Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warkop Markesro: Tes Bohong Sambo

21 Desember 2022   14:51 Diperbarui: 21 Desember 2022   15:01 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wallahhh!!! Kemarin aja udah bikin cerita bohong, masak masih dipercaya?" sergah Ronggo memecah kesunyian lepas Maghrib di warkop Markesro. Matanya terus menatap televisi yang diletakkan di atas lemari. Menyimak acara persidangan Ferdy Sambo secara live yang serunya menyamai sinetron.

Bagaimana tidak, emosi orang-orang macam Ronggo yang driver ojol seakan diaduk-aduk oleh cerita persidangan. Untung tak bentrok dengan pertandingan Piala Dunia di Qatar sana.

"Kenapa lu Nggo?" tanya Cak Kesro yang lagi mengaduk kopi pesanan Badrun. Kopi pahit hitam kental kesukaannya. Kebetulan Badrun bersama istrinya, Maemunah mampir usai menjaga kios besi bekas miliknya.

"Sambo nolak hasil tes kebohongan, Cak," lanjut Ronggo.

Badrun terpicu. Mulutnya ingin ambil bagian dalam pembicaraan yang dibuka Ronggo itu.

"Lha iya, buat apa pake uji bohong, orang dia dari awal udah bohong." Badrun mulai menimpal. Dialek Maduranya kental.

"Ya karena bohong pertama itu ditakutkan bohong kedua, ketiga dan seterusnya, makanya pake uji kebohongan." Kali ini Cak Kesro mengangsurkan ucapan, usai menaruh wedang jahe hangat pesanan Maemunah.

TV swasta terus menyiar. Tayangannya membosankan karena ya gitu-gitu saja di sebuah ruang sidang. Di layar tampak terbagi dua, kadang tiga, kadang empat. Tergantung sidang terdakwa siapa dan saksi mana. Berjam-jam. Saban hari, saban malam.

Masing-masing lalu menyumbangkan pendapatnya. Kadang nyambung, kadang jauh, tetapi semuanya tentang tes kebohongan dan Sambo.

"Jelas..jelas nilainya udah keluar, yang bohong-bohong minus semua," sergah Munah, panggilan Maemunah.

Menurutnya, yang minusnya paling besar dialah yang paling tinggi tingkat kebohongannya. Di kepala Munah sederhana saja. Seperti galibnya pertanda nilai. Yang plus basti bagus. Yang minus pasti buruk.

Tanpa ia tahu bagaimana cara membaca nilai tes kebohongan yang oleh Bambang disebut dengan tes poligrafi.

 "Tes poligrafi mana bisa dibohongi. Namanya saja tes kebohongan, masak iya alatnya dibohongi, direkayasa?" sahut Bambang yang nimbrung belakangan.

Fokus pembicaraan kini ke alat bernama poligrafi itu.

"Ini alat canggih bener. Kalo enggak percaya cari di Google." Bambang mencoba memastikan apa yang dia ucapkan sahih dan ilmiah.

Lalu mencerocos lah ia. Alat ini bekerja dengan cara mendeteksi suatu tindakan penipuan alias kebohongan. Pesertanya menjawab pertanyaan yang diajukan. Begitu Bambang menerangkan sambil matanya menatap ke layar hape miliknya.

"Alat ini  nantinya nampilin hasil respons fisiologis kayak perubahan pernapasan, berkeringat, detak jantung, dan lain-lain."

Gaya bicaranya cakep betul. Sebelas-duabelas sama ahli yang kebetulan sedang bertutur di televisi. Padahal modalnya tulisan media di Google.

"Ketepatannya tinggi lho Cak," terus pria pengangguran banyak acara ini.

Di televisi, sang ahli poligraf sejurus kemudian menyebut angka. "Tingkat akurasi lie detector mencapai lebih dari 90 persen."

"Tuuuhhh!! Kan, apa saya bilang??" senangnya Bambang dapat "dukungan" data dari layar kaca.

Suasana ngobrol menjadi hangat. Namun tidak ada adu argumentasi. Semuanya sepaham sepikiran. Ibarat menonton sinetron, warga Kampung Kandang ini telah memilih siapa pemeran protagonis dan antagonisnya. Tentulah pro kepada protagonis dan anti kepada si antagonis.

Tanpa sadar pemberitaan-pemberitaan telah menggiring mereka perlahan menemukan siapa sosok Sambo, Putri, Richard, Kuat, Ricky. Lalu dicaplah satu-persatu kelima orang itu. Mana yang protagonist, mana yang antagonis.

Sementara orang-orang di sekitar lima karakter ini tak terlalu dipedulikan. Mereka dianggap pemeran pendukung saja. Selaiknya kisah layar lebar, pemeran pendukung ada yang nymplung jadi pesakitan, ada pula yang mengakhiri dengan happy ending.

"Kalau engkok (aku, red) gampang saja ngetes kebohongan laki-laki," Munah menyahut seolah out of topic. Seperti Badrun, logat Maduranya kental sekali.  

Tak pelak semua mata berpindah dari televisi ke Munah. Penasaran Ronggo pun bertanya.

"Gimana caranya, Buk?"

"Laki-laki tuh asal pengen indehoy ama bininya, di situlah imannya goyang," buka Munah.

Makin penasaran lah para pria di warkop Cak Kesro itu. Bahkan Badrun, suami Munah sama tertegunnya.

Istri, menurut Munah, akan mudah mengendalikan di situasi seperti itu. Pada titik tertentu, di saat yang tepat, tes kebohongan para suami bisa terjadi. Dilakukan sendiri oleh istri.

Entah teori dan logika dari mana. Atau hanya semata berdasarkan empirisnya Munah. Namun tampaknya pria-pria itu seolah memperoleh pencerahan luar biasa.

"Tak perlu dek pake-pake lie detector," ucap Munah sembari nyeloyor pulang setelah menghabiskan wedang jahenya.

"Pak Badrun!" panggil Cak Kesro.

"Sampeyan pernah dapat skor berapa? Minus atau plus?" tanya Cak Kesro.

Bambang dan Ronggo langsung ngakak. Badrun menggerutu dan membuntuti istrinya. Pulang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun