Liyan dalam konteks di dalam dunia kerja adalah mereka yang terpisah, terpinggirkan, dan hidup dalam keterbelengguan oleh kekuasaan orang lain. Dalam praktiknya pembahasan semua aturan yang mengatur ketenaga kerjaan selalu dibahas tertutup oleh para pemangku kekuasaan tanpa melibatkan para buruh atau instansi yang memayungi mereka. Contoh nyata seperti pembahasan UU Cipta Kerja yang mana oleh pihak buruh keputusan tersebut dikhawatirkan mengancam hak dan perlindungan para pekerja[15]
Penderitaan para pekerja tenggelam oleh prestasi pemerintah yang berhasil menigkatkan perekonomian, dibalik decak kagum melihat pembangunan dan perkembangan dewasa ini, ada Liyan yang tak didengar suaranya, tak diperhitungkan keberadaannya. Liyan-liyan ini hanya menjadi obyek ekploitasi bagi kepentingan segelintir orang. Konsep Liyan jenis inilah yang aku pandang paling telak dari degradasi relasionalital manusia dalam hidup sehari-hari. Dan, sayangnya itu nyata. Liyan sebagai “orang ketiga” memiliki stories yang mengatakan derita orang yang tersisihkan. Orang ketiga dalam struktur gramatika bahasa, apabila dibawa keranah kehidupan sehari-hari menjadi emblem ketertindasan dan keterpurukan.[16]
Tingkat keparahan tersingkap jelas dalam situasi dan kondisi hidup anatara kaum buruh dan kelas pemodal, kekuatan daya tawar menawar dan partisipasi kelas pekerja dalam pengambilan keputusan, baik menyangkut aspirasi pribadi maupun roda perusahaan seluruhnya.[17]
Dalam sejarah Indonesia, masyarakat Indonesia memang pernah menjadi Liyan oleh para penjajah seperti Belanda dan Jepang. Namun, sekali lagi pada zaman modern seperti sekarang ini yang memberikan kemudahan dan kenyamanan pada masyarakat di Indonesia masih tetap ada Liyan (orang yang terpinggirkan) misalnya para buruh. Salah seorang filsuf yang menjelaskan tentang filsafat modern atau modernitas adalah Cartesius dalam filsafat Cartesian Cogito ergo sum mendeklarasikan akal budi sebagai dewa. Rasionalitas adalah kriterium untuk apa yang disebut human being. Ilmu pengetahuan dengan sendirinya mendapatkan kekuatan atau energinya. Bahkan Francis Bacon berkata, science is power yang berarti ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Definisi kekuasaan adalah definisi rasional.[18]
Lalu, bagaimana kita mengerti tentang Liyan dalam peradaban modern di Indonesia? Ketika modernitas identik dengan rasionalitas, dan rasionalitas terkait dengan ilmu, dan ilmu adalah kekuasaan, maka Liyan adalah mereka yang terpinggirkan. Liyan menempati wilayah pinggiran kehidupan. Liyan identik dengan keterbelakangan. Contoh orang-orang yang menempati wilayah pinggiran kehidupan dan memiliki keterbelakangan yang ada di dalam dunia kerja adalah para buruh dan pekerja. Dalam dunia kerja sering kali Liyan (orang lain) terwujud dalam sosok-sosok yang tersisih, tertindas dan terpinggirkan. Mereka terpinggirkan oleh karena suatu kenyataan, misalnya mereka adalah orang yang berpendidikan rendah, asing atau pengungsi atau orang miskin atau orang-orang terhukum atau orang-orang yang tersingkir karena alasan ideologis atau kebudayaan tertentu.[19]
Dalam konteks di dalam dunia kerja, orang lain atau Liyan adalah mereka yang tidak menjadi ‘tuan’ atas hidup mereka sendiri. Sebagai contoh, orang-orang yang bekerja di pabrik-pabrik. Mereka tersingkir dari kebijakan perusahaan. Mereka hanya menjadi pekerja yang harus mengerjakan apa yang telah diputuskan oleh perusaan. Mereka menjadi manusia-manusia yang tidak hanya terasingkan dari hidup dan duni kesehariannya, melainkan mereka menjelma menjadi sosok-sosok ‘yang tidak diketahui’ dari konteks rumah kulturalnya sendiri.
Saat manusia tersingkir dari kehidupan yang wajar sebagai manusia (menjadi Liyan), manusia itu bukan hanya mengalami ‘proses menjadi’, melainkan mengalami yang namanya proses ‘lenyap’. Manusia tidak lagi berada dalam performa elaboratif, melainkan menderita ‘dehumanisasi’ atau menjadi bukan manusia. Jadi, Liyan dalam konteks dunia kerja di Indonesia adalah dia atau mereka yang berada dalam zona ‘dehumanisasi’ atau bukan manusia. Dehumanisasi bukan semata-mata perendahan martabat manusia, melainkan pertama-tama mengatakan keseharian yang tidak lagi menjadi miliknya. Dan, karena kesehariannya tidak lagi menjadi kuasanya, hidupnya tidak lagi menawarkan kemungkinan-kemungkinan. Yang ada hanyalah keterancaman menuju kelenyapan diri.
KESIMPULAN
Paradigma relasi intersubjektif memaksudkan kodrat kesederajatan dari para subjek yang sedang berelasi. Kesederajatan yang dimaksud bukan semata-mata dalam atribut sosial yang ada, melainkan dalam konsep kemanusiaan. Dalam kontek dunia kerja antara pengusaha dan pekerja saling mendapat keuntungan. Hak para pekerja harus dihormati sebagai pribadi yang juga memiliki tujuan hidup. Dengan kata lain manusia siapapun harus diperlakukan, dihormati, diindahkan secara sama dengan manusia yang lainnya. Intersubjektif tidak bisa dibayangkan dalam ketidaksederajatan. Ketika relasi intersubjektif tidak ada, di sana terdapat ketidak-adilan yang nyata atau perendahan kemanusiaan yang sungguh harus ditolak. Jika terjadi ketidak-adilan mustahil akan lahir kebenaran dalam setiap hubungan. Dari situ akan timbulah penghisapan dan perbudakan liyan. Relasi intersubjektif menjelaskan kebenaran bahwa setiap manusia yang berelasi adalah pribadi yang memiliki pengalaman kontributif terhadap komunitasnya yang berarti relasi ini ada timbal balik dari kedua belah pihak. Relasi intersubjektif mengandaikan suatu bentuk kedalaman relasional.
Dalam konteks relasi intersubjektif Aku dan Liyan di dalam dunia kerja, kita dapat menyimpulkan bahwa orang lain atau mereka yang dianggap sebagai orang ketiga seperti para buruh perlu mendapatkan perhatian, perlu dirangkul dengan tulus tanpa ada pengkotakan. Kita harus menjadikan semua pekerja sebagai partner dalam bekerja. Hendaknya semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun pihak perusahaan memperhatikan kepentingan para pekerja agar mereka tidak hanya menjadi sapi perah dalam perusahaan. Relasi intersubjektif merupakan relasi yang menjadikan Liyan sebagai subjek dan bukan lagi objek. Aku dengan dia (Liyan) memiliki kesederajatan. Kita juga harus memiliki cinta relasional dengan Liyan.
Cinta adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang, tak peduli latar belakang, kebudayaan, atau agama mereka. Cintalah yang menjadikan semua orang, seperti ucapan Rumi, “teman seperjalanan dalam pengembaraan hidup.” Setiap orang […] memiliki kebutuhan yang sama yang juga anda miliki, yaitu untuk diterima dan dicintai.[20]