Tulisan ini mau menyuguhkan suatu usaha untu meningkatkan hubungan antara Gereja Katolik Roma dengan Gereja-Gerja Kristen Protestan dengan berfokus pada Gerakan Ekumenis Menuju Persatuan Gereja Kristus, bagi penulis tema ini menarik untuk didalami, mengingat dalam tahun-tahun terakhir ini Paus Fransiskus selalu menyinggung tentang pentingnya persatuan dalam tubuh Gereja.
Beliau bukan hanya terbatas pada himbauan tetapi juga banyak tindakan yang telah beliau lakukan. Bisa dilihat dari usaha beliau menjalin komunikasi dengan para pemimpin agama kristen seperti pemimpin Gereja Katolik Ortodoks, Anglikan, Lutheran dan banyak lagi. Dari situlah penulis tertarik untuk mendalami tema ini sebagai proses studi mengenai persoalan dan menemukan solusi yang tepat.
Penulis mencoba memahami latar belakang terjadinya perpecahan Gereja hingga lahirlah berbagai macam denominasi, setelah itu melihat apa solusi yang mungkin dilakukan untuk menciptakan rekonsiliasi atau terciptanya Persatuan Gereja. Penulis berusaha memahami dan memaparkanya secara lebih mendalam.
Tema ini penulis bahas dalam metode pembacaaan kritis dengan mengacu pada buku-buku dan dokumen Gerjeja dan tesis yang berkaitan dengan tema ekumenisme.
Dari proses studi ini penulis menemukan bahwa ekumene tidak akan berhasil jika setiap orang tidak bersikap terbuka akan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Setiap perubahan selalu mengandung konsekuensi, baik itu perubahan yang mengandung nilai positif maupaun nilai negatif. Persatuan Gereja sulit tercapai karena di dalamnya mengandung masalah yang kompleks menyangkut tatanan hidup setiap orang, banyak sistem yang sudah matang akan dirombak demi mencapai persatuan.
Persoalan Persatuan Gereja ini bukan suatu masalah yang sepele sekali lagi mengingat di dalamnya bergantung hidup jutaan orang. Di sini perlu perencanaan yang matang dan kerendahan hati dari setiap aliran agar kesatuan Gereja Kristus sungguh bisa terwujud.
- Latar Belakang Gerakan Ekumenis
- Gerakan ekumenis telah digalakkan dalam Gereja Katolik jauh sebelum Konsili Vatikan II. Salah satu perhatian utama Konsili Vatikan II tertuju pada usaha mencari persatuan umat kristiani. Konsili menyadari bahwa secara resmi Gereja Katolik belum mengakui kenyataan-kenyataan sejarah yang kurang baik bagi nama baik Gereja.[1] Usaha untuk mempersatukan umat Kristen yang dilakukan oleh berbagai Gereja telah membuka mata Gereja Katolik untuk mulai membuka diri pada dialok dan rekonsiliasi dengan Gereja-gereja di luar Gereja Katolik.[2] konsekuensi dari sikap ini ialah Gereja Katolik harus menghindarkan diri dari sikap monopoli seluruh kebenaran, Gereja harus berani rendah hati demi persatuan yang lebih besar. kerendahan hati Gereja mengakui bahwa sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewartaan dan kegiatan untuk menuju ke arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus.[3]
- Konsili dengan berani mengakui bahwa karunia Roh Kudus telah bekerja dalam diri setiap orang yang berusaha mewujudkan persatuan kristiani.gereja Katolik pada saatnya merangkul saudar-saudari yang terpisah. Sebab berkat iman akan Kristus dan dibaptis dengan sah, mereka berada dalam satu persekutuan dengan Gereja Katolik, sungguhpun secara tak sempurna.[4] Ini menunjukkan suatu komitmen Gereja untuk mengusahakan persatuan yang utuh sebagaimana harapan Tuhan Yesus.
- Pengertian Gerakan Ekumenis
- Secara etimologis kata ekumene berasal dari kata oikoumene (Yunani) yang berarti “dunia yang didiami”, “yang didiami”.[5] Secara teologis Karl Rahner mengartikan kata oikoumene sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan tentang persatuan kristen dan keinginan untuk mencapainya yakni gerakan ekumene.[6] Dan Geriit Singgih mengartikan oikumene sebagai pergaulan dan persekutuan diantara gereja-gereja Protestan berbagai aliran, Ortodoks dan Katolik.[7] Dari pernyataan kedua tokoh ini Rahner maupun Singgih menampilkan pengertian yang mengandung persatuan kristiani.
- Usaha Gerakan Ekumenis
- Cita-cita terwujudnya persatuan semua murid Kristus seperti yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II akan tetap menjadi harapan tanpa relasi apabila tidak ditindak lanjuti, dengan usaha nyata. Untuk merealisasikan persatuan umat kristen. Konsili Vatikan II menyebutkan beberapa tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh setiap insan yang mengaku sebagai Murid Kristus, terutama bagi semua orang Katolik untuk merangkul saudara saudari yang terpisah. Paus Fransiskus telah mebawa angin segar bagi kegiatan ekumenis. Sikap ini penting diambil oleh beliau mengingat beliau sebagai pemimpin tertinggi agama Katolik di satu sisi ini menunjukkan kerendahan hati yang sungguh mulia dan disisi lalin ini menunjukkan suatu kesungguhan untuk menjalin relasi yang serius dalam rangkan mengusahakan persatuan kembali Gereja Kristen. Bukti nyata antusiasme terhadap hadirnya Patriarkh Ortodoks Konstatinopel Bartolomeus I ia hadir dalam upacara inagurasinya sebagai Paus. Ini berlanjut pada rencana pertemuan keduanya di Yerusalem tahun yang sama untuk mengenang 50 tahun jumpa perdana dua primat Gereja Timur dan Barat antara Patriarkh Athenagoras dan Paus Paulus VI pada 1964. Selain itu hadir juga Katolikos seluruh Gereja Armenia, Patriarkh Karenkin II; Batrik Gereja Ortodoks Serbia, Amfilohije Radovic; perwakilan dari Gereja-gereja Episkopal; Uskup Agung Utrecht Belanda dari Gereja Katolik Lama, Mgr. Joris Varcammen; utusan Kirill I, Patriarkh Moskow dan seluruh Gereja Ortodoks Rusia.
- Lalu Paus Fransiskus berturut-turut menerima Uskup Agung Canterbury serta Kepala Gereja Inggris dan Anglikan seluruh dunia, Mgr. Justin Portal Welby (14/6). Paus Gereja Ortodoks Koptik Mesir Aleksandria, sebagai penerus Takhta St. Markus, Tawadros II (10/5); Katolikos Gereja Siro-Malankar, Moran Raselios Martoma Paulose II (2/9)
- Dalam setiap pertemuan selalu terjadi interaksi positif bagi ekumene, bahkan relasi personal diantara dua pemegang Takhta Gereja masing-masing. Inilah jawaban atas realitas umat Kristiani mondial. Berdasarkan The Official Catholik directory 2012, jumlah umat Kristiani menempati posisi tertinggi: 33 persen, yang terdiri dari 17 persen Katolik Roma dan 16 persen berbagai denominasi. Paus Fransiskus merangkul sebanyak mungkin denominasi sebagai saudara demi persekutuan umat Kristiani dunia.[8]
2.3. 1. Menghindari Prasangka
“konsili suci ini mengajak umat beriman, untuk menjauhkan diri dari setiap sikap acak-acakan atau dari semangat tidak bijaksana, yang justru dapat merugikan kemajuan kesatuan yang sesungguhanya.”[9] Maksud konsili di sini adalah umat katolik harus mengambil langkah yang mendukung setiap usaha ekumnenis.
ketulusan dalam menjalin hubungan dengan setiaporang dari Gereja lain sangat mendukung usaha ekumenisme. setiap orang baik itu yang Katolik maupun yang protestan harus mengutamakan sikap saling pengertian dalam menjalin hubungan persahabatan. prasangka yang tidak baik tentang sesama hendaknya dihindari apalagi bila hal tersebut menyangkut iman dan kepercayaan seseorang.contohnya ketika kita melihat suatu praktek ibadah jemaat lain yang tidak sesuai dengan konsep dalam Gereja kita. kita tidak boleh menghakimi atau mengira bahwa praktik tersebut sesat atau menyimpang dari ajaran kristiani yang sebenarnya. untuk memperoleh kejelasan yang benar, maka disinilah dimulainya suatu dialog.
dialog disini bukan mencari pembenaran tentang apa yang kita sangka tetapi suatu sikap persahabatan yang tulus dalam menjalin hubungan dengan jemaat lain. Sikap tulus dan rendah hati adalah kunci jeberhasilan dalam menjalin hubungan dengan jemaat lain.
2.3.2. Mengadakan Dialog
Pada dasarnya kehidupan setiap orang kristiani yang berlandaskan cinta kasih dan persaudaraan akan menampilkan kesaksian mengenai iman yang mereka miliki bersama dan mengenai baptisan mereka ,dalam nama Allah, bapa semua orang, dalam putera-Nya Yesus, penebus semua orang, dan dalam Roh Kudus yang mengubah dan mempersatukan semua berkat kekuatan kasih.[10] Dialog merupakan jantung dari kerjasama ekumenis dan menyertai semua bentuk kerjasama ekumenis.
Tanpa dialog meka mustahil bisa mencapai kesepakan dalam suatu persoalan.[11] Tanpa dialog maka akan sulit untuk mengdentifikasi persoalan-persoalan iman, menemukan kesamaan maupun perbedaan dalam tubuh Gereja dan sulit untuk menemukan jalan keluar jika yang didialogkan adalah sesuatu yang mencakup masalah yang menyankut permasalahan jemaat.
Karena dalam dialog ada unsur mendengarkan maupuan menjawab, sambil berusaha untuk mengerti dan dimengerti. Dialog merupakan suatu kesediaan untuk mengajukan pertanyaan pertanyaan. Dialog juga berarti kesediaan untuk menampakkan diri sendiri dan percaya terhadap apa saja yang dikatakan oleh orang lain mengenai diri mereka sendiri.[12] Disini perlu keterbukaan dari setiap orang yang terlibat dalam dialog. Dalam hal ini gereja terbuka akan apa yang orang lain katakana tentang kita. Karena dengan adanya dialog ekumenis memungkinkan anggota-anggota dari macam-macam Gereja dan Jemaat gerejawi untuk saling mengenal, untuk mengdentifikasi persoalan-persoalan iman dan praktik yang mereka miliki bersama dan titik-titik perbedaan diantara mereka.[13] Dialog bisa memecah kebuntuan dan menghilangkan prasangka diantara para umat sehingga dapat menjalin suatu hubungan yang saling membangun.
2.3.3. Bentuk-bentuk Dialog
Dialog pada dasarnya harus melibatkan semua undur yang ada dalam tubuh Gereja dengan demikian maka semua bisa ambil bagian dan yang menjadi tujuanya adalah tercapainya kesatuan dan kebulatan tekat untuk memulai suatu kesepakatan.hendaknya dialog melibatkan seluruh umat katolik baik perorangan maupun kelompok, dengan berbagai macam latar belakang dan tingkat hidup maka tema uang didialogkanberaneka ragam bobotnya.[14]
Dalam dialog sendiri mengenal beberapa bentuk dialog yang perlu diketahui dan dimengerti. Pertama dialog kehidupan,dialog ini diperuntukkan bagi semua orang dalam menjalani kehidupanya dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.[15] Hidup hendaknya menggambarkan dan menunjukkan jati diri sebagai murid Yesus yang mana dalam kehidupan sehari-hari harus menampakan cinta kasih yang besar kepada siapapun tanpa memandang muka. Kedua, dialog karya, di sini menjalin kerjasama antar Gereja yang lebih intens, dengan tujuan pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia.[16] kerjasama yang demikian akan lebih mengeratkan tali persaudaraan diantara para anggota jemaat dan menumbuhkan rasa persaudaraan yang semakin mendalam. Ketiga, dialog pandangan teologis, ini bagi mereka yang memangku jabatan dan tanggungjawab dalam Gereja yangmemiliki kemampuan teologi. Dalam bidang ini orang-orang tersebut akan bekerjasama menemukan dan menggali kekayaan dan warisan-warisan Gereja demi meningkatkan rasa persaudaraan, dengan ditemikannya berbagai kekayaan teologis tersebut maka akan semakin memupuk rasa saling percaya dan sekaligus menemukan langkah dalam menyikapi persoalan jemaat. Keempat, dialog pengalaman keagamaan, saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing.[17] Pengalaman keagamaan di sini bisa berupa
2.3. 4. Menggalang Kerjasama
Pokok pembicaraan dalam dialog mungkin meliputi suatu bidang yang luas tentang soal-soal ajaran, meliputi suatu suatu jangka waktu yang panjang, atau sebuah persoalan yang dibicarakan dalam kerangka waktu yang terbatas. Mungkin juga yang dijadikan bahan pembicaraan ialah suatu persoalan pastoral atau misioner, yang ingin ditanggapai secara bersama oleh Gereja-gereja untuk membatasi konflik-konflik yang timbul diantara mereka dan untuk memajukan saling tolong menolong dan kesaksian bersama. Untuk beberapa persoalan dialog bilateral mungkin lebih efektif, sedangkan untuk soal-soal lain dialog multilateral memberikan hasil yang lebih baik.[18]
Dialog senantiasa memeberi banyak kemungkinan baik yang akan diperoleh karena dalam dialog setiap orang bisa mengenal lebih dalam apa yang menjadi kelebihan dari setiap orang. Dialog juga secara psikogis akan meningkatkan ikatan emosioonal sehinggga dengan berdialog maka setiap orang akan mampu melihat setiap orang secara subyektif. Dengan timbulnya perasaan ini maka akan tumbuh dalam diri setiap orang bahwa kita ini bersaudara. Kita hendaknya saling menolong dan saling mengerti satu sama lain agar tercapailah kesatuan dalam perasaan dan tindakan. Proses ini kan sangat mendukung dalam dialog jangka panjang, karena orang akan semakin mengenal dan bersahabat. Setelah tercapainya sikap saling mengerti maka dimulailah untuk mengadakan kerjasama dalam karya. Kerjasama disini bisa meliputi karya bersama dalam Kitab Suci, misalnya penerjemahan dan penafsiran bersama Kitab Suci, sehingga menciptakan keseragaman dalam terjenahan dan tafsiran. Ini bisa menumbuhkan kerja sama antar Hereja-hereja dan jemaat-jemaat dalam karya missioner, katekese dan pendidikan agama, begitu pila dalam doa dan studi.[19] Bekerjasama dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi, kerja sama ini akan membantu orang-orang kristiani untuk secara bersama menghadapi soal-soal intelektual yang dihadapi oleh para pria dan wanita pada jaman sekarang ini, berdasarkan sumber kebijakan kristiani serta pengalaman yang similiki bersama oleh orang kristiani.[20]
- 2.4. Hambatan-hambatan Gerakan Ekumenis[21]
- Hambatan paling besar adalah bahwa pimpinan-pimpinan gereja sendiri, termasuk yang berada di dalam struktur kepemimpinan PGI, seringkali tidak konsisten dalam menjalankan keputusan-keputusan diatas.[22] Kesatuan gereja adalah masalah hati, perbedaan-perbedaan yang muncul dari perkembanga tradisi masing-masing dan tidak memiliki bobot teologis-biblis yang kuat, dengan tenangnya disisihkan saja. Sebaliknya sesuatu yang memiliki bobot teologis-biblis yang kuat, meskipun tidak berasal dari tradisinya, dengan tenang diambil alih dan diterima. Supaya kebersamaan dihayati, seringkali diperlukan kreativitas.
- 2.4.1. Hambatan dalam Penghayataan Kehidupan Praktis
- Kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di dalam penghayatan praktis umat Katolik dan Protestan tidak perlu disangkal. Tom Jacob misalnya menyebut 8 perbedaan kesan lahir sebagai berikut.
- 1. pada Katolik hubungan dengan Dereja menentukan hubungan dengan Kristus; pada Protestan hubungan dengan Kristus menentikan hubungan dengan Gereja.
- 2. pada Katolik secara hakiki bersifat hierarkis (dari Kristus); pada Protestan segala pelayanan di dalam Gereja diciptakan oleh mausia (Tradisi).
- 3. pada Katolik Allah bersatu dengan kita dalam rupa manusiawi; pada Protestan Allah transenden dan Gereja sejati tidak kelihatan.
- 4. Pada Katolik tekanan pada sakramen; pada Protestan tekanan pada sabda/pewartaan.
- 5. pada Katolik imam kultis yang mempersembahkan kurban (Ekaristi); pada Protestan pendeta profetis yang menyampaikan Sabda Allah.
- 6. pada Katolik Kitab Suci dibaca dan dipahami dalam umat dipimpin oleh hierarki; pada Protestan masing-masing orang membaca dan mengaitkan Kitab Suci sendiri.
- 7. Pada Katolik lebih mementingkan perasaan, kesenian, dan kehangatan; pada Protestan lebih menekankan pada pengetahuan, ilmu, dan ketegasan.
- 8. Pada Katolik agama kontemplasi (memandang); pada Protestan agama iman (mendengarkan).[23]
- Dari poin diatas bisa dilihat betapa fundamentalnya pandangan antara Katolik dengan Protestan
- 2.4.2. Hambatan Nonteologis
- Michael Amaladoss menegaskan bahwa penghambat dalam kerjasama antar agama tidak selamanya berasal dari pihak agama. sering hambatan itu bersifat ekonomis, sosial-psikologis, historis, budaya, dan politis. Agama Cuma sering dipakai sebagai mantel untuk menutupi alasan-alasan lain yang lebih atau kurang pantas. Dalam konteks persatuan Kristen hambatan nonteologis seringkali menjadi hambatan yang turut mendukung terciptanya perpecahan Gereja. Sikap fundamentalis sekte-sekte dalam tubuh Gereja merupakan faktor penghambat terbentuknya persatuan.[24]
- Dari kutipan di atas mau menunjukkan bahwa persoalan yang menghalangi usaha ekumene tidak melulu persoalan teologis, sekali lagi ini masalah hati,[25] didalamnya pasti ada kepentingan atau orang-orang yang akan dirugikan sehingga tidak mengherankan jika banyak kerjasama yang tlah dibetuk akhirnya jalan ditempat bahkan berhenti tanpa hasil. Didalamnya ada suatu usaha untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaan baik yang besifat kelembagaan maupun pribadi oleh tokoh-tokoh pimpinan Gereja-gereja, ditambah dengan masalah historis yang menyangkut konflik etnis yang terkait dengan masalah politis merupakan permasalahan tambahan yang menghambat tercapainya kesatuan yang nyata Gereja sedunia.[26] Witness Lee dan juga HAK KWI menyebut lima faktor nonteologis yang menghambat persatuan antara lain: a) perselisihan atau salah paham perseorangan, b) tidak taat pada pimpinan atau pada anggaran dasar gereja, c) mencari kedudukan atau keuntungan materi pribadi, d) perbuatan tidak senonoh, e) sejarah masa lalu.[27] dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa persatuan tidak akan terwujud jika setiap orang atau aliran menyimpan prasangka terhadap kelompok lain, ketidak taatan pada keputusan pimpinan seperti keputusan sinode para uskup atau para imam yang menganjurkan kepada setiap jemaat agar semakin mengusahakan dialog dengan Gereja lain. Bagi yang Protestan tidak taat pada hasil keputusan sidang para penatua Gereja yang menganjurkan para jemaatnya agar semakin meggalakkan dialog dengan jemaat Gereja lain. Mencari kedudukan dan keuntungan pribadi, ini merupakan sikap yang bertentangan dengan Roh persatuan, meski ini terdengar tabu pada kenyataannya masih banyak orang yang enggan bersatu karena sudah merasa nyaman dengan keadaannya saat ini, biasanya orang-orang demikianlah yang sering secara langsung atau tidak langsung berusaha menghalangi persatuan. Di sini perlu ketulusan dan kerelaan dalam menerima segala konsekuensi yang terjadi.
2.4.3. Hambatan Teologis
Hambatan teologis dan structural yang paling mendasar dalam perwujudan Gereja yang tunggal adalah perbedaan dalam sakramen baptis, sakramen ekaristi dan sakramen imamat. Dua yang terakhir lebih sulit dan rumit dibandingkan dengan sakramen Baptis. Sakramen baptis hanya berbeda sopal permandian anak-anak dan permandian dewasa. Persoalan yang paling ramai dibicarakan tetapi tidak mendapat hasil adalah soal sakramen Ekaristi. Gereja Protestan mempersoalkan beberapa ajaran Katolik yang berhubungan dengan Ekaristi [….] hal yang sama sulitnya dengan ekaristi adalah soal imamat jabatan dalam Gereja Katolik. Bagi orang Katolik succesio apostolica termasuk hakekat Gereja. Bagi Protestan ini adalah melulu pelaksanaan duniawi.
Orang Protestan menganggap bahwa jabatan seorang imam atau uskup bukan sebagai kuantitas jabatan penilikan dan bukan mutlak dipegang oleh uskup. Selain aspek institusional yang telah disebut di atas aspek kenabian juga menghalang persatuan Gereja. Penekanan yang mengutamakan SabdaAllah membuat Gereja tertentu tidak memperhatikan aspek lain. Penekanan aspek kerygmatia ini oleh pihak protestan. Sebaliknya Gereja Katolik mengutamakan aspek sakramen dan segi sakramen.[28] Masalah pokok yang menghalangi usaha ekumenis adalah penggunaan eklesiologi tertentu oleh salah satu Gereja mengakibatkan penekanan berat sebelah dalam memaknai Gereja yang adalah misteri.[29]
Persoalan diatas menjadi bahan perselisihan yang hangat terutama dengan Gereja hasil Reformasi.[30] Disini bisa dilihat bagwa salah satu penghambat tercapainya persatuan disebabkan juga oleh berbagai persoalan doktriner dan historis mengenai Gereja, sakramen-sakramen dan tabisan imam. Semua permasalah yang telah ditunjukkan diatas semuanya bisa menjadi penghalang untuk mewujudkan kesatuan Geeja yang dicita-citakan, Gereja yang tunggal.
3. Kesimpulan
Secara teologis, harapan adalah kebajikan yang membuat manusia mendambakan kerajaan surga dan kehidupan kekal dengan mengandalkan keyakinan akan janji-janji Kristus dan bukan mengandalkan kekuatan kita.[31]
- Kesatuan Gereja adalah persoalan hati. Betapa seringnya kita melupakan hal ini. Namun supaya tidak salah paham, maksudnya bahwa masalah hati bukanlah masalah perasaan yang bersifat emosional. Sama seperti cinta kasih yang sejati tidak bisa kekal kalau hanya bersifat emosional saja, demikian pula kesatuan Gereja tidak bisa hanya dilakukan pada taraf emosional.[32] Kesadaran membangun persatuan semua murid Kristus melalui usaha dan kegiatan ekumenis yang sudah dijalani sekian banyak tahun telah membawa hasil dalam beberapa bidang seperti adanya keterbukaan, doa bersama, kerrjasama, dialog terutama dikalangan pemimpin Gereja. Di balik keberhasilan itu masih ada persoalan fundamental yang menghambat. Persatuan Kristen. Hambatan tersebut non-teologis dan bersifat teologis. Untuk menghadapi hambatan-hambatan tersebut dibutuhkan kesabaran dan kekuatan yang berasal dari Roh Kudus. Dan bagi orang Katolik Konsili Vatikan II mengundang untuk tetap mendukung Gerakan ekumenis.[33] Menurut penulis pemisahan resmi Katolik dan Protestan lebih banyak melemahkan daripada menguatkan kita, baik ditinjau dari segi iman maupun dari segi praktis. Penulis juga melihat bahwa pembicaraan mengenai persatuan dilakukan ketika ada persoalan yang nyata dalam hidup bermasyarakat. Setiap orang Kristen harus menumbuhkan kesadaran dalam dirinya bahwa kesatuan Gereja itu perlu diwujudkan bukan karena adanya pihak yang dirugikan atau ancaman dunia melainkan didasarkan pada Kehendak Kristus.[34] Kita dituntut untuk maju dalam usaha ekumenis ini namun yang dihadapi sekarang adalah situasi sosial poltik yang serig masuk dalam ranah kehidupan beriman jemaat. Adanya politik identitas di kalangan penganut agama turut andil dalam menyulitkan usaha-usaha ekumenis.
- Partisipasi seluruh anggota Gereja Katolik dalam mendukung gerakan ekumenis merupakan sumbangan besar dan penuh makna dalam rangka mewujutkan persatuan kristiani.[35] Kita bisa melihat bahwa apa yang telah dirintis oleh Gereja Katolik dalam usaha ekumenis banyak nilai positifnya yang lahir. Segala sesuatu butuh proses untuk sampai pada tujuan utama. Dalam hal mengusahakan persatuan Gereja Kristus. Setiap kesepakatan hendaknya dijaga jangan sampai dilanggar atau dihilangkan dengan berbagaimacam alasan. Sekali lagi bahwa kesadaran akan persatuan itu bukan didasarkan pada kehendak manusia atau ancaman dunia melainkan kehendak Tuhan Yesus sendiri.[36]
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Enggo, Yulianus, Gerakan Ekumenis Sebagai Jalan Menuju Kepenuhan Kesatuan Gereja Kristus, Tesis, Malang: STFT Widya Sasana, 2003.
Hardiwikara, j., (penerj), Pedoman pelaksana prinsip-prinsip dan norma-norma ekumenisme, (Dewan Kepausan Untuk Persatuan Kristiani), Jakarta: Dokpen KWI, 1994.
Sumber Pendukung:
Jacobs, Tom, “Katolik dan Protestan Sekarang ini.” Dalam buku iman Katolik, buku informasi dan Referensi KWI, Jogjakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
Nugroho R.B.E. Agung, Paus Fransiskus: Animator Perdamaian Dunia, Dalam: Paus Pembawa Perubahan, Majalah Hidup Jakarta: Percetakan Gramedia, 2014.
Paulus, Yohanes, Ut Unum Sint (penerj.), R. Harda wiryana, Dokpen KWI, Mardi Yuana, Bogor, 1996.
Singgih, E. Geriit, Tantangan Dan Perkembangan Gerakan Oikumene Di Indonesia, dalam; Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 1997.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H