Menjelang akhir tahun 2024, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Angka ini merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN setara dengan Filipina. Isu kenaikan PPN ini menuai kritik dari masyarakat dan pelaku bisnis. Mereka berharap Pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa alasan diterapkannya PPN 12% ialah untuk meningkatkan pendapatan negara dalam mendanai berbagai program keberlanjutan prioritas Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Menurut Bhima, alasan lain Pemerintah menaikkan tarif PPN yaitu karena Pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri sebab ada utang jatuh tempo yang harus dibayarkan oleh pemerintah pada tahun 2025 mendatang sebesar Rp800 triliun.
Adapun beberapa dampak atau pengaruh yang akan terjadi pada perekonomian nasional jika kenaikan PPN 12% diterapkan pada tahun 2025 mendatang, yaitu:
• Harga Jual Barang dan Jasa Naik
Perusahaan yang kurang bersedia menanggung kenaikan PPN melakukan opsi menaikkan harga jual barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan.
• Permintaan Turun, Daya Beli pun Turun
Masyarakat mengalami tekanan daya beli akibat kenaikan harga jual barang dan jasa sehingga akan mengurangi konsumsi atas barang dan jasa tersebut. Hal itu membuat permintaan menurun dan produksi perusahaan-perusahaan akan terkontraksi. Imbas yang akan dihasilkan yaitu perusahaan berpeluang melakukan PHK.
• Daya Saing dan Prospek Investor di Indonesia yang Memburuk
Tarif pajak yang tinggi atau kompleks dapat membuat suatu negara kurang menarik bagi investor asing. Investor akan berpikir ulang untuk membuka investasi baru lantaran performa pasarnya juga menurun atau terus terkontraksi.
Berbeda dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, pemerintah Vietnam justru memperpanjang kebijakan pengurangan PPN dari 10% menjadi 8% hingga akhir Juni 2025. Bahkan, penurunan PPN sudah diterapkan sejak tahun 2022 untuk mendukung perekonomian nasional pasca pandemi COVID-19.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengomentari kebijakan Vietnam yang menurunkan tarif PPN 8% seiring dengan kenaikan tarif PPN 12% di Indonesia pada 1 Januari 2025. Airlangga mengatakan bahwa kebijakan perpajakan suatu negara tidak bisa digeneralisasi karena situasi perekonomian di negara tersebut berbeda-beda. Pemerintah Indonesia juga telah memutuskan tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Ia pun meyakini bahwa perbedaan tarif PPN tidak akan mempengaruhi daya saing Indonesia dengan Vietnam.