Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Media Online Mulai Bertumbangan

28 Mei 2024   17:15 Diperbarui: 29 Mei 2024   01:30 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media online (shutterstock)

Tak sampai 5 tahun sejumlah media online satu-persatu bertumbangan. Tidak terkecuali media-media yang saling bergabung dalam satu wadah. Juga nama-nama yang sempat bolak-balik berada di barisan 10 peringkat tertinggi. Silih berganti jatuh, lalu digantikan oleh media online lain.

Pemeringkatan media online yang digital sangat mudah dilihat. Transparan meskipun ada berbagai versi. Berbeda dengan media cetak atau elektronik yang seringkali hanya menggunakan tolok ukur satu versi.

Karena itu pula sesungguhnya pada industri media online juga terdapat kerapuhan. Terutama tentang kemampuan keberlanjutan (sustainability) dirinya di pasar informasi. Berada di lingkungan konglomerasi media tidak menjadi jaminan akan belanjut.

Dan itu terjadi pada belakangan hari. Bahkan menimpa sebagian media online spesifik di kelompok Kompas Gramedia.

Ketidakberlanjutan alias tamatnya media online ini adalah akibat dari beberapa sebab. Hal ini sekaligus menjelaskan betapa media online tidak memiliki umur panjang menjadi penyelamat media cetak sebelumnya. Bahkan durasinya jauh lebih pendek.

Media online bekerja dalam hitungan waktu 24 jam selama 7 hari. Proses produksinya berjalan sepanjang itu. Walaupun sebagian media memiliki teori dan jurus waktu-waktu tertentu merupakan peak of view dari viewer atau audiens-nya.

Dok.Kompas.com
Dok.Kompas.com

Dalam kurun tersebut mereka mendapatkan pendapatan dari viewer yang di dalamnya ada arus uang yang oleh banyak orang disebut sebagai ad sense. 

Bagi pengelola media di departemen bisnis, arus uang masuk ini dianggap sebagai pendapatan yang setara dengan dulu saat mendapatkan uang dari pembelian media cetak oleh pelanggan atau pembeli eceran.

Jadi bukan dianggap sebagai uang dari sektor iklan seperti halnya ketika media cetak mereka kelola dahulu. Ini karena otoritas iklan berada di pihak Over the Top (OTT). Sebelumnya otoritas iklan adalah hak sepenuhnya setiap media.

Pendapatan ini sangat tidak stabil. Bisa naik turun tergantung sejauh mana konten dikonsumsi oleh audiens.

Belakangan, jumlah uang iklan atau uang ad sense semakin terbagi ke lebih banyak pemain media. Artinya kalau dulu media online A memperoleh Rp 1.000,00, hari ini pendapatannya sudah turun, mungkin tinggal setengahnya atau bahkan lebih.

Di sisi lain, sejumlah korporasi mengurangi belanja iklan digitalnya ke OTT. Atau jika masih bertahan, distribusi belanja iklannya tidak lagi besar di satu atau dua platform OTT. Dampaknya, jika sebuah media online hanya bermain di website belaka yang menggunakan infrastruktur Google, maka jelas lah pendapatan dari sektor ini berkurang.

Untuk mengejar viewer berbagai cara dilakukan. Termasuk memberdayakan pasukan jurnalisnya, menjadi bagian dari penambang trafik. Bahkan kemudian dijadikan ukuran performa kerja jurnalis. Mereka dibayar setara UMR atau bahkan lebih rendah. Kemudian capaian trafik dijadikan sebagai parameter remunerasi bonus. Makin tinggi viewer makin besar bonus. Gaji dan bonus adalah pendapatan si jurnalis.

Faktor lain, sebagian media online yang eksis (atau setidaknya selama lebih dari 5 tahun berada di rank 5 besar website news) mengoptimalkan "bonus" kesuksesan trafik mereka. Caranya dengan menjual space halaman, membuat artikel advertorial dengan jaminan trafik yang tinggi, menawarkan backlink, juga bermacam trik trafik lain yang memberi benefit di mana pengiklan tak memiliki akses seperti itu.

Namun, ketika media sosial mengubah cara orang mengkonsumsi informasi, cara-cara di atas menjadi terganggu. Sebab setiap individu maupun pemilik brand (termasuk institusi) punya kesempatan membuat dan mengembangkan strategi plus pembuatan konten sendiri. Bahkan dengan karakternya, media sosial memberi peluang bagi siapapun mendapatkan feedback secara realtime.

Sehingga muncullah pertanyaan dari pemilik brand alias pelaku industri; jika demikian untuk apa harus membayar biaya bertajuk trafik alias advertensi ke media online umumnya?

Bahkan sekalipun endorsement produk, kebanyakan pemilik brand memilih selebgram ketimbang media online yang memiliki kanal-kanal di media sosial.

Di sinilah era gerus-menggerus pendapatan kedua media online terjadi.

Pendapatan terakhir yakni dari sektor kolaborasi program dengan pemilik brand atau industri. Konsep kerjasama bisnis yang ditawarkan di sektor sebenarnya tidak mengalami evolusioner. Ini karena benefit yang ditawarkan masih seputar kuantitas dan akses dari aset yang dimiliki oleh media yang bersangkutan.

Dengan kata lain, pendapatan dari sektor ini masih serupa dengan cara-cara yang dilakukan pada media cetak dulu kala. Sementara pemilik brand dengan kuanitas dan akses dari aset yang dimiliki karena berhasil mengembangkan own medianya, tidak lagi memerlukan tangan media online mainstream. Mereka justru lebih suka membuat kanal viralisasi memanfaatkan KOL atau influencer.

Mengembangkan atau menambah format digital (video, audio, image) tampaknya tidak cukup cepat me-recovery penurunan pendapatan tersebut. Bahkan perang di format video jauh lebih sadis. Sementara konsumsi format itu begitu ranum dan besar.

Lalu apa mungkin menjalankan pendapatan ke empat bernama konten berbayar? Di Indonesia?

Selama masyarakat kita memandang bahwa informasi adalah gratis, mustahil menkonversi konten menjadi uang dan menguntungkan.

Kenyataan pahit dan suka tidak suka mesti dilakukan adalah memangkas seluruh pengeluaran. Dan, celakanya biaya terbesar itu ada pada employee cost. Jurus maut untuk jangka pendek adalah PHK.

PHK karyawan keniscayaan di tengah tumbuhnya auto fill content berbasis AI. Ini adalah babak baru dunia media online. Selamat tinggal karyawan, selamat berlanjut media online wajah baru.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun