih mapan, lebih bisa memperlakukan Lyra sebagai Ratunya, mampu mengimbangi ketenaran Lyra? Lyra mengajaknya ke Apartment nya, naik, menginap, menghabiskan malam-malam indah bersama? "Lalu gue bagaimana??" otak Boni seperti benang kusut. Kini saatnya call a friend.
Yang sangat mengerti dirinya adalah dua sahabatnya sejak masa SMA; Saba dan Rami. Sama-sama jebolan SMA Pangudi Luhur, Rami melanjutkan pendidikannya ke Curug  demi mengejar cita-citanya menjadi Pilot Pesawat Tempur. Namun seiring perjalanan waktu, cita-cita itu berbelok ke Pesawat Komersial. Quotes Rami yang terkenal adalah; "Tidak ada Pramugari di dalam Pesawat Tempur". Kini Rami adalah Pilot pesawat Boeing 737 milik maskapai Pelita Air.
Sementara Saba melanjutkan pendidikannya ke UNAIR, demi mewujudkan cita-cita orangtuanya agar menjadi Sarjana Hukum dan punya Law Firm sendiri suatu hari. Empat tahun kemudian Saba lulus. Namun bidang yang digelutinya juga berbelok -bahkan lebih ekstrim dari Rami- yaitu ke arah kuliner. Saba kini merupakan seorang Sous Chef di sebuah Hotel bintang lima.
Tidak sampai 24 jam kemudian, Boni dan Rami telah berada di sebuah dapur luas Hotel Four Seasons yang dipenuhi meja stainless steel, Cooker dan exhaust berukuran besar, serta Food processor dan utensil yang berserakan. Para Commis hilir mudik tengah mempersiapkan hidangan bagi para tamu. Boni duduk di krat botol soda yang dibalik, sementara Rami berdiri setengah bersandar kepada ujung meja kerja, mendengarkan petuah-petuah yang keluar dari mulut sahabat mereka; Saba, sang Sous Chef yang tengah bertugas sore itu. Sebagai orang nomor dua yang bertanggung jawab di dapur, Saba membawahi para Chef de partie dan para Commis yang bertugas masing-masing di area nya; Roast, Grill, Fry, Fish, Saut.
"Beri diri kalian waktu. Ini saatnya lo berdua refleksi diri. Mau dibawa kemana hubungan ini?" Saba mengeluarkan sebuah tray berisi empat loyang Cheese Cake yang baru selesai dipanggang.
"Jelas sekali bahwa diantara kami berdua, gue yang mengerti maunya gue tuh apa. Sebaliknya Lyra hanya sok cuek. Tutup mata dan tidak mau tahu." Boni membela diri
"Apa iya? Lo mungkin tahu maunya lo. Apa lo juga pernah berpikir, memahami maunya Lyra, Bon?" Saba mematikan sebuah Planetary mixer dan menarik adonan khalis dari dalamnya. Seorang Commis dengan sigap datang dan membantu Saba.
"Dia tidak tahu apa yang dia inginkan Chef!" jawab Boni dengan agak cemas.
Saba menaruh adonannnya. Tampak berpikir kemudian mendekati Boni.
"Bagaimana jika sebenarnya lo yang enggak tahu maunya lo, dan Lyra yang justru sangat memahami apa yang dia mau?" Saba membuat Boni makin cemas
"Bon, lo harus mengerti bahwa di dalam situasi seperti ini, enggak ada persaingan diantara kalian. Sebaliknya adalah saling memberikan keuntungan satu dengan yang lain. Maksudnya gimana? Lah, kan jelas lo berdua saling membutuhkan. Friends with Benefits, or whatever you call it lah." Saba mulai membagi adonan itu, menimbangnya dan memposisikannya satu-satu menjadi adonan-adonan kecil diatas tray. Kemudian memberikan scrapper nya kepada Commis perempuan tadi. Sang Commis yang nampak masih belia itu segera melanjutkan apa yang baru saja dilakukan Saba.
"Jika salah satu makin melibatkan perasaan dalam hubungan ini, maka akan kacau. Karena hubungan ini akan lebih enak dijalani dengan santai, tanpa ikatan. Teman mesra. Tanpa harus membebani satu dengan yang lain dengan perasaan yang tidak ada ujungnya." Saba mengeluarkan sebuah tray berisi tiga loyang Cheese Cake lagi dari Oven, meletakkannya diatas meja dan membuka perlahan aluminium foil pada Cheese cake nya yang masih panas.
"Enggak semua yang kita mau akan kita dapatkan. Nikmati yang sudah ada aja Bon." Rami angkat bicara.
"Nah ini penakluk langit ketujuh telah bersabda!" Saba tampak puas akan petuahnya yang ditutup dengan rapi oleh kalimat Rami.
Boni makin uring-uringan. Tentu saja dia tidak setuju dan berharap kedua sahabatnya mendukung perasaannya untuk memenangkan hati Lyra. Menjadi dewasa memang menyebalkan.
"Sudah, jangan dipusingin terus. Kini waktunya pengalihan. Kita berangkat buat ketemuan teman-teman gue. Chef, cepetan selesaikan kerjaan lo." Rami melirik jamnya
"Gue kira Cuma kita bertiga malam ini? Nge bir, maen bilyard?" Boni protes
"Tenang aja. Teman gue cuma tiga orang, perempuan semua. Pramugari baru. Masih kinyis-kinyis" jawab Rami mantap.
Sebagai salah satu Pilot Junior terbaik untuk Boeing 737, Rami selalu terbuka untuk menjalin hubungan se-casual mungkin dengan beberapa Pramugari yang terbang bersamanya dan ingin bersenang-senang. Rutinitas pekerjaan dan lokasi yang berpindah-pindah dengan cepat akan menjadi advantage bila diisi dengan aktifitas seru bersama teman-teman.
Di dalam mobil Boni protes lagi; "Kenapa kita enggak main Bilyard aja sih? Gue lagi males ketemu orang-orang Ram."
"Kan tadi gue uda bilang, kita kongkow sama temen-temen gue." Tukas Rami.
"Dia maunya Cuma sama Lyra Ram. Kalo cewek lain, sudah enggak tertarik dia." Saba menggoda Boni.
SUV yang dikemudikan Rami melambat dan berbelok tajam perlahan ke kanan di daerah Gading Serpong. Kemudian masuk mantap ke sebuah parking spot kosong di area Ruko Opal, di depan Kedai Mie Palu. Rami mematikan engine, lalu ketiganya turun. Kedai tampak ramai, mungkin karena masih jam makan malam. Rami segera berhasil mengidentifikasi meja tempat para teman wanitanya berkumpul. Di meja ujung sebelah kanan, tampak dua wanita sedang asik ngobrol dan salah satunya melambaikan tangan ke Rami.
"Boys, perkenalkan, Pelita's finest cabin crew." Rami segera memperkenalkan para sahabatnya pada dua wanita yang sudah duduk duluan dan tengah makan mie dan siomay tersebut.
Niken dan Wanda adalah dua Pramugari yang baru tiga tahun terbang Pelita Air. Niken berambut panjang, berkulit sawo matang dengan mata besar, bibir radial dan tampilan bergaya 90-an. Sementara Wanda berambut bondol, dengan mata seperti kucing, kuning langsat, berpenampilan senada dengan Niken. Nampaknya mereka punya dress code sendiri. Boni dan Saba pun memperkenalkan diri. Moment ini jelas akan menentukan mau dibawa kemana arahnya malam itu. Tiga pria dan dua wanita saling men-scan, memperhatikan dan melihat apakah ada kecocokan atau ada kegilaan yang patut diwaspadai. Breaking the ice tidak berlangsung lama, kelimanya cepat akrab. Rami merasa pekerjaannya terlalu mudah. Kini kelima anak muda duduk mengelilingi sebuah meja berukuran 2 X 2 meter.
Namun kemudian satu orang muncul. Wanita berdarah Tionghoa-Pontianak, tinggi semampai dengan rambut dicepol keatas dan memakai apron. Boni sudah memperhatikan perempuan itu hilir mudik menyajikan mie, nasi goreng dan berbagai makanan yang dibawanya dari dapur untuk para pelanggan yang sedang makan di kedai tersebut malam itu. Rami pun memperkenalkannya kepada Boni dan Saba, "Dan ini Captain Liani" candanya.
"Huus keptan kepten. Kenapa enggak pake nama China gue aja sekalian?" Liani membalas sambil melepaskan apron dan melipatnya. Ia menjabat tangan Boni dan Saba dengan mantap.Â
"Oh tapi ini beneran. Liani ini Pilot, dan sudah Captain. Bukan di Pelita, tapi di Garuda." Rami mengkonfirmasi.
Boni kagum. Ia memang kadang melihat Pilot perempuan di Social media. Namun belum pernah bertemu langsung dengan seorang pun.
"Cowok-cowok kok enggak makan? Gue bikinin Puyung Hai yaa?" Liani ke dapur sebentar dan balik lagi dengan dua porsi Puyung Hai.Â
"E eh tenang aja Lin, cowok-cowok minum aja." Jawab Rami.
"Disini minum, nanti di Club, minum lagi. Yang ada kembung." canda Liani "Ayo makan dulu." Logat Pontianak Liani sangat kental. Boni memperhatikan gerak-geriknya. Nampaknya Rami cukup dekat dengan Liani. Apakah karena keduanya sama-sama penerbang, atau memang ada gelombang listrik tak terlihat diantara keduanya? Tiba-tiba muncul balita lalu nemplok ke Liani.Â
"Ini anak lakiku. Namanya Kenny" jawab Liani. Saba dan Boni makin kaget.Â
"Ni zenme  hai mei shui?" (kok belum tidur?) tanya Liani.Â
"Xinag he mama." (ingin dengan Mama)" jawab Kenny dengan malu-malu.Â
"Gue boboin Kenny sebentar yah. Gen mama de pengyou shuo wan'an" (Bilang good night sama temen-temen Mama). Liani berdiri dan menghadapkan Kenny ke rombongan kecil di meja itu.Â
"Good night." Jawab Kenny malu-malu dan dia segera melempar diri ke kaki Mamanya. Liani dan Kenny pun berlalu.
Ada jeda sesaat ketika kelima muda-mudi tersebut memperhatikan Liani menggendong Kenny yang menaiki tangga dan berlalu. Boni baru saja mau berkomentar, namun tampaknya ia keduluan oleh Wanda yang memecah keheningan diatara mereka berlima,Â
"Ciyeeee F-O.." dengan senyum usil yang disusul dengan tawa Niken.Â
Boni dan Saba tentu saja enggak nyambung. Sadar akan hal itu, Niken memberikan update kepada keduanya.Â
"F-O itu dia" Niken menunjuk Rami, sang "First Officer". Â
Boni dan Saba mengerti kalau Rami masih duduk di kursi sebelah kanan di dalam cockpit Boeing 737 yang biasa diterbangkannya. Boni pun memberikan tebakan terliarnya dalam hati. Benarkah yang kupikirkan?Â
Dan lebih hebatnya lagi, Saba memberikan tatapan kepada Boni. Ia memikirkan hal yang sama. Ternyata malam itu bukan milik Boni. Rami sudah punya rancangan yang lebih hebat lagi untuk dirinya sendiri.
-bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H