Pendapatan ini sangat tidak stabil. Bisa naik turun tergantung sejauh mana konten dikonsumsi oleh audiens.
Belakangan, jumlah uang iklan atau uang ad sense semakin terbagi ke lebih banyak pemain media. Artinya kalau dulu media online A memperoleh Rp 1.000,00, hari ini pendapatannya sudah turun, mungkin tinggal setengahnya atau bahkan lebih.
Di sisi lain, sejumlah korporasi mengurangi belanja iklan digitalnya ke OTT. Atau jika masih bertahan, distribusi belanja iklannya tidak lagi besar di satu atau dua platform OTT. Dampaknya, jika sebuah media online hanya bermain di website belaka yang menggunakan infrastruktur Google, maka jelas lah pendapatan dari sektor ini berkurang.
Untuk mengejar viewer berbagai cara dilakukan. Termasuk memberdayakan pasukan jurnalisnya, menjadi bagian dari penambang trafik. Bahkan kemudian dijadikan ukuran performa kerja jurnalis. Mereka dibayar setara UMR atau bahkan lebih rendah. Kemudian capaian trafik dijadikan sebagai parameter remunerasi bonus. Makin tinggi viewer makin besar bonus. Gaji dan bonus adalah pendapatan si jurnalis.
Faktor lain, sebagian media online yang eksis (atau setidaknya selama lebih dari 5 tahun berada di rank 5 besar website news) mengoptimalkan "bonus" kesuksesan trafik mereka. Caranya dengan menjual space halaman, membuat artikel advertorial dengan jaminan trafik yang tinggi, menawarkan backlink, juga bermacam trik trafik lain yang memberi benefit di mana pengiklan tak memiliki akses seperti itu.
Namun, ketika media sosial mengubah cara orang mengkonsumsi informasi, cara-cara di atas menjadi terganggu. Sebab setiap individu maupun pemilik brand (termasuk institusi) punya kesempatan membuat dan mengembangkan strategi plus pembuatan konten sendiri. Bahkan dengan karakternya, media sosial memberi peluang bagi siapapun mendapatkan feedback secara realtime.
Sehingga muncullah pertanyaan dari pemilik brand alias pelaku industri; jika demikian untuk apa harus membayar biaya bertajuk trafik alias advertensi ke media online umumnya?
Bahkan sekalipun endorsement produk, kebanyakan pemilik brand memilih selebgram ketimbang media online yang memiliki kanal-kanal di media sosial.
Di sinilah era gerus-menggerus pendapatan kedua media online terjadi.
Pendapatan terakhir yakni dari sektor kolaborasi program dengan pemilik brand atau industri. Konsep kerjasama bisnis yang ditawarkan di sektor sebenarnya tidak mengalami evolusioner. Ini karena benefit yang ditawarkan masih seputar kuantitas dan akses dari aset yang dimiliki oleh media yang bersangkutan.
Dengan kata lain, pendapatan dari sektor ini masih serupa dengan cara-cara yang dilakukan pada media cetak dulu kala. Sementara pemilik brand dengan kuanitas dan akses dari aset yang dimiliki karena berhasil mengembangkan own medianya, tidak lagi memerlukan tangan media online mainstream. Mereka justru lebih suka membuat kanal viralisasi memanfaatkan KOL atau influencer.