“Bay—binggo!”
“Daan, kurasa—aku bisa sedikit membantumu,” ujar Durna pagi itu pada seseorang di sambungan gadget di telinga kirinya. “Yaa, aku menunggu di kantor. Tidak-tidak-tidak, di sisi taman—lebih baik. Ok.”
Durna bergegas keluar dari dalam mobil, tergesa-gesa melangkah menuju jejeran anak tangga—sebut saja begitu bila kauenggan menggantinya dengan kata: bersemangat.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Durna pada seorang perawat bernama: Violet—setidaknya, itu yang tertera pada tanda pengenal di dada kiri perawat cantik tersebut.
“Sedikit lebih tenang, Dok,” sahut Violet sama mengintip ke dalam ruangan lewat kaca persegi yang tertanam di pintu masuk sebelum akhirnya berpamit diri dan menghilang dari sana.
Durna memutuskan memasuki ruangan, pasien yang sama tengah berdiri di depan jendela. Di tangan kiri sang pasien, surat kabar lusuh tergenggam baik.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Durna, plus, senyuman yang sama seperti selama ini ia berikan pada pasiennya tersebut.
Pria itu hanya menoleh sekali, dan tidak lama sebelum pandangannya kembali mengarah keluar jendela kaca.
“Siapa kali ini?” Durna memposisikan diri di kiri pasiennya itu, coba mengetahui apa yang dinikmati pasiennya di taman samping di bawah sana. “Great Learner? Sang penguasa? Pemimpin Bayangan? Atau… harus kupanggil: Dinan?”
Lima belas detik, dan sang pasien sama sekali tidak menggubris, tetap bergeming. Namun, Durna bisa melihat gerak halus di pelipis sang pasien.
“Haa…” kekeh Durna perlahan. “Arjuna,” tebaknya lagi. “Baiklah. Selamat pagi, Arjuna.”