Mohon tunggu...
Andreini Sumampouw
Andreini Sumampouw Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Cogitationis Poenam Patitur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang di Ranah Hubungan Legislatif-Eksekutif

22 Maret 2022   00:54 Diperbarui: 22 Maret 2022   01:02 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI RANAH HUBUNGAN LEGISLATIF - EKSEKUTIF

I. PENDAHULUAN

Makalah ini bertujuan hendak memberikan kritik terhadap artikel yang ditulis oleh Kuswanto dengan judul “Mahkamah Konstitusi dan Upaya Menegakkan Asas Presidensialisme di Indonesia.”[1] Poin dari kritik terhadap artikel tersebut adalah penilaian yang diberikan penulis atas peranan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menguji konstitusionalitas undang-undang terkait dengan isu hubungan legislatif-eksekutif (sistem pemerintahan) tersebut terlalu berlebihan (overrated). Penilaian berlebihan tersebut nampak dalam pernyataan berikut ini:

 

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa MK memiliki kecenderungan kuat untuk mempertahankan asas presidensialisme dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Posisi MK tersebut mengandung aksentuasi supaya politik harus dilakukan sesuai konstitusi, dalam hal ini asas presidensialisme. Dalam menjalankan peranan tersebut adakalanya MK harus mempraktikkan aktivisme yudisial.[2]

 

Penulis berbeda pendapat dengan pernyataan di atas. Menurut hemat penulis, proses pengujian konstitusionalitas undang-undang tidak seyogianya aktif “mengadili” isu-isu politik seperti isu hubungan legislatif-eksekutif. Isu-isu politik seperti itu biarlah diselesaikan “secara politis” di tingkat pembentuk undang- undang sendiri, melalui perdebatan dan deliberasi di antara mereka satu sama lain tanpa perlu melibatkan partisipasi MK untuk memutuskan konstitusionalitasnya.

 

Dengan demikian pembahasan yang akan dilakukan oleh makalah ini adalah sebagai berikut. Pertama-tama akan dijelaskan tentang batasan untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK. Meskipun UUD 1945 tidak membatasi ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang sehingga seolah-olah setiap undang-undang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK, namun persepsi demikian tidak tepat. Pembatasan itu ada, meskipun tidak dinyatakan eksplisit oleh UUD 1945, dan penulis akan mengungkap pembatasan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut maka bagian selanjutnya dari pembahasan akan langsung ditujukan untuk menyatakan ketidaksetujuan penulis (berikut argumentasinya) atas pendapat Kuswanto di atas yang menurut penulis overrated dalam menilai peranan MK menguji konstitusionalitas undang-undang di ranah hubungan legislatif – eksekutif sehingga bagian ini sejalan dengan tesis yang telah penulis kemukakan sebelumnya di atas.

 

II. PEMBAHASAN

 

  • Pembatasan dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK

Untuk menanggapi isu diatas, penulis menggunakan pembatasan eksternal yaitu konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan mengenai konstitusi yang ideal. Konstitusionalisme yang ideal adalah limited government atau batasan pemerintah dalam menggunakan kewenangannya. Adanya pembatasan terhadap pemerintah hal tersebut berarti memberikan kebebasan lebih kepada masyarakat. Terciptanya kebebasan terhadap masyarakat merupakan hal yang  menjawab cita-cita masyarakat pada umumnya karena dengan memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada masyarakat hal tersebut adalah hal yang ideal.

Konstitusi yang berisi tentang dasar-dasar peraturan penyelenggaraan negara yang prinsip dan terbatas, ternyata di dalamnya terkandung dua macam kebijakan legislatif untuk mengatur lebih konkrit dan juga larangan untuk mengatur lain dari apa yang sudah ada dalam konstitusi. Sehingga dikatakan bahwa kebijakan legislatif merupakan kebijakan yang diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi legislasinya yang berupa kebebasan dan pembatasan dalam menentukan materi muatan undang-undang yang menjadi produknya. Kebebasan itu disebut dengan kebijakan legislatif terbuka dan pembatasannya disebut dengan kebijakan legislatif tertutup. Kemudian, delegasi kewenangan dalam sistem ketata-negaraan adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu undang - undang yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam undang-undang adalah wilayah kebebasan dan kesepakatan pembentuk undang-undang dengan syarat mutlak dalam proses legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep akan kebebasan legislator dalam menentukan materi undang-undang ini pun juga disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka. Berkaitan dengan tulisan ini, maka penulis menjelaskan lebih spesifik mengenai kebijakan legislatif terbuka. Kebijakan legislatif terbuka adalah kebijakan hukum yang dimiliki legislator dalam pembentukan undang-undang yang secara langsung didelegasikan oleh UUD NRI 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Indonesia, dimana kebijakan hukum tersebut memberikan kebebasan pada legislator untuk menentukan materi muatan suatu undang-undang yang merupakan pengaturan lanjutan dari apa yang sudah tertulis dalam UUD NRI 1945 sehingga materi undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka tidak dapat diuji oleh MKRI sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945.[3] 

 

Dalam dissenting opinion Hakim MK RI, Maria Farida mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan legislatif terbuka dalam Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa, “hal itu bukanlah masalah konstitusional norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang.”[4] Pendapat tersebut sangat penting sebagai pengingat bahwa kebijakan legislatif terbuka adalah perihal kesepakatan pembentuk undang-undang yang secara tidak langsung menjadikan batasan pada MKRI supaya tidak melakukan lompatan kewenangan dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Kebebasan dalam menentukan materi undang-undang merupakan delegasi oleh UUD NRI 1945 kepada legislator. Itu berarti bahwa dalam fungsinya, legislator bertugas untuk menentukan pengaturan lebih lanjut yang sifatnya tekhnis dari pengaturan yang sudah ada dalam UUD NRI 1945. Dalam pendelegasian ini, konstitusi terkadang tidak menulis suatu aturan yang secara spesifik dan eksplisit yang mengatur suatu dasar konstitusional bagi pilihan kebijakan yang terbuka yang menjadi dasar kewenangan legislator untuk menjabarkan lebih jauh dalam satu undang-undang.[5] Hal ini berarti bahwa legislator bebas menentukan materi muatan undang-undang atau isi undang-undang sepanjang mengamini norma dasar yang tertulis dalam konstitusi. Konsep kebijakan legislatif terbuka itu sendiri bermakna a priori atau antecedent yakni ada terlebih dahulu daripada peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan, namun keberadaannya lahir dan diakui pertama kali dalam putusan MKRI. Sekalipun keberadaannya tidak tercantum secara eksplisit dalam suatu produk peraturan perundang-undangan, namun keberadaannya menjadi krusial dan diakui menjadi salah satu prinsip pembentukan suatu produk undang-undang. Kebijakan legislatif terbuka berfungsi sebagai pengingat akan batasan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan fungsi dengan legislator. 

 

Kemudian berkaitan dengan perihal batasan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusional undang-undang yang bermuatan kebijakan legislatif terbuka dengan prinsip judicial self restraint, dalam tulisan ini menggunakan analisis berdasarkan prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi. Prinsip pertama, yaitu prinsip negara hukum, dimana prinsip ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pengertian terpenting dalam prinsip ini bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, dengan artian segala sikap, tingkah laku dan segala kebijakan yang dikeluarkan oleh para penguasa atau aparatur negara harus berdasarkan atas hukum, dan yang terpenting dalam prinsip ini menghendaki adanya pembatasan hukum bagi masing-masing cabang kekuasaan. Kemudian, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu itu menempati posisi sentral. Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan. Model negara hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, yang berciri bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang di luar kekuasaannya.[6] 

 

Prinsip kedua yaitu prinsip demokrasi. Bukti konstitusi mengatur bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Gagasan dasar prinsip demokrasi adalah terwujudnya negara dengan pemisahan kekuasaan (separation of power), cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited government), terdapat larangan pemerintah bertindak sewenang-wenang (abus de drait atau willikeur), terjaminnya hak-hak asasi manusia dan dihindari terpusatnya kekuasaan pada satu tangan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de pouvair).[7] Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. 

 

Dari uraian dua prinsip konstitusional diatas, dapat ditarik makna bahwa yang menjadi point penting dalam prinsip negara hukum demokrasi adalah mengenai pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited government) yang tentu kedua hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de pouvair) demi tercapainya tujuan bernegara yang melindungi segenap hak warga negaranya. Kembali pada pembahasan mengenai interpretasi kebijakan legislatif terbuka sebagai batasan kewenangan MKRI terhadap prinsip judicial self restraint, seperti yang telah dijelaskan, bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan dalam suatu rumusan undang-undang yang tidak boleh mendapat intervensi dari lembaga negara lain yang diakui sebagai instrument pembatasan diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dari pengertian tersebut maka dapat di tarik dua konsep. Konsep pertama¸ adalah kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan suatu rumusan undang-undang. Konsep kedua, adalah instrument pembatasan diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dua konsep yang terpecah tersebut jelas menunjukkan adanya prinsip dari negara hukum demokrasi. Pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) terilhami dalam konsep pertama, dan kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited government) terilhami dalam konsep kedua. Sedangkan prinsip judicial self restraint itu sendiri merupakan pengekangan diri yang dilakukan oleh cabang kekuasaan yudikatif yang disini merupakan MKRI dalam menjalankan fungsinya tanpa mengganggu cabang kekuasaan lainnya (legislatif maupun eksekutif) yang secara limitatif setiap prinsipnya telah diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan/kekuasaan masing-masing lembaga negara. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan prinsip judicial self restraint merupakan salah satu bentuk penghormatan MKRI kepada cabang kekuasaan lain untuk dapat menjalankan kekuasaannya. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip ini jelas selaras dengan amanat negara hukum demokrasi atas pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan kewenangan lembaga negara yang terbatas (limited government). Lebih penting lagi, prinsip judicial self restraint memiliki tiga pembatasan yaitu bahwa ada pembatasan konstitusional, pembatasan berdasarkan kebijakan, pembatasan berdasarkan doktrin yang dimana ketiganya memiliki klasifikasi dalam pembatasannya masing-masing. Pembatasan-pembatasan tersebut tanpa disadari juga telah terilhami oleh MKRI, salah satunya yaitu dengan lahirnya ‘rambu-rambu’ yang berasal dari dirinya sendiri berupa kebijakan legislatif terbuka (open legal policy).

 

Praktek dari konstitusionalisme ada di Pasal 24C UUD 1945 yang membatasi kewenangan legislatif dalam membentuk peraturan undang-undang. Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang yang dibentuk harus tunduk kepada UUD 1945, dan Mahkamah Konstitusi (MK) berhak menguji apakah Undang – Undang tersebut sesuai dengan UUD 1945 atau tidak. Pengertian implisit dari UU diuji terhadap UUD 1945 oleh MK dalam Pasal 24C UUD 1945 hal tersebut mencerminkan pembatasan terhadap legislatif dalam hal ini lebih spesifiknya adalah  pembatasan atas pembetukan isi Undang-Undang oleh legislatif. Yang menjadi pertanyaaan adalah batasan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, yang tidak diatur dalam konstitusi, sehingga dianggap semua UU bisa diuji konstitusionalnya oleh MK.

 

Berkaitan dengan hal tersebut maka tidak terlihat adanya prinsip check and balance terhadap badan yudisial dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah diamanahkan oleh Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 bahwa dalam hal menjalankan fungsi kenegaraan dengan menggunakan ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, esensi bahwa kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan.[8] Checks and balances ini, yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang dilihat di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara efektif. Salah satu bukti sistem di Indonesia melaksanakan ajaran sistem checks and balances adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (yang seharusnya memiliki fungsi untuk melaksanakan undang-undang) namun UUD 1945 memberikan hak kepada presiden untuk melaksanakan fungsi legislasi semu yakni dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, pemerintah (eksekutif) juga memiliki kewenangan untuk justitie (penyelesaian sengketa), dan pengawasan (control).[9]  Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa meskipun UUD 1945 tidak membatasi ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang sehingga seolah-olah setiap undang-undang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK, namun persepsi demikian tidak tepat. Pembatasan itu harus dianggap ada oleh MK, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit oleh UUD 1945. 

 

B.        Mengapa Pendapat Kuswanto Tidak Tepat – Overatted?

 

Delegasi kewenangan dalam sistem ketatanegaraan adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu UU yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam UU adalah wilayah kebebasan dan kesepakatan pembentuk UU dengan syarat mutlak dalam proses legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep akan kebebasan legislator dalam menentukan materi UU ini yang disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka. Kemudian kebijakan legislatif terbuka merupakan delegasi langsung dari konstitusi yang diberikan kepada legislator yang memunculkan akibat berupa kebebasan untuk legislator dapat mengatur norma yang ada dalam konstitusi dengan norma lanjutan berupa produk UU tanpa boleh mendapatkan intervensi dari cabang kekuasaan lain. Sehingga membatasi kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas UU agar tidak terjadi benturan kewenangan antar lembaga negara.[10] Dalam artikel yang ditulis oleh Kuswanto, memberi peran terlalu besar atau berlebihan kepada MK, melalui salah satu pendapat Kuswanto yaitu:

 

“Namun demikian, berdasarkan pembahasan di atas, pendapat yudisial MK dalam penegakan asas presidensialisme melalui pengujian undang-undang tidak selalu dilakukan secara konsisten, transparan dan tegas. Salah satu sisi positif dengan peranan MK dalam penegakan asas presidensialisme melalui pengujian undang-undang adalah membatasi pembentuk undang-undang supaya kebijakan legislatif dalam rangka penyederhanaan partai politik tidak sewenang-wenang dan melanggar HAM seperti pengalaman rezim Orde Baru yang melakukan penyederhanaan partai politik secara paksa justru untuk melemahkan peran parlemen dan partai politik sendiri. Dengan demikian penyalahgunaan dalam kekuasaan membentuk undang-undang dapat dihentikan meskipun putusan-putusan MK tersebut tidak selalu tepat.”[11]

 

Ini merupakan isu yang menarik karena menurut Penulis, agar supaya tidak terjadinya pelanggaran HAM maka peranan MK diperlukan membatasi pembentuk undang-undang supaya kebijakan legislatif dalam penyederhanaan partai politik, adalah pendapat yang berlebihan terhadap peran MK. Kuswanto secara implisit memberi penjelasan bahwa MK pun turut berperan dalam persoalan partai politik lewat putusan MK. Hal tersebut tentunya memberi peran MK yang berlebihan, karena MK meng-enforce kebijakan yang bukan ranah yudisial khususnya MK. Kemudian pendapat Kuswanto selanjutnya:

 

“Pengertian tersirat dari peranan yang dijalankan oleh MK dalam rangka penguatan sistem presidensial di Indonesia adalah perlunya politik menyesuaikan diri dengan konstitusi, dalam hal ini asas presidensialisme. Presiden tidak boleh tersandera oleh kepentingan politik partai-partai politik. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan marwah sistem presidensial yang mengharapkan karakter dari kekuasaan kepresidenan yang strong and energetic.”[12]

 

Kuswanto berpendapat bahwa politik menyesuaikan diri dengan konstitusi, hal tersebut menurut Penulis adalah keliru. Kebijakan yang bersikap politik merupakan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara dan dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Kebijakan ini tentunya merupakan sebuah proses politik yang kompleks, dan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kondisi sistem politik saat itu.[13] Sehingga tidak bisa disesuaikan dengan konstitusi yang merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena kostitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk  hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya.[14] Kemudian MK tidak dapat menilai konstitusionalitas dari kebijakan yang bersifat politik karena tidak ada ahli politik dalam MK yang dapat menilai kebijakan tersebut. Jadi, jika MK tetap meng-enforce kebijakan yang bersifat politik yang notabenenya adalah peraturan yang termasuk dalam kategori kebijakan legislatif terbuka maka terlalu besar atau berlebihan peran MK dalam hal ini karena menguji undang-undang yang bukan ranah badan yudisial khususnya MK. 

 

Selanjutnya pendapat Kuswanto:

 

“ Meskipun persepsi MK dalam mempertahankan asas presidensialisme tersebut tidak selalu bersesuaian dengan kebijakan legislatif pembentuk undang-undang, namun MK tetap memberikan perhatian sangat serius pada isu penguatan sistem presidensial di Indonesia. Oleh karena itu, MK berani berspekulasi dalam melakukan pengujian atas konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu presiden dalam UU No. 42 Tahun 2008 dengan hasil bahwa pemilu presiden yang diselenggarakan setelah pemilu legislatif inkonstitusional. Sebagai implikasinya, pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2019 harus diselenggarakan serentak atau berbareng.”[15]

 

 

Menurut pendapat Kuswanto bahwa dengan dilakukan pengujian konstitusionalitas terhadap UU No 42 Tahun 2008 oleh MK maka tindakan tersebut merupakan salah satu peran MK dalam mempertahankan asas presidensialisme. Sedangkan, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan regulasi yang jelas mengandung unsur-unsur politik didalamnya, sehingga UU No 42 tahun 2008 ini sebenarnya tidak dapat diuji oleh MK, MK telah mengambil langkah yang berlebihan dalam pengujian Undang-Undang. Pembatasan terhadap MK dalam melakukan pengujian undang-undang haruslah tetap dianggap ada, karena jika semua Undang-Undang bisa diuji oleh MK tanpa ada batasan maka Mahkamah Konstitusi telah bertindak menilai "kebijakan" yang bukan ranahnya badan yudisial.

 

 

III. PENUTUP

 

Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu undang - undang yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam undang-undang adalah wilayah kebebasan dan kesepakatan pembentuk undang-undang dengan syarat mutlak dalam proses legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Sehingga adanya konsep akan kebebasan legislator dalam menentukan materi undang-undang. Kebebasan dalam menentukan materi undang-undang merupakan delegasi oleh UUD NRI 1945 kepada legislator, konsep ini disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka. Adanya kebijakan legislatif terbuka juga merupakan batasan kepada badan yudisial dalam hal ini MK  dalam melakukan pengujian undang-undang, agar terciptanya check and balances terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Jadi, MK tidak dapat menguji konstitusionalitas undang-undang yang masuk dalam kategori kebijakan legislatif terbuka karena hal tersebut merupakan ranah pembentuk undang-undang bukan ranah badan yudisial. Pembatasan pengujian konstitusional undang-undang ini harus tetap dianggap ada walaupun tidak tertulis dalam UUD NRI 1945.

 

 Berkaitan dengan pendapat Kuswanto, bahwa dengan dilakukan pengujian konstitusionalitas terhadap UU No 42 Tahun 2008 oleh MK maka tindakan tersebut merupakan salah satu peran MK dalam mempertahankan asas presidensialisme. Sedangkan, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan regulasi yang jelas mengandung unsur-unsur politik didalamnya, sehingga UU No 42 tahun 2008 ini sebenarnya tidak dapat diuji oleh MK, MK telah mengambil langkah yang berlebihan dalam pengujian Undang-Undang.  Pembatasan pengujian konstitusional undang-undang tersebut harus tetap dianggap ada walaupun tidak tertulis dalam UUD NRI 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun