Menurutnya, yang minusnya paling besar dialah yang paling tinggi tingkat kebohongannya. Di kepala Munah sederhana saja. Seperti galibnya pertanda nilai. Yang plus basti bagus. Yang minus pasti buruk.
Tanpa ia tahu bagaimana cara membaca nilai tes kebohongan yang oleh Bambang disebut dengan tes poligrafi.
 "Tes poligrafi mana bisa dibohongi. Namanya saja tes kebohongan, masak iya alatnya dibohongi, direkayasa?" sahut Bambang yang nimbrung belakangan.
Fokus pembicaraan kini ke alat bernama poligrafi itu.
"Ini alat canggih bener. Kalo enggak percaya cari di Google." Bambang mencoba memastikan apa yang dia ucapkan sahih dan ilmiah.
Lalu mencerocos lah ia. Alat ini bekerja dengan cara mendeteksi suatu tindakan penipuan alias kebohongan. Pesertanya menjawab pertanyaan yang diajukan. Begitu Bambang menerangkan sambil matanya menatap ke layar hape miliknya.
"Alat ini  nantinya nampilin hasil respons fisiologis kayak perubahan pernapasan, berkeringat, detak jantung, dan lain-lain."
Gaya bicaranya cakep betul. Sebelas-duabelas sama ahli yang kebetulan sedang bertutur di televisi. Padahal modalnya tulisan media di Google.
"Ketepatannya tinggi lho Cak," terus pria pengangguran banyak acara ini.
Di televisi, sang ahli poligraf sejurus kemudian menyebut angka. "Tingkat akurasi lie detector mencapai lebih dari 90 persen."
"Tuuuhhh!! Kan, apa saya bilang??" senangnya Bambang dapat "dukungan" data dari layar kaca.