Mohon tunggu...
Andreini Sumampouw
Andreini Sumampouw Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Cogitationis Poenam Patitur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang di Ranah Hubungan Legislatif-Eksekutif

22 Maret 2022   00:54 Diperbarui: 22 Maret 2022   01:02 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

  • Pembatasan dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK

Untuk menanggapi isu diatas, penulis menggunakan pembatasan eksternal yaitu konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan mengenai konstitusi yang ideal. Konstitusionalisme yang ideal adalah limited government atau batasan pemerintah dalam menggunakan kewenangannya. Adanya pembatasan terhadap pemerintah hal tersebut berarti memberikan kebebasan lebih kepada masyarakat. Terciptanya kebebasan terhadap masyarakat merupakan hal yang  menjawab cita-cita masyarakat pada umumnya karena dengan memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada masyarakat hal tersebut adalah hal yang ideal.

Konstitusi yang berisi tentang dasar-dasar peraturan penyelenggaraan negara yang prinsip dan terbatas, ternyata di dalamnya terkandung dua macam kebijakan legislatif untuk mengatur lebih konkrit dan juga larangan untuk mengatur lain dari apa yang sudah ada dalam konstitusi. Sehingga dikatakan bahwa kebijakan legislatif merupakan kebijakan yang diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi legislasinya yang berupa kebebasan dan pembatasan dalam menentukan materi muatan undang-undang yang menjadi produknya. Kebebasan itu disebut dengan kebijakan legislatif terbuka dan pembatasannya disebut dengan kebijakan legislatif tertutup. Kemudian, delegasi kewenangan dalam sistem ketata-negaraan adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu undang - undang yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam undang-undang adalah wilayah kebebasan dan kesepakatan pembentuk undang-undang dengan syarat mutlak dalam proses legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep akan kebebasan legislator dalam menentukan materi undang-undang ini pun juga disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka. Berkaitan dengan tulisan ini, maka penulis menjelaskan lebih spesifik mengenai kebijakan legislatif terbuka. Kebijakan legislatif terbuka adalah kebijakan hukum yang dimiliki legislator dalam pembentukan undang-undang yang secara langsung didelegasikan oleh UUD NRI 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Indonesia, dimana kebijakan hukum tersebut memberikan kebebasan pada legislator untuk menentukan materi muatan suatu undang-undang yang merupakan pengaturan lanjutan dari apa yang sudah tertulis dalam UUD NRI 1945 sehingga materi undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka tidak dapat diuji oleh MKRI sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945.[3] 

 

Dalam dissenting opinion Hakim MK RI, Maria Farida mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan legislatif terbuka dalam Putusan MKRI Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa, “hal itu bukanlah masalah konstitusional norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang.”[4] Pendapat tersebut sangat penting sebagai pengingat bahwa kebijakan legislatif terbuka adalah perihal kesepakatan pembentuk undang-undang yang secara tidak langsung menjadikan batasan pada MKRI supaya tidak melakukan lompatan kewenangan dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Kebebasan dalam menentukan materi undang-undang merupakan delegasi oleh UUD NRI 1945 kepada legislator. Itu berarti bahwa dalam fungsinya, legislator bertugas untuk menentukan pengaturan lebih lanjut yang sifatnya tekhnis dari pengaturan yang sudah ada dalam UUD NRI 1945. Dalam pendelegasian ini, konstitusi terkadang tidak menulis suatu aturan yang secara spesifik dan eksplisit yang mengatur suatu dasar konstitusional bagi pilihan kebijakan yang terbuka yang menjadi dasar kewenangan legislator untuk menjabarkan lebih jauh dalam satu undang-undang.[5] Hal ini berarti bahwa legislator bebas menentukan materi muatan undang-undang atau isi undang-undang sepanjang mengamini norma dasar yang tertulis dalam konstitusi. Konsep kebijakan legislatif terbuka itu sendiri bermakna a priori atau antecedent yakni ada terlebih dahulu daripada peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan, namun keberadaannya lahir dan diakui pertama kali dalam putusan MKRI. Sekalipun keberadaannya tidak tercantum secara eksplisit dalam suatu produk peraturan perundang-undangan, namun keberadaannya menjadi krusial dan diakui menjadi salah satu prinsip pembentukan suatu produk undang-undang. Kebijakan legislatif terbuka berfungsi sebagai pengingat akan batasan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan fungsi dengan legislator. 

 

Kemudian berkaitan dengan perihal batasan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusional undang-undang yang bermuatan kebijakan legislatif terbuka dengan prinsip judicial self restraint, dalam tulisan ini menggunakan analisis berdasarkan prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi. Prinsip pertama, yaitu prinsip negara hukum, dimana prinsip ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pengertian terpenting dalam prinsip ini bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, dengan artian segala sikap, tingkah laku dan segala kebijakan yang dikeluarkan oleh para penguasa atau aparatur negara harus berdasarkan atas hukum, dan yang terpenting dalam prinsip ini menghendaki adanya pembatasan hukum bagi masing-masing cabang kekuasaan. Kemudian, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu itu menempati posisi sentral. Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan. Model negara hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, yang berciri bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang di luar kekuasaannya.[6] 

 

Prinsip kedua yaitu prinsip demokrasi. Bukti konstitusi mengatur bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Gagasan dasar prinsip demokrasi adalah terwujudnya negara dengan pemisahan kekuasaan (separation of power), cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited government), terdapat larangan pemerintah bertindak sewenang-wenang (abus de drait atau willikeur), terjaminnya hak-hak asasi manusia dan dihindari terpusatnya kekuasaan pada satu tangan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de pouvair).[7] Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. 

 

Dari uraian dua prinsip konstitusional diatas, dapat ditarik makna bahwa yang menjadi point penting dalam prinsip negara hukum demokrasi adalah mengenai pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited government) yang tentu kedua hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de pouvair) demi tercapainya tujuan bernegara yang melindungi segenap hak warga negaranya. Kembali pada pembahasan mengenai interpretasi kebijakan legislatif terbuka sebagai batasan kewenangan MKRI terhadap prinsip judicial self restraint, seperti yang telah dijelaskan, bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan dalam suatu rumusan undang-undang yang tidak boleh mendapat intervensi dari lembaga negara lain yang diakui sebagai instrument pembatasan diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dari pengertian tersebut maka dapat di tarik dua konsep. Konsep pertama¸ adalah kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan suatu rumusan undang-undang. Konsep kedua, adalah instrument pembatasan diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dua konsep yang terpecah tersebut jelas menunjukkan adanya prinsip dari negara hukum demokrasi. Pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) terilhami dalam konsep pertama, dan kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited government) terilhami dalam konsep kedua. Sedangkan prinsip judicial self restraint itu sendiri merupakan pengekangan diri yang dilakukan oleh cabang kekuasaan yudikatif yang disini merupakan MKRI dalam menjalankan fungsinya tanpa mengganggu cabang kekuasaan lainnya (legislatif maupun eksekutif) yang secara limitatif setiap prinsipnya telah diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan/kekuasaan masing-masing lembaga negara. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan prinsip judicial self restraint merupakan salah satu bentuk penghormatan MKRI kepada cabang kekuasaan lain untuk dapat menjalankan kekuasaannya. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip ini jelas selaras dengan amanat negara hukum demokrasi atas pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan kewenangan lembaga negara yang terbatas (limited government). Lebih penting lagi, prinsip judicial self restraint memiliki tiga pembatasan yaitu bahwa ada pembatasan konstitusional, pembatasan berdasarkan kebijakan, pembatasan berdasarkan doktrin yang dimana ketiganya memiliki klasifikasi dalam pembatasannya masing-masing. Pembatasan-pembatasan tersebut tanpa disadari juga telah terilhami oleh MKRI, salah satunya yaitu dengan lahirnya ‘rambu-rambu’ yang berasal dari dirinya sendiri berupa kebijakan legislatif terbuka (open legal policy).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun