Mohon tunggu...
Andrea Juliand
Andrea Juliand Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis kemarin sore

ESTJ | Untukmu yang Berani Melepaskan, 2019 | Yang Terlupakan, 2018 | Mikayla, 2017 | Putus, Ya Terus? 2016

Selanjutnya

Tutup

Money

Bukan hanya tentang harga apalagi jadi phobia.. #upgrade.you

5 Oktober 2015   13:32 Diperbarui: 5 Oktober 2015   13:32 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, nggak tahu mau menulis apa, saya hanya membiasakan agar kebiasaan menulis tidak hilang. Jujur, antara judul dan isinya mungkin juga nggak nyambung, bahkan hancur berantakan karena saya juga tidak menggunakan kaidah atau dasar-dasar kepenulisan. Jadi, ya anggap saja saya lagi sok tau, sok iye, dan sok bener untuk menulis tentang dunia bisnis.

Lanjut,

Saya percaya bahwa dalam bisnis ada empat komponen penting yaitu : produk, harga, pelayanan, dan pemasaran. Masing-masing komponen memiliki karakter tersendiri namun semuanya saling melengkapi.

Apa yang mau kamu jual bila tidak ada produknya, entah berupa barang/jasa?

Bagaimana dapat berbisnis bila tidak mau melayani konsumen, baik langsung maupun tidak langsung?

Bagaimana menentukan konsumen bila tidak jelas harganya?

Bagaimana bisa menjual bila tidak melakukan pemasaran?

Se-fleksibel apapun, sebuah barang/jasa akan tetap memiliki harga, bila harganya "tidak ada atau tidak ternilai" maka sudah pasti itu bukan 'barang dagangan', mungkin namanya 'pemberian'. Kalaupun dalam barang tersebut ada tagline tidak ternilai namun ada harganya, itu hanya gimmick belaka.

Secanggih apapun ilmu marketing yg kamu miliki, tidak akan bisa menghasilkan uang kalau kamu tidak punya produk yg akan dijual apalagi juga tidak mau turun tangan melayani. Dan bagaimana bisa fokus menentukan strategi pemasaran kalau konsumen yg ingin dituju tidak jelas karena harganya juga tidak jelas?

Lanjut,

Pertama, Produk. Apa yg ingin kamu buat dan jual? Apakah produk yg tergolong pioneer di mana tidak ada pesaingnya atau sebuah produk hasil mengamati, meniru dan memodifikasi dari produk yang sudah ada sebelumnya? Apapun produk kamu buatlah produk itu sekreatif mungkin, kegunaan yang paling bermanfaat, dan cara pakai sesederhana mungkin lalu fokuslah di sana.

Pelajari keinginan konsumen, bisa dengan membuat penelitian kecil (sebar quesioner) untuk mendapat informasi tentang kelompok sasaran yg dituju. Buat produk yang unik, usefull, sekaligus rumit pembuatannya agar tak mudah dicontek orang, namun begitu mudah digunakan konsumen. Kalaupun kamu tidak bisa membuat produk yang rumit, maka buatlah keunikan dalam produkmu.

Maicih hanyalah sebuah keripik pedas tapi keripik pedas yg memiliki tingkat kepedasan? Konsumen akan langsung mengingat Maicih. Mungkin juga kalian masih ingat ketika lebih dari satu dekade lalu, Nokia begitu merajai pasar. Mengapa? Karena Nokia fokus dan bisa menciptakan produk yang mudah dimengerti dan digunakan.

Bahkan tanpa membaca manual book-nya pun, hampir semua orang bisa menggunakan Nokia. Silahkan bandingkan betapa mudah dan simple-nya menu yang ada dalam hp Nokia dibanding produk lain. Ditambah, cover yg bisa diganti sesuai keinginan hati mendapat respon positif dari konsumen, pada saat itu. Nokia sukses membaca dan mengerti pasar. Sebuah produk yg unik, berguna sekaligus user friendly-lah yang dicari pasar.

Kedua, Pelayanan. Tentu yang dimaksud di sini bukan hanya tentang bagaimana penjual melayani konsumennya di awal membeli produk namun pelayanan yg tetap diberikan setelah konsumen membeli dan menggunakan produknya (after sales). Senyum ramah khas penjual ala koko dan cici Glodok memang terlihat lebih ramah dan sabar melayani pembeli, dan di sini saya melihat hal itu sebagai satu keunggulan khas ala kaum Tionghoa sebagai kaum yang hebat dalam berdagang.

Namun, kembali pada pelayanan untuk kepuasan konsumen, rasanya percuma bila hanya ramah di awal namun sangat sulit ketika konsumen minta klaim pertanggungjawaban (garansi). Percuma bila hanya menjual produk murah namun tidak jelas service center dan ketersediaan part pendukungnya.

Sebuah pabrikan hp asal Jepang kini mati kutu menghadapi negative campaign karena pelayanan aftersales-nya buruk, oh, maksud saya, amat sangat buruk. Pabrikan hp asal Jepang itu bahkan tak berdaya melawan kehebatan pelayanan after sales duo produk Korea, Samsung dan LG.

Anda pernah ke service center Samsung atau LG? Pengalaman saya, ketika datang, ambil antrian, dan sampai di meja Customer Service, produk anda langsung didiagnosa dan dibongkar di depan mata. Apabila beres, maka hari itu juga bisa langsung anda bawa pulang. Kalaupun saat itu hp anda harus menginap, paling tidak anda sudah mengetahui bahwa produk anda on progress pengerjaannya dan jelas kapan selesainya.

Bagaimana dengan pabrikan Jepang yang kini perlahan mati kutu? Lupakan saja..Kalau anda mau sedikit kepo, silahkan baca keluhan konsumen yg hpnya harus menginap berminggu-minggu hingga bulanan tanpa adanya kejelasan. Banyak kok kisah duka mereka kalau mau searching di Google :D

Contoh lain,

Mengapa Toyota sukses merajai pasar di Indonesia? Selain produknya cukup berkualitas, pelayanan mereka di awal dan sesudahnya baik. Pelayanan mereka memiliki standar yang seragam melalui jaringan sales and services ala Auto2000, bengkel resmi mereka mudah ditemui, dan ketersediaan spare part tidak akan membuat konsumen lumutan menunggu berbulan-bulan hanya untuk sebuah kaca spion.

Toyota sukses membuat produk yang berkualitas, simple, dengan pelayanan yang memuaskan. Ini membuat harga jual kembali produknya cenderung lebih stabil dibanding kompetitor sehingga apabila konsumen memiliki pertanyaan : Produk (mobil) apa yang berkualitas, spare part-nya mudah, bengkelnya banyak, dan harga jual kembalinya tidak terlalu jatuh? Maka hampir semua orang akan sepakat menjawab produk Toyota.

Toyota sadar bahwa dengan produk dan pelayanan yang berkualitas, maka akan meningkatkan angka penjualan dan dengan angka penjualan yang baik, akan mudah bagi perusahaan untuk menggelontorkan uang -untuk recall, misalnya- guna memberikan dan memastikan konsumen mendapat pelayanan kelas satu. Yup, penjualan dan pelayanan, keduanya saling mendukung.

Ketiga, Harga. Harga memang penting tapi bukan yang terpenting. Harga layaknya modal yang memang dibutuhkan untuk memulai berbisnis. Modal memang penting tapi tanpa modal anda tetap bisa menjadi broker, bukan?

Kembali ke harga, It depends on your target market. Kelompok sasaran mana yang anda tuju? Persaingan dengan HANYA mengutamakan komponen harga akan membuat anda masuk dalam 'bisnis berdarah'. Saya sebut bisnis berdarah karena bila anda hanya mengutamakan komponen harga, bersiaplah untuk berdarah-darah. Siapa yang bersedia memangkas laba, dia yang menang. Misal : Si A menurunkan laba 30%, anda menurunkan laba 50%. Si B memotong laba 70%, anda potong laba hingga 90%, terus dan terus begitu, dan sang pemenang adalah yang paling berdarah mengorbankan labanya.

Untuk jangka pendek, memang bagus untuk mengambil perhatian konsumen, biasanya dikenal dengan nama promo, namun untuk jangka panjang jelas akan mengancam kesehatan keuangan bisnis anda.

Sepuluh tahun yang lalu, harga hp Samsung mungkin 30% atau bahkan setengah dari harga produk Nokia. Namun, kini harga produk dengan sistem operasi Android, maka Samsunglah yang bisa dikatakan termahal.

Begitu pula dengan pabrikan Cina, Lenovo. Beberapa tahun yang lalu, Lenovo begitu jor-joran mengeluarkan banyak produk dengan harga murah, bahkan harganya bisa bersaing dengan produk rakitan lokal. Kini, perlahan Lenovo mulai 'menaikkan harga dirinya'. Jelas, bahwa harga bukan satu-satunya komponen yang akan 'digunakan dan diutamakan' secara terus menerus dalam persaingan.

Apple melalui produk iPhone adalah contoh sukses bahwa harga bukanlah segalanya. Lihatlah statistik penjualan produk iPhone. Hanya mengandalkan penjualan tidak lebih dari dua jenis hp per tahun (tahun lalu, iPhone 6 dan 6+, kini, iPhone 6S dan 6S+), mereka berhasil menjadi salah satu perusahaan termahal dan terbesar di dunia. Harganya? Silahkan cek sendiri betapa harga sebuah hp bisa setara dengan sebuah motor. Bila anda tanyakan ke orang, satu kata yang cukup sering muncul ketika ditanyakan tentang iPhone (produk resmi) adalah mahal. Tapi kok laku?

iPhone mirip dengan Nokia, bedanya ia memiliki strategi marketing dan branding yang jauh lebih hebat dan matang. Mereka fokus menetapkan kelompok sasarannya dan berhasil mem-branding produknya untuk kelas menengah atas yang loyal, namun di sisi lain juga sukses membuat produknya menjadi sangat diinginkan oleh hampir semua orang. Sudah begitu banyak berita di luar sana bahwa ada orang yang rela melakukan apapun termasuk menjual ginjal hanya untuk sebuah iPhone.

Apple sukses membuat hp yang nyaman, berkualitas, dengan pelayanan after sales (garansi resmi) yang baik. Bila anda berada di Singapura -negara yang ditunjuk Apple sebagai salah satu negara resmi penjual produk iPhone- lalu membeli produk iPhone, dan kemudian rusak (cacat hardware), tidak perlu khawatir, karena ketika dibawa ke service centernya, maka iPhone anda akan diganti baru saat itu juga. Harganya memang mahal namun after salesnya (di luar negeri) memuaskan.

Keempat, Pemasaran. Secanggih apapun produkmu, semurah apapun harganya dan sebaik apapun pelayanan yg kamu berikan, it means nothing kalau tidak ada orang yg mengenal dan membeli produkmu. Hari ini, dengan bantuan teknologi, pasar bisa diciptakan tanpa harus saling tatap muka.

Beberapa bulan yg lalu, saya mengikuti kelas menulis dan jujur, saya mengacungi jempol untuk sistem pemasarannya yg seperti tidak mengenal lelah, bahkan setelah kelas menulisnya telah selesai. Pagi, siang, sore dan malam, hp saya penuh oleh iklan hingga akhirnya mereka saya mute:D

Tapi sesama wirausaha, sayapun bisa memahami mereka karena bagi kami tanpa jualan, tanpa pemasaran, berarti kami 'tidak gajian' dan tanpa gajian berarti kami harus puasa sebulan. Kalaupun saya di posisi mereka, tentu saya akan melakukan hal yg serupa walau mungkin ya nggak segila mereka. But yes, itulah marketing! Produk, harga, dan pelayanan ala surga tak akan berarti bila tak ada yg beli.

Kembali ke topik awal, yang ingin saya tekankan, harga bukanlah satu-satunya hal yg akan membuat konsumen membeli produk anda. Mungkin dengan harga murah, produk anda akan laris manis di awal penjualan namun tanpa kualitas dan pelayanan yang baik, produk dan bisnis anda akan tinggal kenangan.

Perlu juga diingat, TANPA kualitas produk dan pelayanan yang baik, maka akan sulit untuk menciptakan loyalitas pelanggan, karena orang yang memiliki loyalitas biasanya sudah tidak terlalu terpengaruh dengan harga, mereka butuh produk yg baik dan atau pelayanan yg hebat. Ingatlah, bahwa orang akan selalu teringat Aqua untuk air minum, Sanyo untuk pompa air, Samsung untuk produk android, Pepsodent untuk pasta gigi, dan Teh Botol untuk teh dalam kemasan. Inilah yang dinamakan kekuatan branding dan loyalitas pelanggan. Apakah harga produk di atas lebih murah bila dibanding produk sejenis? Untuk spek atau ukuran yg sama, saya yakin tidak.

Next,

Bila sudah memadukan empat hal tersebut, jangan berbesar hati bila bisnis anda sudah mulai beranjak. Ingat, di atas langit masih ada langit, dan di atas langit paling ataspun, masih ada Tuhan di sana. Jadikan konsumenmu sebagai mitra sekaligus teman dan sahabat, bukan sekedar sapi perah alias objek bisnis belaka yg kamu tinggalkan ketika ikatan bisnismu telah usai.

Ingat, sepuluh pemasaran yg kamu lakukan mungkin hanya akan menghasilkan satu konsumen baru, tetapi satu kekecewaan konsumen berarti kamu telah kehilangan sepuluh calon konsumen potensial.

Tetap dengarkan konsumen sebagai bentuk pelayanan dan kepedulian, karena Nokia sudah merasakan pahitnya. Ketika mereka sudah menjadi besar dan nomor satu, harga produk Nokia makin tidak bersahabat, padahal konsumen semakin cerdas dan kompetitor semakin banyak.

Pahitnya lagi, mereka tidak membuka diri terhadap masukan konsumen. Ketika Android ditemukan dan penggunaannya jauh lebih canggih sekaligus lebih mudah, mereka tetap ngotot dengan Symbian kebanggaannya. Hasilnya? Mereka berubah. Ya, berubah dari something menjadi nothing alias tinggal kenangan.

Contoh lain? Masih ingat dengan pabrikan mobil dan motor Cina yang dulu ramai masuk ke Indonesia? Harganya memang murah sayang kualitasnya tak jelas dan ketersediaan partsnya tidak terjamin. Atau, masih ingatkah ketika kasus bus TransJakarta karatan buatan Cina yang kini menyeret sejumlah pejabat? Ini tentu akan membuat konsumen berpikir ulang untuk membeli mobil/motor buatan Cina.

Namun, ada pepatah yang mengatakan "belajarlah hingga ke negeri Cina". Cina belajar dari kesalahan dan kini bangkit menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Hampir semua produk bertuliskan made in China. Cina hari ini telah  bermetamorfosa dari "negara yang membuat produk murah" menjadi "produk berkualitas dengan harga kompetitif".

Cina berhasil membuat produk yang menggabungkan empat hal di atas, produk yang (mulai) berkualitas, harga yang lebih murah, pelayanan ramah ala negeri tirai bambu, dan pemasaran yg masif.

Lalu, kalau Cina bisa berubah, mengapa kita tidak? Mengapa kita harus takut atau phobia terhadap Cina? Bukankah seharusnya kita belajar dari mereka?

Lihatlah bagaimana mereka melakukan proses ATM, Amati, Tiru dan Modifikasi, dan kini hampir semua produk berteknologi bisa mereka buat. Lihatlah bagaimana mereka mengambil pelajaran ketika senyum ramah dan produk murah saja tidak akan menjamin kesuksesan dalam berbisnis, maka mereka berevolusi membuat produk yang berkualitas, tetap murah, dengan pelayanan yang lebih baik. Pemasarannya? Lihatlah ketika Xiaomi dan Lenovo sukses menjual ribuan produk hanya dalam hitungan menit ala flash sale.

Mungkin beberapa tahun kedepan, India, sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia akan menyusul kesuksesan Cina. Lalu, apakah kita juga harus takut/phobia terhadap India? Masih ingat rasanya ketika dulu kita phobia terhadap Amerika. Gaung untuk memboikot produknya gencar dimana-mana seakan kita lupa bahwa makanan dan susu bayipun kita bergantung pada mereka dan sekutunya.

Seharusnya kalau ingin menunjukkan harga diri, kita konsekuen. Ketika, kita menyatakan kebencian sekaligus phobia terhadap Amerika dan Cina, maka konsekuensinya adalah tidak menggunakan produk mereka satupun. Pertanyaannya, mampukah kita?

Sekarang kita phobia Cina, mungkin nanti kita akan phobia terhadap India, dan bila tak berbenah mungkin nanti terhadap semua negara kita akan menjadi phobia. Lalu, bagaimana bisa menjadi Macan Asia? Hey, Macan Asia itu tagline yg tidak main-main lho, it means kemampuan dan kekuatan kita bila sudah menyandang predikat itu ada di atas Jepang, Cina, dan India, dan jauh di atas Malaysia dan Singapura.

Apakah bisa? BISA!

Bukan sikap pesimis, takut, lalu menutup diri yang harus di lakukan tapi upgrade diri, produk, cara berbisnis dan wawasanmu agar bisa bersaing.

Selamat datang di era globalisasi, sebuah era keterbukaan di mana penjual ayam goreng di Malaysia akan bisa dengan mudahnya menjajakan barangnya bersaing dengan ayam goreng Sabana ala Indonesia, baik suka atau tidak suka.

Jangan lemah dan cengeng, mereka yang tidak siap dan takut bersaing itu seharusnya sering main ke pasar, mall atau pusat perdagangan. Lihatlah betapa rejeki itu selalu ada untuk mereka yang optimis dan selalu berusaha. Lihatlah dalam satu gedung di ITC, ada ratusan bahkan ribuan pedagang dan terang-terangan saling bersaing namun tetap rukun bersama, karena mereka percaya sepanjang mereka berusaha, Tuhan akan memberikan rejeki-Nya.

Oh, satu lagi,

Belakangan ini ramai di media sosial yang memberitakan 'sengitnya persaingan' antara tukang ojek pangkalan (tradisional) dengan ojek online. Kubaca singkat komentar mereka di media sosial. Banyak diantara kita yang menyayangkan terjadinya perilaku baku hantam dan pelarangan sepihak dari ojek pangkalan terhadap ojek online.

Ada yg melihat secara global lalu berkata : Ini era modern, yg berkualitas dan bisa memberi pelayanan yg lebih baik-lah yg akan dipilih.. Ada juga yg melihat dari sisi kepraktisan dan pelayanan : Ojek pangkalan ribet karena mesti menghampiri ke pangkalannya, ojek online tinggal pencet hp, tak lama nongol di depan pintu... Ojek pangkalan nggak ramah dan suka seenaknya kasih tarif, ojek online ada standarisasi sikap dan harga...

Tidak sedikit yang mencaci tukang ojek pangkalan dengan kalimat : bukankah rejeki itu Tuhan yg mengatur? atau pernyataan sindiran dengan kalimat : takut amat rejekinya diambil, binatang aja dijamin kok rejekinya oleh Tuhan, masa manusia yg berakal kalah ama binatang? Makanya service-nya dibagusin dong..

Kalau boleh aku analogikan, bukankah itu mirip dengan kondisi kita yang phobia terhadap Cina? Mungkin saja tukang ojek pangkalan itu adalah kita (si tradisional yg kalah modal juga kalah mental, takut terhadap perubahan, namun tidak pernah mau belajar) dan ojek online itu adalah negeri Cina atau negara lain yg kuat secara modal, mau belajar, dan cerdas memanfaat peluang, dan dunia internasional sebagai pihak yang menjudge, menyayangkan sikap kita yg serba phobia.

Mungkin kelihatannya tidak adil tapi inilah hidup..

Bukan yg terkuat yg bertahan, bukan juga yg terpintar, tapi mereka yg bisa menyesuaikan keadaan dan melihat peluang. 

Upgrade you, upgrade Indonesia

Indonesia, BISA!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun