Mohon tunggu...
Andreini Sumampouw
Andreini Sumampouw Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Cogitationis Poenam Patitur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang di Ranah Hubungan Legislatif-Eksekutif

22 Maret 2022   00:54 Diperbarui: 22 Maret 2022   01:02 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Praktek dari konstitusionalisme ada di Pasal 24C UUD 1945 yang membatasi kewenangan legislatif dalam membentuk peraturan undang-undang. Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang yang dibentuk harus tunduk kepada UUD 1945, dan Mahkamah Konstitusi (MK) berhak menguji apakah Undang – Undang tersebut sesuai dengan UUD 1945 atau tidak. Pengertian implisit dari UU diuji terhadap UUD 1945 oleh MK dalam Pasal 24C UUD 1945 hal tersebut mencerminkan pembatasan terhadap legislatif dalam hal ini lebih spesifiknya adalah  pembatasan atas pembetukan isi Undang-Undang oleh legislatif. Yang menjadi pertanyaaan adalah batasan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, yang tidak diatur dalam konstitusi, sehingga dianggap semua UU bisa diuji konstitusionalnya oleh MK.

 

Berkaitan dengan hal tersebut maka tidak terlihat adanya prinsip check and balance terhadap badan yudisial dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah diamanahkan oleh Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 bahwa dalam hal menjalankan fungsi kenegaraan dengan menggunakan ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, esensi bahwa kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan.[8] Checks and balances ini, yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang dilihat di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara efektif. Salah satu bukti sistem di Indonesia melaksanakan ajaran sistem checks and balances adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (yang seharusnya memiliki fungsi untuk melaksanakan undang-undang) namun UUD 1945 memberikan hak kepada presiden untuk melaksanakan fungsi legislasi semu yakni dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, pemerintah (eksekutif) juga memiliki kewenangan untuk justitie (penyelesaian sengketa), dan pengawasan (control).[9]  Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa meskipun UUD 1945 tidak membatasi ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang sehingga seolah-olah setiap undang-undang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK, namun persepsi demikian tidak tepat. Pembatasan itu harus dianggap ada oleh MK, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit oleh UUD 1945. 

 

B.        Mengapa Pendapat Kuswanto Tidak Tepat – Overatted?

 

Delegasi kewenangan dalam sistem ketatanegaraan adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu UU yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam UU adalah wilayah kebebasan dan kesepakatan pembentuk UU dengan syarat mutlak dalam proses legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep akan kebebasan legislator dalam menentukan materi UU ini yang disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka. Kemudian kebijakan legislatif terbuka merupakan delegasi langsung dari konstitusi yang diberikan kepada legislator yang memunculkan akibat berupa kebebasan untuk legislator dapat mengatur norma yang ada dalam konstitusi dengan norma lanjutan berupa produk UU tanpa boleh mendapatkan intervensi dari cabang kekuasaan lain. Sehingga membatasi kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas UU agar tidak terjadi benturan kewenangan antar lembaga negara.[10] Dalam artikel yang ditulis oleh Kuswanto, memberi peran terlalu besar atau berlebihan kepada MK, melalui salah satu pendapat Kuswanto yaitu:

 

“Namun demikian, berdasarkan pembahasan di atas, pendapat yudisial MK dalam penegakan asas presidensialisme melalui pengujian undang-undang tidak selalu dilakukan secara konsisten, transparan dan tegas. Salah satu sisi positif dengan peranan MK dalam penegakan asas presidensialisme melalui pengujian undang-undang adalah membatasi pembentuk undang-undang supaya kebijakan legislatif dalam rangka penyederhanaan partai politik tidak sewenang-wenang dan melanggar HAM seperti pengalaman rezim Orde Baru yang melakukan penyederhanaan partai politik secara paksa justru untuk melemahkan peran parlemen dan partai politik sendiri. Dengan demikian penyalahgunaan dalam kekuasaan membentuk undang-undang dapat dihentikan meskipun putusan-putusan MK tersebut tidak selalu tepat.”[11]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun