Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

XYZ - Trapped

15 Mei 2016   12:13 Diperbarui: 15 Mei 2016   12:27 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Terperangkap Pikiran Sendiri.

“Kaumasih betah memandangi koran tua itu?!” Durna mengulas senyum, lantas menyingkap tirai tipis—yang lebih mirip jaring untuk penangkap ikan—satu-satunya yang ada di dalam ruangan lima kali delapan meter persegi tersebut. Cahaya pagi sang surya mungkin butuh kekuatan maksimal untuk dapat menembus sempurna jendela berbingkai kaca tebal itu.

“Mengingat wajah mereka?”

Hening tetap bertakhta di diri pria tiga puluh lima tahunan yang duduk membelakangi pintu. Surat kabar yang menguning ia pentang selaiknya seorang inspektur upacara yang akan meneriakkan butir-butir Pancasila. Pun sepasang mata, semenjak lima belas menit yang lalu terpentang nyaris tanpa berkedip.

Tidak ada kehidupan di sana.

Durna berjongkok dengan kaki kiri bertumpu pada lutut. Perlahan, tangan kiri menekan bagian teratas surat kabar yang dipentang—masih dengan senyum mengembang.

“Kau—guruku?” mulut itu membuka kuncinya, tanpa riak di wajah, hanya sepasang bola mata sekejap bergeser sebelum kembali ke laman surat kabar—tepatnya: ilustrasi beberapa sosok di dalam sebuah ruang mewah—yang kini tergeletak di atas ubin putih begitu saja.

“Tentu,” sahut Durna pasti. “Kaumembutuhkannya?”

“Kenapa… kauselalu membawa benda itu?”

Durna terkekeh—teramat halus, mengelus benda hitam-perak yang melingkar di lehernya. Benda yang teramat sering digunakan untuk mengindikasikan profesi seseorang—seperti dirinya. Ia memainkan bagian bulat di ujung benda tersebut.

“Irama. Kautahu—“ Durna mengedipkan sebelah matanya menanggapi reaksi kecil lawan bicaranya itu. “—Musik. Kausuka musik? Ahh, aku suka sekali. Degupan jantung manusia itu adalah musik terindah—yaa, nanti kauakan menger—“

“Aku—sang penguasa…” sela pria itu memindai langit-langit ruangan. Sesekali desir halus dari udara yang masuk lewat lubang-lubang AC menyapa keheningan.

“Menarik,” Durna menjeplok begitu saja di lantai. Bersila. Menyimpan stetoskop ke balik setelan putihnya. Bertopang dagu, dan memasang wajah bersahabat demi menarik keluar apa yang ada di dalam benak pria di hadapannya.

Jeda dua kali tarikan napas, dinding-dinding putih yang mendominasi ruangan selayaknya genangan minyak di atas air. Menghipnotis ketenangan pria dalam balutan baju terusan hijau.

Malam, menyisakan sepertiga waktunya sebelum pergantian hari, Durna masih tenggelam pada catatan di tangan. Kata-kata random yang ia “kumpulkan” dalam sepekan ini—semenjak ia harus menangani pasien di kamar 174.

Helaan napas begitu dalam, dan terhempas kencang, menggoyang lembaran foliodi atas meja. Aroma white coffee di dalam gelas cukup menggoda liur, hanya tersisa setengahnya saja dan nyaris kehilangan kehangatannya. Durna menyesap tandas cairan itu sebelum kembali tenggelam pada setiap rangkaian kata dan simbol pada lembaran-lembaran di tangannya.

Belasan nama—sebelas di antaranya dalam lingkaran-lingkaran tersendiri, terhubung ke berbagai kolom: pekerjaan, kemampuan, peritiwa yang bahkan lengkap dengan tanggalnya. Skema yang “sama mengerikannya” dengan benang kusut.

“Bay—“ Durna membetulkan posisi kacamatanya. “Hutan, Tikus-tikus Berdasi… juga, Pemimpin Bayangan, kanuragan. Kesaktian, sedikit persamaan dengan karakter Shinta. Kecewa, amarah—yaa, kurasa ini berkaitan,” gumam Durna sembari membuat garis dengan tinta merah, menghubungkan dua nama dengan sejumlah kata. “Lalu… we had—Ayin, Vera with code-name; 31.Seterusnya… Chairunisa—asmara. Terkekang? Kemungkinannya… delapan puluh lima persen.” Durna sedikit mengumpat kala tangan yang terjulur meraih gelas, dan ia lupa jika isi gelas telah habis.

Secercah harapan untuk menautkan benang merah, memancing gairah sang dokter. Ia tinggalkan lembaran-lembaran folio di atas meja, setengah berlari menuju dapur—menambah cadangan kafein—demi menstimulasi mata dan tubuhnya.

“Let see—“ nyaris saja gelas yang baru diisi jatuh sebab perhatian Durna tak teralihkan dari lembaran di tangan. Kembali ia menelaah, setelah memastikan gelas di posisi yang aman, tentunya, seteguk kehangatan lagi. “Ade, Bagus code-name; 063—galau, jiwa muda. Tidak-tidak-tidak… kupikir, keresahan lebih tepat. Ya, ya, untuk sebuah pengakuan.” Durna kembali menghubungkan nama-nama dalam lingkaran ke sejumlah kata acak lainnya. “Anis, Dinan—labil. Penguatan karakter pada tujuan semula,” Durna menaruh folio bersisian dengan folio pertama, lantas menggunakan stabilooranye menghubungkan ke karakter: Bay. “Hmm,” gumamnya lagi. “Ketidakpuasan akan kepemimpinan.”

Lagi, semangat yang terpacu memaksa membasahi tenggorokan dengan cairan kopi, hingga kopi berkurang setengah dari ketinggian gelas.

“Ade…” Durna buru-buru meletakkan gelas, meraih stabilo hijau, menarik folio kedua berdempetan, dan membuat garis penghubung. “Asmara. Kekosongan, terasing; tanpa teman. Lalu—“ ia meraih lembaran terakhir. “Risma dan munculnya karakter Great Learner. Labirin raksasa dengan seribu pintu. Dan ini…” Durna kembali menghubungkan karakter tersebut—kali ini dengan stabilomerah.

Satu senyum menyeruak di sudut bibir. Durna menenggak sisa kopi di dalam gelas, meski masih mengepulkan aromanya lewat asap tipis, namun di mulut Durna itu tak ubahnya seperti ice-coffee.

“Bay—binggo!”

“Daan, kurasa—aku bisa sedikit membantumu,” ujar Durna pagi itu pada seseorang di sambungan gadget di telinga kirinya. “Yaa, aku menunggu di kantor. Tidak-tidak-tidak, di sisi taman—lebih baik. Ok.”

Durna bergegas keluar dari dalam mobil, tergesa-gesa melangkah menuju jejeran anak tangga—sebut saja begitu bila kauenggan menggantinya dengan kata: bersemangat.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Durna pada seorang perawat bernama: Violet—setidaknya, itu yang tertera pada tanda pengenal di dada kiri perawat cantik tersebut.

“Sedikit lebih tenang, Dok,” sahut Violet sama mengintip ke dalam ruangan lewat kaca persegi yang tertanam di pintu masuk sebelum akhirnya berpamit diri dan menghilang dari sana.

Durna memutuskan memasuki ruangan, pasien yang sama tengah berdiri di depan jendela. Di tangan kiri sang pasien, surat kabar lusuh tergenggam baik.

“Bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Durna, plus, senyuman yang sama seperti selama ini ia berikan pada pasiennya tersebut.

Pria itu hanya menoleh sekali, dan tidak lama sebelum pandangannya kembali mengarah keluar jendela kaca.

“Siapa kali ini?” Durna memposisikan diri di kiri pasiennya itu, coba mengetahui apa yang dinikmati pasiennya di taman samping di bawah sana. “Great Learner? Sang penguasa? Pemimpin Bayangan? Atau… harus kupanggil: Dinan?”

Lima belas detik, dan sang pasien sama sekali tidak menggubris, tetap bergeming. Namun, Durna bisa melihat gerak halus di pelipis sang pasien.

“Haa…” kekeh Durna perlahan. “Arjuna,” tebaknya lagi. “Baiklah. Selamat pagi, Arjuna.”

Sang pasien menoleh, “Pagi—guru.” Satu tarikan tipis—teramat tipis, menghias sudut bibir.

“Sudah mengingat orang-orang di dalam koran itu?”

Sesuai janji, Durna menemui Daan di taman samping dari bangunan Rumah Sakit tersebut. Daan, seorang anggota Divisi Khusus Kepolisian yang “dipesan” langsung oleh Mabes POLRI dari Mapolda Bali, demi menguak sebuah kasus yang tidak kecil, sayangnya kasus itu tengah menemui jalan buntu. Satu-satunya “harapan” ada pada diri pasien yang tengah ditangani Durna.

“Disorganized type?” ulang Daan. Durna menganguk menanggapi. “Skizofrenia Hebrefenik…”

Lagi-lagi Durna mengangguk. “Psikologis. Orang tua yang dingin, over-protected.Dan, Ayah yang—yaah, Anda tahulah, bukankah Anda tengah menangani kasusnya.”

Untuk sejenak Daan merenungi keterangan dari Durna, menggaruk dagu yang tak gatal yang mulai diramaikan oleh rambut-rambut kasar.

“Dengan keterangan dari Anda,” Daan menelisik jauh berkas di tangan pemberian Durna. “Memperberat hukuman pasangan koruptor itu menjadi lebih mudah?” Durna mengangguk pasti. “Aku suka ini,” dengus Daan menahan tawa. “Aku tidak suka sumai-istri itu. Kebetulan yang indah, bukan?”

Durna terkekeh menanggapi. Sementara di atas sana—lantai empat bangunan tersebut—sosok pasien yang sebelumnya ditemui Durna memandang tak berkedip ke arah kedua orang yang terlibat percakapan serius itu.

Sang pasien tidak sendiri, ada Violet mendampinginya. Pun sama mengawasi Durna dan Daan.

“Dayita Calya,” desis sang pasien tersenyum ganjil.

Violet mengubar senyum tak kalah ganjilnya demi mendengar nama alias-nya disebut sang pasien. Dua pasang mata saling tertumbuk, bermain dalam selaksa makna. “Apa yang kaulakukan tidak akan sama terlihat di mata orang lain…”

-----o0o-----

Baca juga cerita terkait: XYZ - Inisial D.

-

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DIINSPIRASI.CO,COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajoa.k.aAjo Gaara, Depok 15 Mei 2016.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun