Para penjilat datang silih berganti.
Menghampiri sang raja yang tak punya harga diri.
Yang cuma pamer suka ria tanpa isi.
Yang telah renta dan ingin terus cari sensasi.
Para penjilat datang dari mana saja.
Mereka rela menjilati jejak-jejak busuk sang raja.
Bahkan menguburkan realita menjadi tanda tanya.
Para korbannya dibiarkan terus merawat duka.
Para penjilat datang dari mantan seteru.
Yang dulu mencaci dan mencap sang raja dungu.
Kini yang dungu didamba, jejaknya disapu.
Lalu bergandeng tangan menjalin persekutuan baru.
Para penjilat datang merunduk-runduk seperti kacung.
Mereka mau berbuat apa saja sekalipun dicucuk hidung.
Daripada hidup terus buntung dan terluntang-lantung.
Siapa tahu suatu saat bisa kecipratan untung.
Para penjilat datang memainkan peran oportunis.
Hilang nalar tak soal, buang jauh status idealis.
Sebab idealisme memang tak selamanya manis.
Apalagi jika ada janji satu kursi komisaris.
Para penjilat datang karena korupsinya dihembus.
Jika tak segera menjilat mereka bisa jadi tersangka kasus.
Bayangan ngeri bui dan jeruji juga gelar baru sang "tikus".
Aku tak ingin dipenjara sampai mampus!
Para penjilat datang dan terus menebar bohong.
Biar pun sang raja miskin gagasan dan berotak kosong.
Yang penting hitung-hitungan survei naik terdorong.
Yang palsu menjadi kebenaran, yang asli dipotong-potong.
Para penjilat datang dan menikmati uang melimpah.
Berbaur dengan penguasa memelintir aturan lemah.
Bersatu, berpadu, memperdaya rakyat yang gundah.
Dengan barang-barang yang dibeli dari pajak berjamaah.
Para penjilat datang dan beraksi di dunia maya.
Tugasnya menyebar hoaks dan data dusta.
Tanpa berani mempertontonkan jati dirinya.
Seperti hantu, muncul membuat ulah, lalu rakyat tertipu daya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H