Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Teduh

5 Mei 2016   20:08 Diperbarui: 6 Mei 2016   01:45 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: emaze.com

Cahaya mentari Sabtu siang itu cukup menyengat kulit. Beberapa orang dengan setelan jas mewah lebih memilih ngadem di dalam mobil mereka yang ber-AC. Di depan sebuah Kantor Kelurahan—satu bagian dari kawasan Jakarta Barat.

Beberapa orang mengantre, dan itu cukup panjang, dengan segala keperluan mereka. Memperpanjang KTP, membuat Kartu Keluarga yang mungkin saja telah lahir bayi dalam keluarga kecil salah satu dari mereka. Pun, sejuta keperluan lainnya.

Tidak ada yang istimewa, semua diperlakukan sama. Sebagaimana pamflet yang tertempel di kedua sisi dinding kaca dari pintu masuk kantor tersebut.

Zero Complaint, Zero Delay, 100 % Excellent Service.

Seorang pria kisaran 40 tahun mengamuk di depan pintu masuk, dua orang Petugas Piket menahan si pria.

“Kurang ajar banget, kalian!” maki pria itu. “Saya ini lagi buru-buru, banyak urusan saya yang lebih penting—Hei…! Jauhkan tanganmu, bangsat!” segala serapah bermuncratan berikut dengan liur yang kekeringan karena sengatan mentari.

“Pak,” sahut seorang petugas. “Mohon untuk memelankan suaranya. Kasihan, yang lain jadi terganggu.”

“Bodo amat!” dengus si pria semakin berang. “Kalian minta duit berapa, haa? Berapa?!”

“Maaf, Pak,” sahut petugas kedua. “Tidak ada duit yang harus keluar di sini. Kecuali, kedisiplinan. Aturan!” dan ia hampir-hampir tak sanggup menahan marahnya sendiri.

“Sudah saya bilang,” desak pria tersebut. “Saya ini sedang buru-buru. Ngerti gak sih, kalian, haa…!?”

“Bapak pikir yang lain tidak!?” bentak petugas kedua hilang empati dan kesabaran. “Sudah jelas-jelas ada pamflet peringatan—“ ia menunjuk pamflet yang dimaksud.

Pamflet berukuran 35 x 50 cm itu bertuliskan; Memakai Celana Pendek, Tidak Kami Layani.

“Jadi—“ sambung petugas pertama. “Silakan Bapak kembali lagi nanti.”

“Haram jadah!” ludah si pria membanting kaki lantas berbalik menuju mobilnya yang jauh lebih indah ketimbang mobil-mobil lain yang terparkir di depan jalan itu.

Mobil itu meraung-raung kencang, kesengajaan demi memperlihatkan: siapa aku. Hanya dengusan cemooh yang ia dapat dari beberapa wajah di sana terhadap aksinya itu. Bahkan setelah mobil tersebut menghilang ke kiri persimpangan.

“Segitu saja, sombongnya naudzubillah,” gumam seseorang yang mengenal pria itu tadi. “Gimana kalau lebih? Mungkin singgasana Tuhan pun kaubeli…”

Jeda lima menit seorang tua ringkih—yang mungkin saja akan menyakitkan mata sebagian orang yang memandangnya—melangkah tertatih, tanpa bantuan tongkat. Perlahan… perlahan, dan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kiri menenteng kantong plastik hitam dekil, sedekil tubuhnya, dan di tangan kanan membekap satu kantong plastik kaca yang tak bisa lagi disebut bening, di dalamnya terdapat beberapa lembar kertas.

Bulir-bulir keringat mengucur tersendat-sendat di kulit tubuh yang berlipat. Dan setiap langkah yang ia lakoni, hanya bisa ia pastikan dengan hati, sebab kedua mata tak lagi sama kala di muda dahulu, samar. Hitam berangsur memudar.

Tidak ada satu pun yang menarik di diri tua ringkih itu. Tidak ada. Kopiah tak lagi memiliki warna, tiada mampu menahan panasnya bara mentari. Baju kaos pun tak lagi hijau, bolong-bolong kecil di punggung, di ketiak, bahkan di atas bahu kiri robek lebih dari setengah panjangnya. Lebih terlihat seperti baju sexy  seorang wanita yang juga ikut mengantre di sana.

Celana kotor dekil berbau tajam. Tanpa alas kaki… tanpa alas kaki. Perlahan, ia menapakkan kaki kurus legamnya di lantai ubin, bermaksud untuk mengantre juga guna satu keperluan. Sedikit hawa sejuk yang menyapa telapak kakinya, cukup mampu menghadirkan keteduhan di wajahnya.

Beberapa orang, memang tidak mengumbar kata keberatan, namunnya sikap jelas mengutarakan. Menyisih, menjauh dari pria tua, bahkan di antaranya sembari menutup hidung yang pengap dan mulut yang nyaris saja menyemburkan isi perut.

Pria tua tahu… diri tak layak berdekatan, namun demi mengurus Kartu Keluarga yang hilang karena rumah—bukan! Gubuk, yang tergusur sebab konon pemukiman kumuh akan dijadikan Taman Kota. Tapi… itu semua mungkin bohong, pria tua tahu itu. Rencana itu bergaung semenjak lima-enam tahun yang lalu, kenyataanya: plang pembangunan apartemen mewah berdiri di atas tanah yang dulu pernah dihuni. Dan kini, terpaksa tinggal di tepian rel kereta api, menunggu lagi sewaktu-waktu akan terkena penggusuran juga.

Tak banyak yang bisa dilakukan pria tua, hanya menunduk, menatap ubin yang tak lagi indah. Terkadang hasut diri mampu menggemuruhkan dada, ingatan pada anak-istri yang entah di mana kini.

Segurat keharuan berbaur dengan kepasrahan diri terluksis tipis di bibir yang keriput.

“Ngg, maaf, Kek,” sapa seorang gadis sepantaran siswi SMU. “Mau ngantri juga?” pria tua palingkan wajah, kembali hadirkan senyum meski tak seberapa. “Udah ambil nomor antrian, Kek?”

Pria tua menggeleng. Ahh… cepat sekali perubahan dunia, adunya di dalam hati.

“Oh, ya udah,” gadis muda hadirkan senyum, meski ia tahu pria tua mungkin risih. Bukan pada dirinya yang terlihat rapi dan bersih, tapi pada diri si pria tua itu sendiri. Tiada tega untuk mengabaikan keberadaannya, pikir sang gadis. “Aku—ambilkan, ya. Tunggu sebentar, Kek.”

“Tidak apa-apa, Mbak,” petugas yang sama datang menghampiri, begitupun rekannya. “Biar kami yang melayani.”

Si gadis kembangkan senyum, dengan gerak kedua tangan ia mempersilakan pria tua “mengadu” kepada kedua Petugas Piket itu.

“Maaf, Bapak,” ujar petugas kedua dengan sopan. “Bisa kami bantu?”

Pria tua tidak menjawab, sebab ia tahu: mulut yang entah sudah berapa lama tidak lagi mengenal sikat dan pasta gigi, pastilah akan “mengganggu” orang lain. Jadi, ia hanya mengangguk dan menyerahkan bungkusan dalam plastik kaca yang semenjak tadi ia dekap—Surat Pengantar dari RT dan RW. Dan lagi… ia tidak mengenal apa itu bahasa, apa itu tulisan.

“Hoo,” petugas kedua mengangguk-angguk. “Mari, Pak. Saya antar ke loket nomor tiga di sana,” dengan sopan ia membimbing langkah pria tua.

Tak ada yang bisa dirasa pria tua selain “teduh” menyegarkan, seperti seorang musafir di tengah padang pasir yang menemukan sepotong pelepah kurma, dan menjadikan pelepah itu peneduh diri.

“Dia, kan, pakai celana pendek juga!” celetuk seseorang dengan rona bibir yang mengklarifikasikan jika diri adalah yang tercantik. “Menjijikkan!”

Gadis muda yang tadi memalingkan wajah, kembali mengumbar senyum. “Ibu… punya orang tua, gak?”

Wajah perempuan itu tak ubahnya udang di dalam penggorengan, terlebih, sejumlah kepala mengarah kepadanya.

“Untuk Bapak-bapak dan Ibu-ibu, diharap untuk tenang,” imbauan suara seseorang lewat interkom tersebut menghentikan dengungan yang nyaris saja berubah menjadi ledakan.

-----o0o-----

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI KOMPASIANA, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo,Depok 05 Mei 2016.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun