Pada penjelasan sebelumnya tentang mengenal diri sendiri dikatakan bahwa aku dapat mengenal diri sendiri dengan lebih baik dan mendalam berkat kehadiran orang lain. Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang diri sendiri sesungguhnya serentak juga kita berbicara tentang orang lain. Pembicaraan tentang orang lain merupakan konsekuensi logis dari kodrat kita sebagai makhluk sosial. Ciri sosialitas ini memungkinkan kita berkembang menjadi manusia yang lebih otentik. Dalam usaha untuk berkembang menjadi manusia yang lebih otentik, langkah pertama adalah pengenalan. Dalam konteks ini, mengenal orang lain berawal dari perjumpaan antarpribadi, antara aku dan engkau. Ketika berhadapan dengan yang lain, ada dua kecenderungan yang muncul dalam diri kita, yaitu penasaran dan apatis. Rasa penasaran mendorong kita untuk mendekati yang lain sedangkan apatis mendorong kita untuk menjauhinya. Apabila kita ingin mengenal orang lain secara lebih mendalam, pilihan untuk “mendekat” merupakan sebuah keharusan.
Dalam memahami yang lain dalam keberlainannya, kita cenderung mengambil jarak terhadapnya. Kehadirannya dianggap sebagai ancaman dan kenyataan ini bisa dianggap yang lain sebagai objek. Menurut Levinas, jarak tersebut sebenarnya bukanlah sebagai ancaman, tetapi justru merupakan ruanG etis, ruang yang memungkinkan aku diundang untuk bertanggung jawab atas yang lain tersebut. Dengan menampilkan pengertian yang lain ini, kita diantar untuk memahami konsep etika Levinasian. Kalau etika selalu menyangkut relasi antara aku dan orang lain, dalam relasi ini yang lain secara konkret dapat diterjemahkan sebagai orang yang ada di hadapan kita, menantang dan menggugat aku.
RELASI INTERSUBJEKTIF
Apa itu relasi intersubjektif? Kata Intersubjektif merupakan kata sifat yang mengatakan relasi antarsubjek. Subjek memiliki kodrat relasionalitas. Artinya, manusia memiliki pengalaman pesona tersendiri, karena merupakan sebuah produk relasi dengan sesamanya. Dalam relasi subjektif, harus diandaikan produk yang dihasilkan memiliki karakter intersubjektif.
Paradigma intersubjektif memaksudkan kodrat kesederajatan dari para subjek yang sedang berelasi. Kesederajatan yang dimaksud bukan semata-mata dalam atribut sosial yang ada, melainkan dalam konsep kemanusiaan. Yaitu, bahwa manusia siapapun harus diperlakukan, dihormati, diindahkan secara sama dengan manusia yang lainnya. Intersubjektif tidak bisa dibayangkan dalam ketidaksederajatan. Ketika relasi intersubjektif tidak ada, di sana terdapat ketidak-adilan yang nyata atau perendahan kemanusiaan yang sungguh harus ditolak.
Relasi intersubjektif selalu memproduksi suatu pengetahuan baru. Mungkin relasi antara politikus yang berkampanye dengan warga pemilihnya dapat dikatakan relasi intersubjektif jika relasi itu tidak hanya berhenti di lapangan kampanye dan di media massa.[12]Sebab, politikus pasti tidak mungkin mampu mendengarkan pengalaman subjektif dari para pendukungnya yang sangat banyak. Tetapi, ada kalanya, perjumpaan mereka terjadi dalam konteks yang lebih kecil dan sehari-hari di suatu tempat yang sederhana sedemikian rupa sehingga dapat terjadi bahwa perjumpaan itu adalah perjumpaan relasi intersubjektif. Dalam kasus perjumpaan politikus dengan beberapa pendukungnya, perjumpaan itu dapat menghasilkan pengetahuan yang berguna untuk kebijakan pembangunan atau pertimbangan visi misi publik dari politikus.
Salah satu contoh relasi intersubjektif yang dilakukan oleh politikus terhadap pendukungnya adalah presiden Jokowi yang mengadakan blusukan ke tempat-tempat publik dan ke rumah-rumah warga maupun pergi ke suatu tempat yang struktur pembangunan yang belum maju. Di situ presiden Jokowi berelasi secara intersubjektif terhadap masyarakat Indonesia dan hasil dari perjumpaannya tersebut terhadap masyarakat Indonesia dia memiliki suatu pengetahuan yang berguna untuk kebijakan pembangunan dan mengembangkan visi misi ke depan untuk membuat Indonesia jadi lebih baik. Namun, harus dibedakan antara “pengetahuan intersubjektif” dengan “kesepakatan dari para subjek”. Pengetahuan intersubjektif tidak sama dengan kesepakatan. Dan, sering kali pengetahuan intersubjektif juga tidak, dari sendirinya, merupakan suatu bentuk kesepakatan. Sementara “kesepakatan para subjek” kerap merupakan gambaran formal dari perjumpaan atau diskusi para subjek.
Seperti yang dijelaskan tentang relasi intersubjektif di atas, bagaimana relasi intersubjektif dengan Liyan (The Other/Yang Lain)? Siapa itu Liyan dalam konteks di Indonesia? Bagaimana kita berelasi dengan Liyan? Relasi intersubjektif merupakan relasi antarsubjek yang di mana “Aku” sebagai subjek menghormati, menghargai, dan mencintai sesamaku (Liyan). Dalam artian ini Liyan tidak lagi dianggap sebagai yang lain, melainkan dia yang memiliki kesamaan derajat dengan “Aku” sebagai subjek. Liyan tidak lagi dianggap sebagai objek.
LIYAN DALAM KONTEKS DI DUNIA KERJA
Konsep tentang Liyan seperti yang dijelaskan oleh Romo Armada Riyanto dalam bukunya yang berjudul Aku dan Liyan bahwa Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti bahwa mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran pengelolaan tata hidup bersama).[13]Liyan juga menampilkan realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan kepunyaannya dan hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya. Dalam bagian ini penulis mau mendalami relasi inter subyektif antara aku dan liyan dalam dunia kerja. Dalam kontek di dunia kerja Liyan adalah gambaran para buruh yang mengalami ketidakadilan dari pihak yang mempekerjakan mereka maupun regulasi yang memberatkan buruh.
[…] makna kerja melampaui persoalan kelangsungan hidup atau mencari sesuap nasi. Kerja merupakan momen atau aktivitas untuk menumbuhkan dan mengolah kodrat universal manusia. Kodrat universal manusia terletak universalitas, sifat yang umum, keseluruhan. Seorang pelukis, pemain musik, pesepak bola, pematung mengerti dan sadar akan bakat masing-masing manakala melihat hasil karya sendiri secara utuh.[14]