PENGANTAR
Kodrat manusia bukan hanya rasional tetapi juga relasional.[1] Relasi manusia dengan sesamanya adalah suatu komunikasi dalam hidup sehari-hari. Kedua subjek berada dalam zona komunikasi timbal balik. Manusia tidak hanya mempunyai rasionalitas saja tetapi ia juga menggunakannya untuk berelasi dengan sesamanya. Aku (subjek) menjadi eksistensi yang mengelola, menjaga keberadaanku dan keberlangsunganku dalam hidup. Demikian juga dengan sesamanya manusia. Keduanya adalah manusia-manusia yang menjadi.[2]Saat Aku dan sesamaku berkomunikasi, saat itu tercipta “kami” (we). Kami bukan perpaduan antara aku dan sesamaku, melainkan “keberadaan bersama”.[3] Pertanyaan mendasar dalam menjelaskan relasionalitas dalam konteks di dunia kerja adalah siapa itu sesamaku? Apakah sesamaku itu adalah dia yang memiliki kesamaan dengan diriku yaitu kesamaan dalam hal agama, suku, jabatan maupun ras? Apakah orang yang berbeda dengan diriku bukanlah sesamaku? Pertanyaan itulah yang menjadi persoalan besar yang dihadapi kita di Indonesia dalam mengerti siapa itu sesamaku (Liyan).
ASAL-USUL LIYAN
Untuk menjelaskan asal-usul Liyan saya mengutip tulisan dari Romo Armada dalam bukunya yang berjudul Relasionalitas.
“The Other” tidak ada (atau, tidak mungkin ada) dalam filsafat Timur. Dalam metafisika Timur tidak memberikan posibilitas bagi kehadiran sosok yang disebut Liyan. Konsep tentang Liyan dimulai dari episode rasionalitas yang bernama politik. Dalam politik disajikan peluasan segala aspek keutamaan dan prinsip-prinsip tata hidup bersama. Tetapi, dalam politik itu manusia menjadi terbagi, terdistingsi, dan pada saat yang sama juga tereduksi makna kehadirannya.[4]
Dalam penjelasan Romo Armada, jelas sekali bahwa sosok Liyan merupakan sosok yang dianggap tidak ada atau tidak mungkin ada. Bahkan metafisika timur tidak memberikan ruang bagi hadirnya sosok Liyan. Bahkan konsep tentang Liyan muncul diawali dari episode rasionalitas yaitu politik. Konsep tentang Liyan muncul ketika Plato menyebut polis dengan lapisan-lapisan masyarakat, seperti pemimpin, militer, dan produsen, mereka ini yang disebut sebagai warga negara sedangkan wanita dan anak-anak tidak termasuk warga negara. Apalagi, para budak dan orang asing. Dalam bahasa saat ini, kehadiran perempuan, anak-anak, para budak dan orang asing sejauh tidak terlibat dalam tata kelola hidup bersama, merupakan kehadiran Liyan. Mereka adalah orang lain, bukan bagian dari “the self”-nya polis.
Romo Armada lebih lanjut menuliskan asal-usul Liyan dalam bukunya Relasionalitas yang dikutipnya dari buku Aristoteles seperti demikian.
Aristoteles dalam bukunya, Politics, juga berkata bahwa dari kodratnya manusia terdiri dari the ruling and the ruled. Dalam bukunya ini, ia tidak sedang menjelaskan tentang stratifikasi manusia dalam politik, tetapi ia menggagas kodrat dari polis yang identik dengan kodrat manusia. Artinya, jika di dalam polis kita jumpai ada sekelompok manusia yang memerintah, mengatur, memiliki kekuasaan dan juga ada sekelompok manusia yang diperintah, diatur, dan memiliki sekadar kekuatan fisik belaka; maka, halnya selaras pula dengan kodrat manusia, yaitu ada yang dilahirkan sebagai kelompok the ruling dan ada yang termasuk the ruled.[5]
Berdasarkan pemikiran Aristoteles dalam bukunya, Politics, Romo Armada menyimpulkan bahwa Liyan berasal dari kodrat the ruled atau orang-orang bawahan yang selalu diatur dan dipimpin, karena mereka adalah sekelompok manusia yang hanya sekadar memiliki kekuatan fisik belaka. Dalam filsafat Aristotelian ini Romo Armada mengatakan bahwa Liyan menjadi jelas kedudukannya karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup bersama. Apalagi, yang disebut warga negara adalah mereka yang diberikan dengan segala fasilitas ruang pengetahuan dan waktu luang. Artinya, warga negara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan kapasitas manusiawinya, sementara Liyan berada dalam wilayah pinggiran.
KESADARAN “AKU” SUBYEKTIF
Kesadaran “Aku” merupakan asal-usul dari pengetahuan manusia. Romo Armada Riyanto dalam buku yang berjudul Relasionalitas mengatakan bahwa konsep “Aku” adalah konsep subjektivitas. Menurut Romo Armada, subjektivitas identik dengan kedalaman, keterlibatan, keberadaan, eksistensi. Inilah yang disebut dengan permulaan filsafat “Aku”.
Dalam buku Relasionalitas Romo Armada Riyanto mengutip salah seorang filsuf yang bernama Gottlieb Fichte yang sering menyebut kata “Aku” dengan huruf kapital untuk menyebut “Aku absolut” yang merupakan prinsip etika. Dia adalah seorang filsuf yang memiliki pemikiran idealis, yang memandang realitas hidup dalam keseluruhannya. Fichte juga adalah seorang filsuf yang memandang bahwa refleksi tentang “Aku” identik dengan “tindakanku” (Wissenschaftschlehre nova methodo, 1796).[6] Kesadaran tentang “Aku” merupakan kesadaran tentang keberadaanku dan tindakanku.
Romo Armada menuliskan dalam buku Relasionalitas bahwa filsuf Fichte menyebutkan bahwa kesadaran absolut “Aku” menjadi fondasi segala perbuatan etis. Kesadaran ini melampaui pengalaman apa pun. Kesadaran akan “Aku bukan sebuah kesadaran dangkal dan formal, melainkan mendalam natural dan relasional. Apabila kita hanya menyadari nama dan asal-usul keluarga atau tempat kita dilahirkan, maka kesadaran itu bukanlah kesadaran akan “Aku”. Kesadaran itu hanyalah pengetahuan informatif tentang siapa diri kita. Bila kita menyadari kelemahan dan kekuatan diri sendiri, itu pun belum bisa disebut kesadaran akan “Aku”. Karena itu hanyalah pengenalan ciri atau karakter fisik seputar itu saja. Serta apabila aku menyadari Aku adalah bagian dari agama tertentu dan dalam kebudayaan tertentu, kesadaran tersebut hanyalah memandang diri sebagai bagian dari kelompok mayoritas atau kelompok massal saja. Esse (Being) merupakan kesadaran akan “Aku” dalam realitas “mengada”-ku. Hidupku itulah “Aku”. Perbuatanku itulah “Aku”. Dan relasi-relasiku itulah “Aku”.
MENGENAL DIRI
Apakah yang dimaksud know yourself? Secara sosiologis kita terbiasa untuk mengidentifikasi diri sendiri sebagai bagian dari societas. Dan, karenanya kita “terikat” oleh apa-apa yang berlaku dalam societas. Secara psikologis kita diajar untuk pandai mengendalikan kelemahan atau kekurangan dan kekuatan diri sendiri.[7] Setelah mengenal siapa diri kita sebenarnya, maka tahap berikutnya adalah menerima dan merealisasikan diri sehingga menjadi pribadi yang utuh dan otentik[8]. Orang yang mengenal diri sendiri adalah orang yang sampai pada kebenaran bahwa kepenuhannya tidak terletak pada dirinya, melainkan justru pada kebijaksanaan yang berasal dari dewa.[9] Proses mengenal diri sendiri itu berliku. Berliku karena kehidupan itu sendiri memiliki tiga lapisan. Lapisan pertama adalah citra diri kita (self image). Ini adalah apa yang kita tampilkan secara sosial, apa yang ingin kita tampilkan keluar, dan menyangkut penilaian orang lain terhadap diri kita. Lapisan kedua adalah konsep diri (self concept). Konsep diri ini menyangkut apa penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Namun, ada lapisan kita yang lebih dalam, yakni jati diri (true self), diri kita yang sesungguhnya (Martin, 2012:22).
Menurut Romo Pius Pandor tiga lapisan tersebut adalah citra diri, konsep diri, dan jati diri merupakan tiga lapisan penting dalam kehidupan kita. Hal ini berkaitan dengan penilaian orang lain, dan diri sendiri tentang siapa kita sesungguhnya. Jika ditelusuri lebih cermat rupanya ketiga lapisan tersebut berkaitan dengan pengenalan akan diri sendiri. Pengenalan akan diri sendiri merupakan pintu masuk menuju kebijaksanaan. Berkaitan dengan hal ini Romo Pius menjelaskan tentang mencari kebijaksanaan dalam mengenal diri yang berasal dari Yunani, bahwa di pintu masuk kuil Apollo di Delphi tempat orang Yunani mencari kebijaksanaan terpampang tulisan, Gnothi seauton, Meden agan—“kenalilah Dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan”. Orang yang tidak memiliki pengenalan akan diri sendiri, akan mudah jatuh pada apa yang tampaknya benar (tetapi sesungguhnya itu sebuah kepalsuan) yang berasal dari diri sendiri.[10]
Dalam hidup sehari-hari, kita juga sering berhadapan dengan berbagai pertanyaan tentang manusia. Siapakah manusia itu? Mengapa manusia ada di dunia? Mengapa manusia menderita? Ke mana manusia berlangkah? Siapakah sesamaku manusia? Dan seterusnya. Berhadapan dengan aneka pertanyaan tersebut, kita biasanya lebih mudah menjawab pertanyaan siapakah orang lain dari pada diri kita sendiri. Dengan pengenalan tersebut, kita lalu menasihati orang lain agar bertindak menurut tata aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ketika menasihati orang lain, kita merasa bahwa kita sudah sempurna, apalagi jika kita punya otoritas untuk melakukannya seperti penguasa, pemuka agama, pemuka masyarakat, guru, orang tua, dan sebagainya. Menasihati orang lain memang menjadi tanggung jawab moral yang harus dijalankan menurut peran yang dipercayakan kepada kita, tetapi alangkah lebih baik jika kita mengenal diri sendiri sebelum menasihati orang lain.
Dengan mengenal diri sendiri, kita dapat memasuki tahap selanjutnya yaitu mengenal orang lain. Bagaimana kita dapat mengenal orang lain apabila kita tidak mengenal diri sendiri? Dan bagaimana kita dapat mencintai orang lain apabila kita tidak mencintai orang lain? Apalagi mencintai Liyan (Yang Lain/Yang Terpinggirkan).
MENGENAL YANG LAIN (LIYAN)
Berelasi langsung dengan yang lain berarti tidak memperlakukannya sebagai sebuah objek. Berelasi dengan yang lain adalah berada bersama dengan yang lain tersebut. Dan keberadaan merupakan hal yang tidak dapat dikomunikasikan. Misalnya, aku dapat bercerita mengenai eksistensi, tetapi aku tidak membagikan eksistensiku. Hal sosial itu melampaui ontologi (Emmanuel Levinas, 2008:89).[11]
Pada penjelasan sebelumnya tentang mengenal diri sendiri dikatakan bahwa aku dapat mengenal diri sendiri dengan lebih baik dan mendalam berkat kehadiran orang lain. Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang diri sendiri sesungguhnya serentak juga kita berbicara tentang orang lain. Pembicaraan tentang orang lain merupakan konsekuensi logis dari kodrat kita sebagai makhluk sosial. Ciri sosialitas ini memungkinkan kita berkembang menjadi manusia yang lebih otentik. Dalam usaha untuk berkembang menjadi manusia yang lebih otentik, langkah pertama adalah pengenalan. Dalam konteks ini, mengenal orang lain berawal dari perjumpaan antarpribadi, antara aku dan engkau. Ketika berhadapan dengan yang lain, ada dua kecenderungan yang muncul dalam diri kita, yaitu penasaran dan apatis. Rasa penasaran mendorong kita untuk mendekati yang lain sedangkan apatis mendorong kita untuk menjauhinya. Apabila kita ingin mengenal orang lain secara lebih mendalam, pilihan untuk “mendekat” merupakan sebuah keharusan.
Dalam memahami yang lain dalam keberlainannya, kita cenderung mengambil jarak terhadapnya. Kehadirannya dianggap sebagai ancaman dan kenyataan ini bisa dianggap yang lain sebagai objek. Menurut Levinas, jarak tersebut sebenarnya bukanlah sebagai ancaman, tetapi justru merupakan ruanG etis, ruang yang memungkinkan aku diundang untuk bertanggung jawab atas yang lain tersebut. Dengan menampilkan pengertian yang lain ini, kita diantar untuk memahami konsep etika Levinasian. Kalau etika selalu menyangkut relasi antara aku dan orang lain, dalam relasi ini yang lain secara konkret dapat diterjemahkan sebagai orang yang ada di hadapan kita, menantang dan menggugat aku.
RELASI INTERSUBJEKTIF
Apa itu relasi intersubjektif? Kata Intersubjektif merupakan kata sifat yang mengatakan relasi antarsubjek. Subjek memiliki kodrat relasionalitas. Artinya, manusia memiliki pengalaman pesona tersendiri, karena merupakan sebuah produk relasi dengan sesamanya. Dalam relasi subjektif, harus diandaikan produk yang dihasilkan memiliki karakter intersubjektif.
Paradigma intersubjektif memaksudkan kodrat kesederajatan dari para subjek yang sedang berelasi. Kesederajatan yang dimaksud bukan semata-mata dalam atribut sosial yang ada, melainkan dalam konsep kemanusiaan. Yaitu, bahwa manusia siapapun harus diperlakukan, dihormati, diindahkan secara sama dengan manusia yang lainnya. Intersubjektif tidak bisa dibayangkan dalam ketidaksederajatan. Ketika relasi intersubjektif tidak ada, di sana terdapat ketidak-adilan yang nyata atau perendahan kemanusiaan yang sungguh harus ditolak.
Relasi intersubjektif selalu memproduksi suatu pengetahuan baru. Mungkin relasi antara politikus yang berkampanye dengan warga pemilihnya dapat dikatakan relasi intersubjektif jika relasi itu tidak hanya berhenti di lapangan kampanye dan di media massa.[12]Sebab, politikus pasti tidak mungkin mampu mendengarkan pengalaman subjektif dari para pendukungnya yang sangat banyak. Tetapi, ada kalanya, perjumpaan mereka terjadi dalam konteks yang lebih kecil dan sehari-hari di suatu tempat yang sederhana sedemikian rupa sehingga dapat terjadi bahwa perjumpaan itu adalah perjumpaan relasi intersubjektif. Dalam kasus perjumpaan politikus dengan beberapa pendukungnya, perjumpaan itu dapat menghasilkan pengetahuan yang berguna untuk kebijakan pembangunan atau pertimbangan visi misi publik dari politikus.
Salah satu contoh relasi intersubjektif yang dilakukan oleh politikus terhadap pendukungnya adalah presiden Jokowi yang mengadakan blusukan ke tempat-tempat publik dan ke rumah-rumah warga maupun pergi ke suatu tempat yang struktur pembangunan yang belum maju. Di situ presiden Jokowi berelasi secara intersubjektif terhadap masyarakat Indonesia dan hasil dari perjumpaannya tersebut terhadap masyarakat Indonesia dia memiliki suatu pengetahuan yang berguna untuk kebijakan pembangunan dan mengembangkan visi misi ke depan untuk membuat Indonesia jadi lebih baik. Namun, harus dibedakan antara “pengetahuan intersubjektif” dengan “kesepakatan dari para subjek”. Pengetahuan intersubjektif tidak sama dengan kesepakatan. Dan, sering kali pengetahuan intersubjektif juga tidak, dari sendirinya, merupakan suatu bentuk kesepakatan. Sementara “kesepakatan para subjek” kerap merupakan gambaran formal dari perjumpaan atau diskusi para subjek.
Seperti yang dijelaskan tentang relasi intersubjektif di atas, bagaimana relasi intersubjektif dengan Liyan (The Other/Yang Lain)? Siapa itu Liyan dalam konteks di Indonesia? Bagaimana kita berelasi dengan Liyan? Relasi intersubjektif merupakan relasi antarsubjek yang di mana “Aku” sebagai subjek menghormati, menghargai, dan mencintai sesamaku (Liyan). Dalam artian ini Liyan tidak lagi dianggap sebagai yang lain, melainkan dia yang memiliki kesamaan derajat dengan “Aku” sebagai subjek. Liyan tidak lagi dianggap sebagai objek.
LIYAN DALAM KONTEKS DI DUNIA KERJA
Konsep tentang Liyan seperti yang dijelaskan oleh Romo Armada Riyanto dalam bukunya yang berjudul Aku dan Liyan bahwa Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti bahwa mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran pengelolaan tata hidup bersama).[13]Liyan juga menampilkan realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan kepunyaannya dan hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya. Dalam bagian ini penulis mau mendalami relasi inter subyektif antara aku dan liyan dalam dunia kerja. Dalam kontek di dunia kerja Liyan adalah gambaran para buruh yang mengalami ketidakadilan dari pihak yang mempekerjakan mereka maupun regulasi yang memberatkan buruh.
[…] makna kerja melampaui persoalan kelangsungan hidup atau mencari sesuap nasi. Kerja merupakan momen atau aktivitas untuk menumbuhkan dan mengolah kodrat universal manusia. Kodrat universal manusia terletak universalitas, sifat yang umum, keseluruhan. Seorang pelukis, pemain musik, pesepak bola, pematung mengerti dan sadar akan bakat masing-masing manakala melihat hasil karya sendiri secara utuh.[14]
Liyan dalam konteks di dalam dunia kerja adalah mereka yang terpisah, terpinggirkan, dan hidup dalam keterbelengguan oleh kekuasaan orang lain. Dalam praktiknya pembahasan semua aturan yang mengatur ketenaga kerjaan selalu dibahas tertutup oleh para pemangku kekuasaan tanpa melibatkan para buruh atau instansi yang memayungi mereka. Contoh nyata seperti pembahasan UU Cipta Kerja yang mana oleh pihak buruh keputusan tersebut dikhawatirkan mengancam hak dan perlindungan para pekerja[15]
Penderitaan para pekerja tenggelam oleh prestasi pemerintah yang berhasil menigkatkan perekonomian, dibalik decak kagum melihat pembangunan dan perkembangan dewasa ini, ada Liyan yang tak didengar suaranya, tak diperhitungkan keberadaannya. Liyan-liyan ini hanya menjadi obyek ekploitasi bagi kepentingan segelintir orang. Konsep Liyan jenis inilah yang aku pandang paling telak dari degradasi relasionalital manusia dalam hidup sehari-hari. Dan, sayangnya itu nyata. Liyan sebagai “orang ketiga” memiliki stories yang mengatakan derita orang yang tersisihkan. Orang ketiga dalam struktur gramatika bahasa, apabila dibawa keranah kehidupan sehari-hari menjadi emblem ketertindasan dan keterpurukan.[16]
Tingkat keparahan tersingkap jelas dalam situasi dan kondisi hidup anatara kaum buruh dan kelas pemodal, kekuatan daya tawar menawar dan partisipasi kelas pekerja dalam pengambilan keputusan, baik menyangkut aspirasi pribadi maupun roda perusahaan seluruhnya.[17]
Dalam sejarah Indonesia, masyarakat Indonesia memang pernah menjadi Liyan oleh para penjajah seperti Belanda dan Jepang. Namun, sekali lagi pada zaman modern seperti sekarang ini yang memberikan kemudahan dan kenyamanan pada masyarakat di Indonesia masih tetap ada Liyan (orang yang terpinggirkan) misalnya para buruh. Salah seorang filsuf yang menjelaskan tentang filsafat modern atau modernitas adalah Cartesius dalam filsafat Cartesian Cogito ergo sum mendeklarasikan akal budi sebagai dewa. Rasionalitas adalah kriterium untuk apa yang disebut human being. Ilmu pengetahuan dengan sendirinya mendapatkan kekuatan atau energinya. Bahkan Francis Bacon berkata, science is power yang berarti ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Definisi kekuasaan adalah definisi rasional.[18]
Lalu, bagaimana kita mengerti tentang Liyan dalam peradaban modern di Indonesia? Ketika modernitas identik dengan rasionalitas, dan rasionalitas terkait dengan ilmu, dan ilmu adalah kekuasaan, maka Liyan adalah mereka yang terpinggirkan. Liyan menempati wilayah pinggiran kehidupan. Liyan identik dengan keterbelakangan. Contoh orang-orang yang menempati wilayah pinggiran kehidupan dan memiliki keterbelakangan yang ada di dalam dunia kerja adalah para buruh dan pekerja. Dalam dunia kerja sering kali Liyan (orang lain) terwujud dalam sosok-sosok yang tersisih, tertindas dan terpinggirkan. Mereka terpinggirkan oleh karena suatu kenyataan, misalnya mereka adalah orang yang berpendidikan rendah, asing atau pengungsi atau orang miskin atau orang-orang terhukum atau orang-orang yang tersingkir karena alasan ideologis atau kebudayaan tertentu.[19]
Dalam konteks di dalam dunia kerja, orang lain atau Liyan adalah mereka yang tidak menjadi ‘tuan’ atas hidup mereka sendiri. Sebagai contoh, orang-orang yang bekerja di pabrik-pabrik. Mereka tersingkir dari kebijakan perusahaan. Mereka hanya menjadi pekerja yang harus mengerjakan apa yang telah diputuskan oleh perusaan. Mereka menjadi manusia-manusia yang tidak hanya terasingkan dari hidup dan duni kesehariannya, melainkan mereka menjelma menjadi sosok-sosok ‘yang tidak diketahui’ dari konteks rumah kulturalnya sendiri.
Saat manusia tersingkir dari kehidupan yang wajar sebagai manusia (menjadi Liyan), manusia itu bukan hanya mengalami ‘proses menjadi’, melainkan mengalami yang namanya proses ‘lenyap’. Manusia tidak lagi berada dalam performa elaboratif, melainkan menderita ‘dehumanisasi’ atau menjadi bukan manusia. Jadi, Liyan dalam konteks dunia kerja di Indonesia adalah dia atau mereka yang berada dalam zona ‘dehumanisasi’ atau bukan manusia. Dehumanisasi bukan semata-mata perendahan martabat manusia, melainkan pertama-tama mengatakan keseharian yang tidak lagi menjadi miliknya. Dan, karena kesehariannya tidak lagi menjadi kuasanya, hidupnya tidak lagi menawarkan kemungkinan-kemungkinan. Yang ada hanyalah keterancaman menuju kelenyapan diri.
KESIMPULAN
Paradigma relasi intersubjektif memaksudkan kodrat kesederajatan dari para subjek yang sedang berelasi. Kesederajatan yang dimaksud bukan semata-mata dalam atribut sosial yang ada, melainkan dalam konsep kemanusiaan. Dalam kontek dunia kerja antara pengusaha dan pekerja saling mendapat keuntungan. Hak para pekerja harus dihormati sebagai pribadi yang juga memiliki tujuan hidup. Dengan kata lain manusia siapapun harus diperlakukan, dihormati, diindahkan secara sama dengan manusia yang lainnya. Intersubjektif tidak bisa dibayangkan dalam ketidaksederajatan. Ketika relasi intersubjektif tidak ada, di sana terdapat ketidak-adilan yang nyata atau perendahan kemanusiaan yang sungguh harus ditolak. Jika terjadi ketidak-adilan mustahil akan lahir kebenaran dalam setiap hubungan. Dari situ akan timbulah penghisapan dan perbudakan liyan. Relasi intersubjektif menjelaskan kebenaran bahwa setiap manusia yang berelasi adalah pribadi yang memiliki pengalaman kontributif terhadap komunitasnya yang berarti relasi ini ada timbal balik dari kedua belah pihak. Relasi intersubjektif mengandaikan suatu bentuk kedalaman relasional.
Dalam konteks relasi intersubjektif Aku dan Liyan di dalam dunia kerja, kita dapat menyimpulkan bahwa orang lain atau mereka yang dianggap sebagai orang ketiga seperti para buruh perlu mendapatkan perhatian, perlu dirangkul dengan tulus tanpa ada pengkotakan. Kita harus menjadikan semua pekerja sebagai partner dalam bekerja. Hendaknya semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun pihak perusahaan memperhatikan kepentingan para pekerja agar mereka tidak hanya menjadi sapi perah dalam perusahaan. Relasi intersubjektif merupakan relasi yang menjadikan Liyan sebagai subjek dan bukan lagi objek. Aku dengan dia (Liyan) memiliki kesederajatan. Kita juga harus memiliki cinta relasional dengan Liyan.
Cinta adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang, tak peduli latar belakang, kebudayaan, atau agama mereka. Cintalah yang menjadikan semua orang, seperti ucapan Rumi, “teman seperjalanan dalam pengembaraan hidup.” Setiap orang […] memiliki kebutuhan yang sama yang juga anda miliki, yaitu untuk diterima dan dicintai.[20]
Dalam cinta antara aku dan Liyan tidak pernah sepihak, melainkan aku dan Liyan sama-sama saling mencintai. Cinta tersebut adalah pengenalan terus-menerus kesadaran Aku dan kesadaran akan eksistensi Liyan. Cinta tidak lagi berdasarkan egoisme (aku yang patut dicintai) dan menghancurkan yang lain/Liyan (yang tidak layak dicintai). Dengan kata lain lepas dari identifikasi diri atau berelasi dengan orang lain tanpa ego atau tanpa diri.[21] didorong untuk memiliki identitas diri yag semu merupakan penyangkalan akan kehadiran aku yang lain dalam diri liyan.
Daftar Pustaka
Sumber utama
Riyanto, Armada.Relasionalitas, Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen.. Yogyakarta: Kanisius
Sumber penunjang
Bram, Ajahn. Si Cacing dan Kotoran Kesukaannya 2. Jakarta: Awareness Publication. 2011.
Mckinnon, Harvey and Jamal, Azim. The Power of Giving. Jakarta: Ufuk Publising House. 2011
Riyanto, Armada. Menjadi Mencintai, Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Aku dan Liyan, Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication. 2011
Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse, Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2012
Schwartz, David J. Berpikir dan Berjiwa Besar. Jakarta: Bina Aksara. 1996.
Pandor CP, Pius. Seni Merawat Jiwa. Jakarta: Obor. 2014
Sumber dari Surat Kabar
Kompas. Jakarta, edisi 29 September 2020
Sumber dari Internet
https://money.kompas.com/read/2020/10/05/063213126/jadi-kontroversi-apa-itu-ruu-cipta-kerja?page=all.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H