Ini merupakan isu yang menarik karena menurut Penulis, agar supaya tidak terjadinya pelanggaran HAM maka peranan MK diperlukan membatasi pembentuk undang-undang supaya kebijakan legislatif dalam penyederhanaan partai politik, adalah pendapat yang berlebihan terhadap peran MK. Kuswanto secara implisit memberi penjelasan bahwa MK pun turut berperan dalam persoalan partai politik lewat putusan MK. Hal tersebut tentunya memberi peran MK yang berlebihan, karena MK meng-enforce kebijakan yang bukan ranah yudisial khususnya MK. Kemudian pendapat Kuswanto selanjutnya:
“Pengertian tersirat dari peranan yang dijalankan oleh MK dalam rangka penguatan sistem presidensial di Indonesia adalah perlunya politik menyesuaikan diri dengan konstitusi, dalam hal ini asas presidensialisme. Presiden tidak boleh tersandera oleh kepentingan politik partai-partai politik. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan marwah sistem presidensial yang mengharapkan karakter dari kekuasaan kepresidenan yang strong and energetic.”[12]
Kuswanto berpendapat bahwa politik menyesuaikan diri dengan konstitusi, hal tersebut menurut Penulis adalah keliru. Kebijakan yang bersikap politik merupakan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara dan dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Kebijakan ini tentunya merupakan sebuah proses politik yang kompleks, dan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kondisi sistem politik saat itu.[13] Sehingga tidak bisa disesuaikan dengan konstitusi yang merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena kostitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya.[14] Kemudian MK tidak dapat menilai konstitusionalitas dari kebijakan yang bersifat politik karena tidak ada ahli politik dalam MK yang dapat menilai kebijakan tersebut. Jadi, jika MK tetap meng-enforce kebijakan yang bersifat politik yang notabenenya adalah peraturan yang termasuk dalam kategori kebijakan legislatif terbuka maka terlalu besar atau berlebihan peran MK dalam hal ini karena menguji undang-undang yang bukan ranah badan yudisial khususnya MK.
Selanjutnya pendapat Kuswanto:
“ Meskipun persepsi MK dalam mempertahankan asas presidensialisme tersebut tidak selalu bersesuaian dengan kebijakan legislatif pembentuk undang-undang, namun MK tetap memberikan perhatian sangat serius pada isu penguatan sistem presidensial di Indonesia. Oleh karena itu, MK berani berspekulasi dalam melakukan pengujian atas konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu presiden dalam UU No. 42 Tahun 2008 dengan hasil bahwa pemilu presiden yang diselenggarakan setelah pemilu legislatif inkonstitusional. Sebagai implikasinya, pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2019 harus diselenggarakan serentak atau berbareng.”[15]