Sang pasien menoleh, “Pagi—guru.” Satu tarikan tipis—teramat tipis, menghias sudut bibir.
“Sudah mengingat orang-orang di dalam koran itu?”
Sesuai janji, Durna menemui Daan di taman samping dari bangunan Rumah Sakit tersebut. Daan, seorang anggota Divisi Khusus Kepolisian yang “dipesan” langsung oleh Mabes POLRI dari Mapolda Bali, demi menguak sebuah kasus yang tidak kecil, sayangnya kasus itu tengah menemui jalan buntu. Satu-satunya “harapan” ada pada diri pasien yang tengah ditangani Durna.
“Disorganized type?” ulang Daan. Durna menganguk menanggapi. “Skizofrenia Hebrefenik…”
Lagi-lagi Durna mengangguk. “Psikologis. Orang tua yang dingin, over-protected.Dan, Ayah yang—yaah, Anda tahulah, bukankah Anda tengah menangani kasusnya.”
Untuk sejenak Daan merenungi keterangan dari Durna, menggaruk dagu yang tak gatal yang mulai diramaikan oleh rambut-rambut kasar.
“Dengan keterangan dari Anda,” Daan menelisik jauh berkas di tangan pemberian Durna. “Memperberat hukuman pasangan koruptor itu menjadi lebih mudah?” Durna mengangguk pasti. “Aku suka ini,” dengus Daan menahan tawa. “Aku tidak suka sumai-istri itu. Kebetulan yang indah, bukan?”
Durna terkekeh menanggapi. Sementara di atas sana—lantai empat bangunan tersebut—sosok pasien yang sebelumnya ditemui Durna memandang tak berkedip ke arah kedua orang yang terlibat percakapan serius itu.
Sang pasien tidak sendiri, ada Violet mendampinginya. Pun sama mengawasi Durna dan Daan.
“Dayita Calya,” desis sang pasien tersenyum ganjil.
Violet mengubar senyum tak kalah ganjilnya demi mendengar nama alias-nya disebut sang pasien. Dua pasang mata saling tertumbuk, bermain dalam selaksa makna. “Apa yang kaulakukan tidak akan sama terlihat di mata orang lain…”