Rasa Memiliki yang Tinggi terhadap Ibukota
Kehadiran Gubernur Ahok telah membuat masyarakat kita meningkatkan rasa memiliki terhadap Kota Jakarta. Tak hanya untuk para fans tapi juga para haters, bukan hanya yang hidup di Jakarta tapi seluruh rakyat Indonesia, mereka pun turut memperhatikan setiap gerak si Gubernur sambil terus mengkritisi. Semakin terasa ketika Pilkada DKI, maka rakyat Indonesia di seantero dunia turut meramaikan kegaduhan ini setidaknya di dunia maya media sosial.
Ini merupakan fenomena sangat bagus sehingga proses check and balance berlangsung. Oleh sebab itu, si Gubernur akan merasa tindak tanduknya dikawal khususnya untuk mewujudkan objectif-objectif yang positif terutama dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi penduduk Jakarta.
Standar Baru Kualitas Kepala Daerah
Kehadiran Gubernur Ahok telah menetapkan sebuah standar ukuran kerja seorang pemimpin daerah dan dapat menjadi showcase untuk pemimpin dimana pun. Melalui standar ini saya yakin siapapun Gubernur ke depan maka standar AHOK akan dipakai, jika bekerja di bawah kualitas Ahok maka suatu kehinaan bagi Gubernur DKI selanjutnya. Gubernur baru bisa tidak kehilangan massa dan tak mampu menjadi newsmaker.
Lebih dari itu, respek masyarakat akan cenderung menurun karena yang Gubernur petahana mampu menarik simpati untuk hadir di Balaikota untuk sekedar berfoto. Pada akhirnya, kiprahnya tidak akan diingat oleh generasi-generasi selanjutnya karena memang tidak ada yang spesial dan seperti kembali ke era lama. Saya masih yakin bahwa siapapun Gubernurnya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini mengingat pendahulunya (Jokowi dan Ahok) memiliki popularitas tinggi lewat jalur ini. Apalagi jika memiliki visi atau ambisi menjadi orang nomor satu di Republik ini. Standar kualitas pemimpin yang telah ditanamkan petahana menjadi hal positif bagi masyarakat untuk menaikkan standar ekspektasi terhadap sosok pemimpin.
Keberanian dan Ketulusan
Dibalik keberanian dan standar kerja yang telah ditorehkan di hati masyarakat (baik fans maupun haters) saya beropini bahwa Ahok memiliki ketulusan. Sebagai manusia biasa pasti sempat tnerpikir kekecewaan, ketika upaya yang terbaik yang telah disuguhkan termasuk mempertaruhkan nyawanya dan keluarga besarnya diganjar oleh berbagai tantangan dengan memanfaatkan kelemahanya. Karena AHOK selalu bicara dulu baru berpikir! Hehe. Dalam kondisi terpuruk karena kasus penistaan agama, AHOK masih lantang menyuarakan dan melaksanakan visinya baik dalam bentuk debat pilkada maupun implementasi dari kewajibannya sebagai Gubernur.
Ya saya mengerti karena setidaknya moto besar “KEHIDUPAN UNTUK KEBENARAN DAN MATI ADALAH KEUNTUNGAN”, menjadi harga mati. Dan visi besar yang dipegang teguh AHOK ini akan mengantarkannya sebagai salah seorang Gubernur DKI yang dikenal sepanjang masa, mungkin hal ini kecil bagi sebagian orang, namun sebaliknya menjadi yang terbesar untuk sebagian orang, terutama orang gila, gila akan idealisme yang dipercayainya. Ditengah kegilaanya, saya yakin semua karena kuasa Sang Khalik dan doa-doa orang di sekelilingnya yang menjadi sumber kekuatannya sekaligus penangkal atas segala serangan musuh-musuhnya (mulai dari “yang keliatan” sampai “yang tidak kelihatan”). Semoga ini menjadi panutan.
Dual Minoritas
Menjadi orang keturunan Tionghoa bukan pilihannya, namun berupaya mengambil peran untuk mengabdi kepada masyarakat di sekitarnya adalah pilihannya. Menjadi seorang beragama Kristen yang minoritas adalah pilihannya dan ia juga yang memilih maju menjadi calon pemimpin daerah di wilayah dengan mayoritas penduduk yang beragama berbeda dengannya. Dual minotitas. Sejatinya Ahok sadar ini akan menjadikannya bulan-bulanan atau titik terlemah darinya.