Mohon tunggu...
Andreas Pisin
Andreas Pisin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biarpun Gunung-Gunung Beranjak Dan Bukit-Bukit Bergoyang Namun Kasih Setia-Ku Tidak Akan Beranjak Daripadamu

SEIRAMA LANGKAH TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relasi Intersubjektif Aku dan Liyan dalam Dunia Kerja

20 Desember 2021   06:00 Diperbarui: 25 Februari 2022   10:07 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://liputankota.com/

 KESADARAN “AKU” SUBYEKTIF

 Kesadaran “Aku” merupakan asal-usul dari pengetahuan manusia. Romo Armada Riyanto dalam buku yang berjudul Relasionalitas mengatakan bahwa konsep “Aku” adalah konsep subjektivitas. Menurut Romo Armada, subjektivitas identik dengan kedalaman, keterlibatan, keberadaan, eksistensi. Inilah yang disebut dengan permulaan filsafat “Aku”.

 Dalam  buku Relasionalitas Romo Armada Riyanto mengutip salah seorang filsuf yang bernama Gottlieb Fichte yang sering menyebut kata “Aku” dengan huruf kapital untuk menyebut “Aku absolut” yang merupakan prinsip etika.  Dia adalah seorang filsuf yang memiliki pemikiran idealis, yang memandang realitas hidup dalam keseluruhannya. Fichte juga adalah seorang filsuf yang memandang bahwa refleksi tentang “Aku” identik dengan “tindakanku” (Wissenschaftschlehre nova methodo, 1796).[6] Kesadaran tentang “Aku” merupakan kesadaran tentang keberadaanku dan tindakanku. 

 Romo Armada menuliskan dalam buku Relasionalitas bahwa filsuf Fichte menyebutkan bahwa kesadaran absolut “Aku” menjadi fondasi segala perbuatan etis. Kesadaran ini melampaui pengalaman apa pun. Kesadaran akan “Aku bukan sebuah kesadaran dangkal dan formal, melainkan mendalam natural dan relasional. Apabila kita hanya menyadari nama dan asal-usul keluarga atau tempat kita dilahirkan, maka kesadaran itu bukanlah kesadaran akan “Aku”. Kesadaran itu hanyalah pengetahuan informatif tentang siapa diri kita. Bila kita menyadari kelemahan dan kekuatan diri sendiri, itu pun belum bisa disebut kesadaran akan “Aku”. Karena itu hanyalah pengenalan ciri atau karakter fisik seputar itu saja. Serta apabila aku menyadari Aku adalah bagian dari agama tertentu dan dalam kebudayaan tertentu, kesadaran tersebut hanyalah memandang diri sebagai bagian dari kelompok mayoritas atau kelompok massal saja. Esse (Being) merupakan kesadaran akan “Aku” dalam realitas “mengada”-ku. Hidupku itulah “Aku”. Perbuatanku itulah “Aku”. Dan relasi-relasiku itulah “Aku”.

 MENGENAL DIRI

 Apakah yang dimaksud know yourself? Secara sosiologis kita terbiasa untuk mengidentifikasi diri sendiri sebagai bagian dari societas. Dan, karenanya kita “terikat” oleh apa-apa yang berlaku dalam societas. Secara psikologis kita diajar untuk pandai mengendalikan kelemahan atau kekurangan dan kekuatan diri sendiri.[7] Setelah mengenal siapa diri kita sebenarnya, maka tahap berikutnya adalah menerima dan merealisasikan diri sehingga menjadi pribadi yang utuh dan otentik[8]. Orang yang mengenal diri sendiri adalah orang yang sampai pada kebenaran bahwa kepenuhannya tidak terletak pada dirinya, melainkan justru pada kebijaksanaan yang berasal dari dewa.[9] Proses mengenal diri sendiri itu berliku. Berliku karena kehidupan itu sendiri memiliki tiga lapisan. Lapisan pertama adalah citra diri kita (self image). Ini adalah apa yang kita tampilkan secara sosial, apa yang ingin kita tampilkan keluar, dan menyangkut penilaian orang lain terhadap diri kita. Lapisan kedua adalah konsep diri (self concept). Konsep diri ini menyangkut apa penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Namun, ada lapisan kita yang lebih dalam, yakni jati diri (true self), diri kita yang sesungguhnya (Martin, 2012:22). 

 Menurut Romo Pius Pandor tiga lapisan tersebut adalah citra diri, konsep diri, dan jati diri merupakan tiga lapisan penting dalam kehidupan kita. Hal ini berkaitan dengan penilaian orang lain,  dan diri sendiri tentang siapa kita sesungguhnya. Jika ditelusuri lebih cermat rupanya ketiga lapisan tersebut berkaitan dengan pengenalan akan diri sendiri. Pengenalan akan diri sendiri merupakan pintu masuk menuju kebijaksanaan. Berkaitan dengan hal ini Romo Pius menjelaskan tentang mencari kebijaksanaan dalam mengenal diri yang berasal dari Yunani, bahwa di pintu masuk kuil Apollo di Delphi tempat orang Yunani mencari kebijaksanaan terpampang tulisan, Gnothi seauton, Meden agan—“kenalilah Dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan”. Orang yang tidak memiliki pengenalan akan diri sendiri, akan mudah jatuh pada apa yang tampaknya benar (tetapi sesungguhnya itu sebuah kepalsuan) yang berasal dari diri sendiri.[10]

 Dalam hidup sehari-hari, kita juga sering berhadapan dengan berbagai pertanyaan tentang manusia. Siapakah manusia itu? Mengapa manusia ada di dunia? Mengapa manusia menderita? Ke mana manusia berlangkah? Siapakah sesamaku manusia? Dan seterusnya. Berhadapan dengan aneka pertanyaan tersebut, kita biasanya lebih mudah menjawab pertanyaan siapakah orang lain dari pada diri kita sendiri. Dengan pengenalan tersebut, kita lalu menasihati orang lain agar bertindak menurut tata aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ketika menasihati orang lain, kita merasa bahwa kita sudah sempurna, apalagi jika kita punya otoritas untuk melakukannya seperti penguasa, pemuka agama, pemuka masyarakat, guru, orang tua, dan sebagainya. Menasihati orang lain memang menjadi tanggung jawab moral yang harus dijalankan menurut peran yang dipercayakan kepada kita, tetapi alangkah lebih baik jika kita mengenal diri sendiri sebelum menasihati orang lain.

 Dengan mengenal diri sendiri, kita dapat memasuki tahap selanjutnya yaitu mengenal orang lain. Bagaimana kita dapat mengenal orang lain apabila kita tidak mengenal diri sendiri? Dan bagaimana kita dapat mencintai orang lain apabila kita tidak mencintai orang lain? Apalagi mencintai Liyan (Yang Lain/Yang Terpinggirkan).

 MENGENAL YANG LAIN (LIYAN)

 Berelasi langsung dengan yang lain berarti tidak memperlakukannya sebagai sebuah objek. Berelasi dengan yang lain adalah berada bersama dengan yang lain tersebut. Dan keberadaan merupakan hal yang tidak dapat dikomunikasikan. Misalnya, aku dapat bercerita mengenai eksistensi, tetapi aku tidak membagikan eksistensiku. Hal sosial itu melampaui ontologi (Emmanuel Levinas, 2008:89).[11]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun